1. Islam berbeda dengan hukum-hukum lainnya dengan pengakuannya terhadap nikah mut’ah disamping perkawinan permanen. Apakah kita dapat meredefinisi nikah mut’ah ?
Nikah mut’ah adalah hubungan suami isteri sementara yang diadakan melalui akad tertentu yang disebutkan didalamnya masa (batas perkawinan) dan mahar disamping pokok perkawinan itu sendiri. Perbedaannya dengan pernikahan permanent disamping batas waktu tertentu, perkawinan mut’ah tidak ada waris mewarisi dan tidak ada keharusan memberi nafkah, kecuali jika wanita menssyaratkan hal itu untuk dirinya.
2. Sebagian orang menilai bahwa kebolehan nikah mut’ah memang diperlukan masa tertentu saja, karena itu Umar bin Khatab mengharamkannya setelah itu?
Jika memang faktor keperluan menjadikan nikah mut’ah itu diperbolehkan, dan itu merupakan kesadaran Nabi saw untuk melindungi kaum Muslim pada sebagian peperangan dari tekanan seksual, maka keperluan ini ada pada setiap zaman dan tempat. Banyak orang yang mengalami tekanan seksual tapi mereka tidak mampu menikah. Apabila faktor keperluan (darurat) itulah yang ‘mendikte’ Rasulullah saww untuk memberlakukan hukum nikah mut’ah, maka keperluan tersebut tidak hanya terbatas pada zaman itu atau tempat itu, tapi ia sekarang jauh lebih mendesak daripada seperti zaman Nabi saw. Maka tak ada hal yang membenarkan kalau nikah mut’ah telah dihapus, karena ia adalah suatu keperluan bagi setiap generasi, kapan saja dan dimana saja. <>
1. Kaum muslimin dari kalangan ahlussunah mengatakan bahwa rasulullah saww mengharamkan mut’ah setelah sebelumnya dihalalkan. Apa memang demikian?
Ahlussunnah meriwayatkan beberapa hadith yang dinisbatkan pada Nabi saw dan Ali as bahwa Nabi mengharamkan mut’ah. Yang perlu diperhatikan adalah bahwa mereka menyebutkan bahwa beliau mengharamkannya didua tempat, tapi seandainya beliau memang telah benar-benar menghapusnya maka tiada alasan yang membenarkan bahwa ia pernah dibatalkan disuatu hari lalu diharamkan esok harinya kemudian dihalalkan kembali, hal yang menunjukkan bahwa pengharaman tersebut tidak realistis dan tidak benar. Dan yang mendukung hal itu adalah apa yang disampaikan oleh sahabat Umar, “Dua mut’ah ada pada zaman Rasulullah dan dihalalkannya; akulah yang melarang keduanya dan memberikan sangsi atas keduanya” [ Sunan al-baihaqi 5/5 bab: orang yang memilih kesendirian dan menganggapnya sebagai hal yang utama ; Tarikh Ibn Katsir 5/123, Tafsir al-Qurthubi 2/370, Tafsir Fakhrur ar-razi 20/167 dan 3/201 dan 220, kanzul ‘Ummal 8/293-294 dan al-Bayan wa at-tabyin, karya al-Jahith 223 ]
Adalah hal yang maklum bahwa Umar tidak mempunyai hak untuk mengharam hal-hal yang dihalalkan oleh Allah. Konon, Nabi saw menegaskan tentang keharaman nikah mut’ah dan riwayat yang dinisbatkan kepada beliau dalam hal ini adalah, “Wahai manusia, sesungguhnya aku telah mengizinkan kalian untuk melakukan nikah mut’ah dengan para wanita. Ketahuilah bahwa kini Allah telah mengharamkan hal itu sampai hari kiamat.” [ Sahih Muslim, hal 1025 ; Sunan ad-Darimy, 2/140 ; Sunan Ibn Majah, hal 631, catatan 1962, dengan terdapat perbedaan redaksi dalam Thabaqat Ibn Sa’ad, 4/328. ]
Hadith ini tidak shahih. Buktinya, beberapa sahabat terang-terangan menghalalkan perkawinan sementara, seperti Ibn Abbas, ibn Mas’ud, dan lain-lain. Bahkan, mereka membaca ayat, “maka barangsiapa yang bersenang-senang dengan mereka—dalam batas waktu tertentu, maka berikanlah kepada mereka maharnya.” Terdapat perdebatan seru seputar masalah ini, yang tentunya memerlukan kejian panjang, yang tidak tepat untuk disampaikan disini.
2. Allah Maha Sempurna. Lalu bagaimana mungkin Dia memberlakukan hukum yang terdapat nilai-nilai negatif didalamnya?
Allah memang Maha Sempurna, tetapi makhluk-makhlukNya yang terbatas; dan batasan-batasan mengharuskan adanya kekurangan dalam tabiat (sifat) benda-benda ketika terkena sekat-sekat. Sebab, suatu benda mengandung banyak kepositifan dari pelbagai isinya, sampai terdapat batas-batas dan sekat-sekat yang mengurangi nilai positifnya. Sesungguhnya hal-hal yang disyariatkan oleh Allah bukan Allah itu sendiri. Masalah kesempurnaan hal-hal tersebut atau kekurangannya bertitik tolak dari identitasnya (dzattiyah). Misalnya, Allah mengharamkan khamar (minuman keras), Allah sendiri Maha Sempurna tetapi didalam khamar terdapat manfaat dan madharatnya dan ketika Allah mengharamkan khamar itu karena mudharatnya jauh lebih besar daripada manfaatnya. Kesempurnaan Allah adalah mutlak, karena kemutlakan tidak dapat berada kecuali ditempat yang mutlak, dengan pengertian bahwa Dia keluar dari ruang lingkup keterbatasan. Adapun hukum berkaitan dengan perbuatan-perbuatan manusia, dan perbuatan-perbuatan manusia terbatas pada keadaannya, dan ia kemudian mengandung nilai-nilai positif dan negatif tetapi hukum yang mengendalikannya bertitik tolak dari keunggulan nilai-nilai positif atas nilai-nilai negatif, atau sebaliknya.
Perkawinan sementara merupakan nilai positif besar karena ia berposisi sebagai solusi bagi problem seksual pada saat orang tidak mampu untuk melakukan perkawinan permanen. Tapi pada saat yang sama, ia membawa pengaruh negatif atas pihak-pihak yang bersangkutan karena pandangan negatif sosial atasnya, dan juga dikarenakan tidak terwujudnya ketenangan yang diciptakannya, atau yang lain-lain.
Fadhlullah, Sayid Muhammad Husain
11 comments
Comment by Anonim on 27 Januari 2011 pukul 16.36
saya seorang Islam suni, tapi memang pernah belajar sedikit tengtang siah, memang kalau diperbolehkanya mut"ah karena faktor tekanan sexual dimana jauh dari istri dan dalam keadaan perang, maka keadaan sekarang dimana orang yang tidak bisa menikah permanen setelah pernah menikah permanen, perkara cerainya yang gak kunjung selesai secara negara,shg nikah lagi jadi sulit,apalagi indonesia bukan negara Islam tdk mensuport fasilitas ini, dimana nikah dibawah tangan juga kebanyakan perempuanya hanya demi uang,untuk memoroti si lakilaki, jelas bagi yang anggaranya terbatas dimana dia terkena tekanan sexual yang sulit dihindari, setelah mencoba dg puasa dan lain lain tak bisa maka karena ia pernah merasakan nikah permanen, maka tekanan sexual yang kedua jauh lebih berat,seyelah puasa dan lain lain utk menghindari ternyata tidak bisa, maka nikah mut"ah dibolehkan walau status hukumnya haram, artinya jika keadaan dan kondisi tidak persis sepadan di zaman nabi membolehkan mut"ah, maka mut"ah tetap haram hukumnya takut disalahgunkan sebagai usaha pelacuran dan zina, namun jika keadaan sepadan daruratnya seperti saat nabi menghalalkan mut"ah maka , maka mut"ah dibolehkan walau statusnya haram hukumnya,Darurat tidak berdosa tetapi haram secara hukum statusnya
Comment by Anonim on 27 Januari 2011 pukul 16.42
keadaan ini memang pernah saya lakukan walau saya berfaham sunni bukan syiah karena saya melihat kalau halalnya nikah mut"ah karena keadaan kondisi tertentu, keadaan kondisi spt itu pasti akan terjadi dizaman sekarang cuma nuansanya berbeda. hukum adalah keseimbangan antara rasionalitas dan emosi seimbang. tolong kirim ke email saya.... penting64@yahoo.com
Comment by Anonim on 27 Januari 2011 pukul 16.52
saya tidak menyuruh anda ikut mut"ah spt saya, namun jika kondisi dan keadaan memang sangat terdesak, persis sepadan pada zaman rasulullah, maka bolehlah nikah nut'ah walau haram status hukumnya, namun jika dijadilan alat kebiasaaan berzina dan mendukung aktivitas pelacuran merazalela maka haram, namun dibolehkan jika keadaan sepadan persis dizaman rasulullah membolehkan nikah mut"ah,itu dibolehkan walau haram status haran status hukumnya. tetapi kalau masih bisa semampu mungkin jangan lakukakan karena itu merugikan kaum wanita, menyakiti wanita atau manusia maka berdosa.
Comment by Anonim on 27 Januari 2011 pukul 16.59
memang naudzubillah mindalik, orang yang pernah nikah permanen kemudian cerai secara agama, namun secara negara gak selesai selesai urusanya ditunda tunda sementra tekanan sexual luar biasa, dimana mau menikah lagi sulit karena stausnya belum duda secara negara shg wnita lain sulit menerima utk nikah. terus gimana? nikah mut"ah kalau gk ,kalau orang ini agamanya kuat , maka ketika dia zina maka dia bisa gila atau kafir karena kawatir Tuhan tidak pernah mengampuninya, solusinya mengambil rujukan keadaan yang sepadan zaman rosulullah maka hanya dngan mut"ah orang itu tidak gila atau kafir keluar dari keimanan naudzubillah mindzalik.
Comment by Om Prem on 29 Januari 2011 pukul 11.58
Wkwkwkw...
IDEM SEMUA, yg ngaku sunni or syi'i (pastinya syiah-lah) ujung-ujungnya seks.
Persis dengan parA 'WTS' yg merasa ga bs lg berusaha kecuali dengan 'MELACUR-kan' diri, dan oleh SYI'AH dilabelin NIKAH MUT'AH dgn segudang PAHALA FATAMORGANA!
Comment by Anonim on 31 Januari 2011 pukul 00.20
Ini masalah fikih. lihat saja siapa saja yang menganggap nikah mut'ah itu halal di http://en.wikipedia.org/wiki/Salaf_in_favor_of_Nikah_Mut%27ah_after_Muhammad
Comment by Anonim on 17 November 2011 pukul 01.23
MUT'AH ITU TELAH DIHARAMKAN.. IMAM Ali sediri karamallahu wajhahu telah mengharamkannya juga..MALAH DENGAN TEGAS MERIWAYATKAN PENGHARAMAN MUT’AH.. Riwayat riwayatnya sebagai berikut
kitab Tahdzibul Ahkam karya At Thusi pada jilid 7 halaman 251, dengan sanadnya dari :
Muhammad bin Yahya, dari Abu Ja’far dari Abul Jauza’ dari Husein bin Alwan dari Amr bin Khalid dari Zaid bin Ali dari ayahnya dari kakeknya dari Ali [Alaihissalam] bersabda: Rasulullah mengharamkan pada perang Khaibar daging keledai jinak dan nikah mut’ah.
Bagaimana perawinya? KITA LIHAT DARI LITERATUR SYIAH AJA..
Muhammad bin Yahya : dia adalah tsiqah, An Najasyi mengatakan dalam kitabnya [no 946] : guru mazhab kami di jamannya, dia adalah tsiqah [terpercaya]
Abu Ja’far , Tsiqah [terpercaya] lihat Al Mufid min Mu’jam Rijalil Hadits
Abul Jauza’, namanya adalah Munabbih bin Abdullah At Taimi , haditsnya Shahih lihat Al Mufid min Mu’jam Rijalil Hadits
Husein bin Alwan, Tsiqah [terpercaya], lihat Faiqul Maqal, Khatimatul Mustadrak, dan Al Mufid min Mu’jam Rijalul Hadits.
Amr bin Khalid Al Wasithi: Tsiqah, lihat Mu’jam Rijalil Hadits, Mustadrakat Ilmi Rijalil Hadits.
Zaid bin Ali bin Husein bin Ali bin Abi Thalib, salah satu ahlul bait Nabi, (yang ditinggalkan oleh syiah rafidhah karena beliau melarang mereka mencaci maki sahabat malah memuliakan mereka(sahabat)..beliau jelas tsiqah.
catat ya,,, tahzibul ahkam itu kitab syiah
logika aja ya.. kalo Umar mengharamkan apa yang telah dihalalkan nabi.. bukankah ada Imam Ali waktu itu, kenapa beliau tidak meluruskannya???? berarti sebenarnya Ali sepakat dengan umar
kalo dibilang umar kafir.. gogle ajalah "siapakah istri umar?????"
Comment by Anonim on 4 Mei 2012 pukul 15.49
saya sambung koment dari saudara diatas
Apakah Ali mengarang hadits Nabi SAWW Atau Ali mendengar sabda Nabi dan menyampaikannya sesuai yang didengarnya? Saya tidak percaya Ali berdusta atas nama Nabi SAWW bukan kah ali imam yang mak'sum, juga mestinya syiah –yang percaya Ali adalah maksum- tidak percaya bahwa Ali telah berdusta.jelas Ali mengikuti sabda Nabi SAWW, bahwa nikah mut’ah adalah haram dilakukan saat ini, meskipun pernah dihalalkan oleh Nabi dalam beberapa kondisi, yaitu dalam kondisi perang. Tetapi syiah saat ini menghalalkan mut’ah dalam segala kondisi, tidak hanya ketika kondisi perang. Ini bedanya nikah mut’ah yang pernah dibolehkan pada jaman Nabi SAWW dan mut’ah yang menjadi sebuah aksioma dalam mazhab syiah hari ini.
kita lihat kedudukan perempuan dalam nikah mut'at literatur syiah:
1Dari Zurarah dari Ayahnya dari Abu Abdullah, aku bertanya tentang mut'ah pada beliau apakah merupakan bagian dari pernikahan yang membatasi 4 istri? Jawabnya : menikahlah dengan seribu wanita, karena wanita yang dimut'ah adalah wanita sewaan. (Al Kafi Jilid. 5 Hal. 452.)2.Dari Zurarah bahwa Abu Abdullah berkata : Nikah mut'ah tidaklah sah kecuali dengan menyertakan 2 perkara, waktu tertentu dan bayaran tertentu. (Al Kafi Jilid. 5 Hal. 455.)3.Dari Zurarah dia berkata masa iddah bagi wanita yang mut'ah adalah 45 hari. Seakan saya melihat Abu Abdullah menunjukkan tangannya tanda 45, jika selesai waktu yang disepakati maka mereka berdua terpisah tanpa adanya talak. (Al Kafi . Jilid. 5 Hal. 458.)4.Dari Khalaf bin Hammad dia berkata aku mengutus seseorang untuk bertanya pada Abu Hasan tentang batas minimal jangka waktu mut'ah? Apakah diperbolehkan mut'ah dengan kesepakatan jangka waktu satu kali hubungan suami istri? Jawabnya : ya. (Al Kafi . Jilid. 5 Hal. 460)
5.Dari Abu Abdillah, ditanya tentang orang nikah mut'ah dengan jangka waktu sekali hubungan suami istri. Jawabnya : " tidak mengapa, tetapi jika selesai berhubungan hendaknya memalingkan wajahnya dan tidak melihat pasangannya". (Al Kafi jilid 5 hal 460)6.Dari Zurarah, bahwa dia bertanya pada Abu Ja'far, seorang laki-laki nikah mut'ah dengan seorang wanita dan habis masa mut'ahnya lalu dia dinikahi oleh orang lain hingga selesai masa mut'ahnya, lalu nikah mut'ah lagi dengan laki-laki yang pertama hingga selesai masa mut'ahnya tiga kali dan nikah mut'ah lagi dengan 3 lakii-laki apakah masih boleh menikah dengan laki-laki pertama? Jawab Abu Ja'far : ya dibolehkan menikah mut'ah berapa kali sekehendaknya, karena wanita ini bukan seperti wanita merdeka, wanita mut'ah adalah wanita sewaan, seperti budak sahaya. (Al Kafi jilid 5 hal 460)
7.Dari Umar bin Handhalah dia bertanya pada Abu Abdullah : aku nikah mut'ah dengan seorang wanita selama sebulan lalu aku tidak memberinya sebagian dari mahar, jawabnya : ya, ambillah mahar bagian yang dia tidak datang, jika setengah bulan maka ambillah setengah mahar, jika sepertiga bulan maka ambillah sepertiga maharnya. (Al Kafi . Jilid. 5 Hal. 452
Comment by Unknown on 9 Oktober 2015 pukul 16.05
bagus bro artikelnya, lengkap penjelasannya
Souvenir Pernikahan Murah Kediri
Comment by Anonim on 4 Agustus 2016 pukul 03.25
Haha
Syiah itu bukan Islam, dia agama buatan dari Yahudi untuk memecah belah agama Islam.
Semua manusia yang berilmu dan berpegang pada Al-Qur'an juga Hadist insyaaAllah sudah tahu trik/cara para Syiah untuk merusak Aqidah para umat Rasulullah SAW..
Allahuakbar!!
Comment by Anonim on 23 Juli 2018 pukul 22.59
salam untuk ahlul bait istri2 rasulullah aisyah, hafsah, dan lainnya. Dan salam untuk anak2 rasulullah zainab, ummu qultsum, dan lainnya. Salam untuk sahabat rasulullah abu bakar, umar, utsman, dan lainnya.