Aku Berpikir, Aku Syiah
Memang Tuhan sudah menakdirkan manusia mana yang berakhir
dengan husnul khatimah dan mana yang berakhir dengan buruk. Namun, manusia
dikaruniai akal untuk membantu mereka menemukan bimbingan cahaya ajaran Islam
dan menghindari jalan kesesatan. Sekali mereka menemukan cahaya Islam, bukan
berarti manusia tidak perlu lagi menggunakan akal mereka. Akal tetap diperlukan
bagi manusia dalam membantu tetap konsisten menjalani praktek amalan beribadah
sehari-hari. Dengan demikian manusia dapat terhindar dari tipu muslihat dan
talbis setan baik dari golongan jin maupun manusia berjenggot yang menggoda.
Lihat bagaimana jalan hidup sang master al-Ghazaly dalam
menemukan metode tepat untuk menggapai Tuhan. Ia menapaki jalan aliran batiniyah,
fikih, kalam, dan filsafat. Beliau mempelajari masing-masing aliran tersebut
dan memahami kekurangan masing-masing sehingga puncaknya beliau menemukan jalan
tasawuf yang mengobati kehausan jiwanya. Sikap inilah yang seharusnya dijalani
setiap muslim dalam penggembaraan agamanya. Sikap logis dan kritis terhadap
amalan ajaran agamanya tanpa meninggalkan pedoman sucinya.
Aku terlahir Sunni dan bangga telah menjadi bagian dari
Sunni, dan aku bukan, naudzubillah, kelompok Islam yang dengan mudah
mengkafirkan dan meyesatkan sesama
muslim lainnya, kelompok turunan dari Khawarij pasukan Dajjal LA sebagaimana
disabdakan Nabi Muhammad saww dan Imam Ali as. Kesunnianku tak diragukan lagi
dengan biasanya aku bertabarruk, tawasul dan sebagainya yang galib ditradisikan
Sunni/NU Indonesia. Pertama kali aku berkenalan dengan yang namanya Syiah
secara objektif adalah dari buku al-Murajaat yang dipinjam kakak saya dari
kampus. Sebuah buku besar yang tidak hanya secara fisik tapi juga secara
psikologis mampu menggerakkan jiwa untuk bersikap kritis dan logis terhadap apa
yang kita anut.
Ada beberapa poin dasar yang bisa dikatakan keliru dalam
pandangan Sunni secara umum, dan itu tidak hanya menjangkit di kalangan awam
saja namun juga di tingkat ulama pemberi pencerahan umat. Beberapa poin inilah
yang menyebabkan aku tidak lagi merasa menjadi bagian dari sunni tulen atau deles
dalam bahasa saya. Kalau dalam standar takfiri mungkin aku sudah dikategorikan
sebagai rafidhah ekstrim, boleh dibunuh, :) mengutip sabda Imam Husein as: “Jika tubuh dirancang untuk berakhir,
kenapa harus takut kehilangan”.
Pertama; hadis wasiat Nabi Muhammad saww. Biasanya di
Sunni yang terdengar adalah riwayat “berpegangteguhlah pada al-Quran dan
Sunnahku”. Hampir semua sunni pasti akan menganggap hadis ini yang benar dan tidak
ada hadis lain selain ini. Adapun hadis “berpegangteguhlah pada al-Quran dan
Ahlu baitku” adalah hadis lemah dan
tidak diajarkan dalam dunia akademis. Bahkan KH. AN pengasuh bahsul masail di
majalah AULA terbitan Maret 2012 yang membahas tentang Kontoversi Pusaka Islam, Mana yang Benar?, majalahnya umat Sunni Indonesia pun keliru ketika ada pertanyaan
tentang hadis wasiat atau yang biasa disebut hadis tsaqalain. Beliau gegabah
dengan mengatakan kalau hadis “berpegangteguhlah pada al-Quran dan ahli baitku”
sebagai hadis lemah dan tidak ada dalam kitab standar hadis Sunni yang enam dan
mensahihkan hadis “berpeganglah pada al-Quran dan sunnahku”.
Sikap lain yang saya rasakan tentang terlalu cenderungnya
mereka akan kesunniannya adalah sekalipun mereka mensahihkan “berpegangteguhlah
pada al-Quran dan ahli baitku” namun mereka menafsirkan bahwa kepada ahli bait
Nabi saww kita harus menghormati hak-hak mereka, menyayangi mereka, dll. Alangkah
naifnya, ketika mereka tidak sadar kedhaifan hadis “berpegangteguhlah pada
al-Quran dan sunnahku” mereka berkoar-koar tentang berpegang teguh dan
menjadikan rujukan keduanya. Namun ketika tahu bahwa rujukan mereka bukanlah
sebuah hadis yang tidak dapat dijadikan
landasan hidup, mereka menafsirkan secara berbeda. Padahal secara tekstual
lafal keduanya sama hanya berbeda dalam poin kedua, yaitu Ahli bait Nabi saww
atau Sunnah Nabi saww. Seharusnya umat Islam mengikuti sahabat Hudzaifah bin
Yamani yang mewasiatkan kedua putranya untuk selalu mengikuti Ali as.
Kedua; siapakah ahlul bait Nabi Muhammad saww yang harus
kita ikuti itu? Kita tidak perlu melihat KTP untuk mengetahui tersebut, toh
zaman itu tidak ada KTP. Hehe. Orang Arab mana yang tidak tahu suku Quraisy
dengan Bani Hasyimnya. Orang Arab mana yang tidak kenal dengan Nabi saww yang
dijuluki al-Amin. Hampir semua orang Arab pasti mengenalnya termasuk dengan
istri dan keluarga besarnya dan semuanya pasti tahu itu termasuk keluarga ahli
bait Nabi saww. Namun yang dikhususkan untuk diikuti adalah ahli bait yang
dijelaskan dalam potongan ayat terakhir surah al-Ahzab ayat 33. Kenapa harus ada
pembedaan, toh mereka semua adalah ahli bait Nabi saww? Jika anda disuruh
memilih pemimpin, apakah anda memilih tokoh yang terbaik, biasa atau tokoh yang
buruk. Inilah alasan Syiah memilih Imam Ali, Sayyidah Fatimah, Imam Hasan, Imam
Husein as. Karena merekalah yang terpilih dalam potongan ayat terakhir surah
al-Ahzab 33. Dalam riwayat sahih manapun baik di kitab Sunni maupun Syiah,
potongan ayat tersebut turun pada kelima pribadi tersebut, yang di kalangan
habaib dikenal dengan ahlul kisa’. Kenapa para istri Nabi saww tidak dimasukkan
dalam ayat tersebut? Pertanyaan tersebut juga pernah ditanyakan oleh istri Nabi
saww, Ummu Salamah yang pada waktu turunnya ayat tersebut berada di rumahnya. Nabi
saww tidak memasukkan beliau dalam selimut, beliau hanya mendoakannya dengan
kebaikan. Jika riwayat sahih asbab nuzul ayat tersebut jelas khusus menyebutkan
kelima pribadi tersebut tanpa memasukkan istri Nabi saww, kenapa harus mengeneralisasi
pada semua ahli bait Nabi saww tanpa ada dalil yang menguatkan hal tersebut? Disinilah
akar kesalahpahaman antara Sunni dan Syiah.
Seandainya Sunni memahami alur pikir Syiah ini niscaya
mereka memaklumi kenapa Syiah getol membela Imam Ali, Sayyidah Fatimah, dan dua
cucu Nabi saww daripada yang lainnya ketika terjadi konflik, baik dengan
sahabat maupun istri Nabi saww. Berbeda dengan cara pandang Sunni yang menganggap
semua sahabat adil, mereka umat terbaik, dan sebagainya. Ketika para sahabat
saling caci maki, berperang bagaimana sikap Sunni? Kami harus diam, tidak boleh
membicarakan mereka, mereka semua berijtihad dan baik yang benar maupun salah mendapat
pahala, biarkan yang sudah terjadi berlalu, bahkan adapula yang mengatakan
jangan ceritakan sejarah kelam para sahabat. Jika demikian apa gunanya
sejarah?!
Ketiga; masalah keadilan sahabat. Memang ada beberapa
pengertian tentang apa itu keadilan sahabat, mulai dari yang ekstrim sampai
yang rendah. Namun yang pasti dalam standar Sunni pengertian keadilan sahabat
adalah seluruh sahabat dapat diterima riwayatnya dalam menyampaikan sabda Nabi
saww. Allah swt memerintahkan umat Islam untuk selalu memperhatikan sejarah,
terutama sejarah umat dan generasi terdahulu. Memperhatikan sejarah bukan dalam
arti pasif, diam dan biarkan berlalu namun aktif dengan memilah mana sejarah
yang patut kita teladani dan ambil pelajaran dan mana yang harus kita jauhi.
Menyangkut sejarah para sahabat, Sunni dan Syiah
memandang berbeda, terutama ahli hadis Sunni. Namun hampir semua pakar sejarah
Islam sepakat adanya perselisihan, pertengkaran, caci maki bahkan saling
bunuh-membunuh antar sahabat. Bagi Syiah semua sahabat bukanlah malaikat atau
manusia yang tidak bisa dikritik apalagi disentuh. Mereka hanyalah manusia
biasa yang mempunyai kekurangan dan kelebihan. Syiah memandang lebih baik hanya
mengikuti langkah-langkah sahabat yang baik dan track recordnya teruji daripada
mengikuti jejak semua sahabat, baik yang baik maupun yang buruk, yang dipuji
Allah dan dilaknat Allah. Dan ini adalah sebuah tindakan yang logis daripada
pasif dan membiarkan persoalan sahabat menggantung di langit. Seandainya kita
hidup di zaman Imam Ali as yang sedang bertarung dengan Aisyah, Khawarij dan
Muawiyah kemudian kita memilih non-blok, diam saja dan mengasingkan diri.
Apakah itu tindakan yang tepat? Apakah Islam mengajarkan demikian? Jelas tidak.
Islam mengajarkan kita untuk hidup bersosial dan untuk selalu mencari kebenaran
yang hakiki bukan dengan membenarkan tindakan semua sahabat dan atau membenarkan
berlandaskan ketokohan seorang pemimpin. Karena itulah Syiah memilih mengikuti
jalur ahlul kisa’, jalur yang benar dalam pertarungan para sahabat dilihat dari
semua aspek.
Bagi saya baik Sunni dan Syiah berhak mendapatkan
kenikmatan surgawi kelak. Mereka lahir
sebagai korban sejarah yang harus disikapi dengan arif dan bijaksana, bukan
dengan saling menyalahkan. Sebenarnya beberapa persoalan yang laris manis
sebagai bahan adu domba Sunni dan Syiah hanyalah masalah-masalah sepele namun
besar bagi orang kebanyakan bahkan tokoh NU sekelas Ust. IR, seperti pemikiran generalisasi
yang menyamakan semua orang hanya dengan pendapat aneh dan salah beberapa
oknum, perbedaan pemahaman tentang istilah suatu kelompok dan persoalan fikhiyah
yang bisa didamaikan secara ilmiah dan akal terbuka. Sebagai contoh tentang
nikah Mut’ah, Sunni bersikeras nikah mut’ah itu haram setelah dihalalkan Nabi
saww. Namun dalam prakteknya bahkan setelah Nabi saww, Abu Bakr, Umar, Utsman,
dan Ali wafat pun nikah mut’ah masih dipraktekkan dan dihalalkan sebagian umat
Islam, dalam hal ini adalah para tokoh Sunni dan ini direkam dalam kitab-kitab
Sunni. Nikah Mut’ah merupakan salah satu dari beberapa masalah fikhiyah yang
tidak perlu jadi bahan pertengkaran antar umat sebagaimana sebagian ulama Sunni
menghalalkan nabidz yang memabukkan. Jika anda mempelajari fikih, anda akan
menemukan hampir semua madzhab fikih mempunyai beberapa produk hukum fikih yang
“aneh” yang bisa dijadikan dasar saling salah-menyalahkan dan
sesat-menyesatkan.
Akhirnya tulisan ini bukanlah ajakan untuk meng-iran-kan
Indonesia, mensyiahkan Sunni atau mensunnikan Wahabi tapi mempererat
persaudaraan Sunni dan Syiah bahkan Wahabi yang diadu domba Dajjal Zionis dan sebagai
ajang saling tukar pikiran tentang akar
persoalan perbedaan Susyi. Titik persatuan dan persaudaraan Islam didapat
dengan sikap arif bijaksana bukan dengan sikap merasa benar sendiri. Salam
Keselamatan :)