أَصْحَابِيْ كَالنُّجُوْمِ بِأَيِّهِمْ اقْتَدَيْتُمْ اهْتَدَيْتُمْ
"Sahabat-sahabatku ibarat bintang, dengan siapa saja kamu mengambil petunjuk maka kamu telah mendapatkan petunjuk."
Dalam redaksi lain disebutkan:
 إِنَّمَا أَصْحَابِيْ مِثْلُ النُّجُوْمِ فَأَيُّهُمْ أَخَذْتُمْ بِقَوْلِهِ اهْتَدَيْتُمْ
"Sesungguhnya para sahabatku ibarat bintang, siapa saja yang kalian ambil perkataannya, maka kalian telah mendapatkan petunjuk."[1]

Secara umum, di kalangan umat Islam terbagi dua kelompok besar dalam menyikapi para sahabat[2] Nabi saw. Mayoritas umat Islam digawangi kelompok Sunni menyatakan semua sahabat nabi saw udul dan semua fatwa, perbuatan mereka dianggap sebagai ijtihad. Ijma’ dan pendapat sahabat dapat dipakai sebagai dasar ketentuan hukum. Setidaknya ada tiga kelompok di kubu Sunni dalam menyikapi maksud udul para sahabat Nabi. Pertama, adil dalam pengertian mereka tidak akan pernah berbohong meski bisa saja berbuat salah maupun maksiat. Kedua, adil yang tidak cenderung melakukan dosa jikalau mereka melakukan pasti telah bertaubat. Terakhir, yang paling ekstrim adalah adil dalam arti semua sahabat nabi suci dan dijaga oleh Allah dari perbuatan dosa. Kelompok kedua biasanya disematkan pada Syiah yang menyatakan tidak semua sahabat Nabi saw udul, sebagian dari mereka bahkan tidak pantas untuk diikuti.

Berikut contoh-contoh ijtihad para sahabat Nabi saw:
  1. Umar bin Khathab. Sahabat ini yang pertama kali mengumpulkan jamaah dalam satu imam untuk melakukan salat tarawih di masjid, melarang Mut’ah, jika tidak ada air maka tidak tayammum dan tidak shalat, melarang menangisi jenazah[3], menebang pohon tempat perjanjian Hudaibiyah khawatir akan muncul fitnah[4] (dalil tindakan Wahabi menghancurkan hampir semua situs bersejarah umat Islam), menghapus lafal hayya ‘ala khairil amal dalam adzan[5], melarang haji tamattu’[6].
  2. Abdullah bin Umar bin Khathab melarang tarawih berjamaah di masjid dan menganjurkan untuk salat sendiri di rumah[7], memperbolehkan anal sex[8], biasa bertabarruk dengan bekas-bekas peninggalan Nabi saw,[9] mempraktekkan sholat Dhuha dan menyebutnya sebagai sebaik-baik bid’ah.[10] Adzan memakai lafal hayya ala khairil amaal.[11]
  3. Aisyah binti Abu Bakr diriwayatkan membolehkan seorang perempuan untuk menyusui laki-laki dewasa jika ingin menjadikannya muhrim.[12] Fatwa senada mengikuti pendapat Aisyah juga pernah dikeluarkan oleh ulama Mesir dan Saudi Arabia.
  4. Ali bin Abi Thalib melarang shalat Dhuha[13] dan tarawih[14], dan beliaulah yang menjadi rantai pertama dalam hampir semua silsilah tasawuf[15].
  5. Abdullah bin Abbas membolehkan mut’ah dan tidak pernah mencabut pandangannya dan murid-muridnya (Thawus, Mujahid, Sa’id bin Jubair dan Atha’ bin Abi Rabah) pun mengikuti pendapatnya termasuk juga para mufti awal Makkah dan Mina, membolehkan shalat Jamak walaupun tidak berpergian maupun ada halangan apapun.[16]
  6. Muawiyah bin Abi Sufyan menjual berhala,[17] mentradisikan pelaknatan bagi lawan politiknya, Ali bin Abi Thalib as. di mimbar-mimbar masjid, yang terhenti sementara pada masa Umar bin Abdul Aziz.
  7. Abdullah bin Zubair melarang Mut’ah.[18]
  8. Abu Ayyub. Ia bertabarruk kepada kubur Rasulullah saww. Dawud bin Abu Saleh mengatakan, “Suatu hari Marwan bin Hakam memasuki masjid (Madinah, pentj.). Dia melihat satu orang yang menempelkan wajahnya di kubur Rasulullah saww, lalu Marwan memegang lehernya dan mengangkatnya sambil berkata, “Tahukah kamu apa yang kamu lakukan?” Orang itu menoleh ke Marwan (hingga dikenalilah bahwa dia adalah Abu Ayyub al-Anshari) dan berkata, “Iya. Aku tidak datang pada batu kuburan, tapi aku datang pada Nabi saww. Aku pernah mendengar dari Rasulullah saww yang mengatakan, “Kalian tidak perlu menangis manakala kepemimpinan agama ada di tangan orang-orang agamawan. Tapi menangislah ketika jatuh ke tangan bukan orang ahli agama.”[19]
  9. Abu Thufail Amr bin Watsilah mempercayai adanya Raj’ah. Abdul Razzaq seorang ahli hadits Sunni pengarang al-Mushannaf juga guru Imam Bukhari pun konon mempercayai ini, sampai-sampai Ibnu Ma’in mengatakan : ”Jikalau Abdul Razzaq murtad dari agamanya pun, kami tidak akan meninggalkan hadisnya.
Melihat sebagian kecil perbedaan ijtihad para sahabat Nabi saw di atas, mengingatkan kita akan kondisi umat Islam sekarang ini, bahkan mungkin bisa dikatakan kondisi sepanjang masa umat Islam yang diributkan oleh masalah-masalah seperti diatas. Dan tak kapok-kapoknya selama 15 abad kita belum pernah belajar apapun dari sejarah itu. Jika anda Sunni seharusnya anda konsisten dengan hadist diatas yang sering dijadikan sandaran, yang mengatakan bahwa semua sahabat bisa menjadi panutan hidup beragama anda. Yang lebih penting lagi janganlah anda menuduh kelompok yang berbeda dengan anda karena memilih mengikuti ijtihad sahabat nabi yang berbeda dengan ijtihad sahabat yang anda ikuti. Toh, semua sahabat itu mengikuti jejak Nabi muhammad saw. Tidak ada yang salah dengan pilihan mengikuti sahabat siapapun itu, yang membedakan hanyalah dari tingkat keutamaan saja. Demikian juga dengan kelompok Syiah, yang mengaku sebagai pengikut ajaran keluarga Nabi saw, seharusnya anda bangga dengan hal tersebut dan mengikuti langkah-langkah para Imam yang suci dalam hidup bermasyarakat.
Zaid meriwayatkan: Imam Shadiq as berkata kepadanya: “Hai, Zaid bergaullah dengan orang-orang (sunni) dengan akhlak mereka. Shalatlah di masjid-masjid mereka (sunni). Tengoklah orang (sunni) mereka yang sakit. Hadirilah jenazah mereka (sunni). Jika kalian bisa menjadi imam dan muadzin, maka lakukanlah. Sesungguhnya jika kalian lakukan semua itu, mereka akan mengatakan: ‘Mereka itu Ja’fariyah! Semoga Allah merahmati Ja’far. Alangkah baiknya beliau mengajari sahabat-sahabatnya’. Namun jika kamu tinggalkan semua itu. Mereka mengatakan: ‘Mereka itu Ja’fariyah! Semoga Allah menindak Ja’far. Alangkah buruk yang dia ajarkan kepada sahabat-sahabatnya’.”



[1] Ibn Hazm rohimahulloh mengatakan: "Hadis palsu dan bathil, sama sekali tidak benar!" lihat kitab al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam (5/64 dan 6/82). Al-Albani berkata: "Hadis palsu" al-Dha'ifah (no. 66), lihat pula kitab Jami'u Bayani al-Ilmi wa Fadhlihi, karya Ibn Abdilbarr (2/91). http://www.aldakwah.org/artikel-islam/hadits/23-hadits-dhaif-dan-palsu.html
[2] Menurut Al Hafizh Ibnu Hajar, yaitu: “Sahabat adalah orang yang berjumpa dengan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam keadaan mukmin (beriman kepadanya) dan meninggal dalam keadaan Islam 4]. Sehingga tercakup dalam definisi ini orang yang berjumpa dengan Beliau dan bermulazamah (dalam waktu) lama atau sebentar, orang yang meriwayatkan hadits dari Beliau atau yang tidak, orang yang berperang bersama Beliau atau tidak, dan orang yang melihat Beliau walaupun belum bermajelis dengannya, dan orang yang tidak melihat Beliau karena buta. http://almanhaj.or.id/content/3085/slash/0
[3] Adalah hadits yang berkata, “Orang mati mendapat siksa kalau ditangisi keluarganya.” Hadits ini telah diriwayatkan oleh ‘Umar bin Khaththaab. Intinya adalah: Orang mati akan mendapat siksa kalau diratapi;     Orang mati akan mendapat siksa kalau ditangisi keluarganya; Orang mati akan mendapat siksa karena tangisan sebagian keluarganya.
Dari sebagian riwayat dapat dipahami bahwa sang perawi –‘Umar- ketika meriwayatkan haditsnya telah melakukan kekeliruan, atau mungkin ia kelupaan matan haditsnya. Karena itu ‘Aisyah menolak keras hadits ini.
Ibnu ‘Abbaas berkata, Ketika ‘Umar meninggal dunia, aku menukilkan hadits itu –yang dari ‘Umar- kepada ‘Aisyah.
Ia menjawab, “Semoga Tuhan merahmati ‘Umar. Demi Tuhan Nabi saww tidak pernah bersabda yang demikian itu. Yang disabdakan beliau adalah seperti ini: “Sesungguhnya Allah akan menambah siksa bagi orang-orang kafir disebabkan tangisan keluarganya.’ Dan untuk kalian cukuplah al-Quran yang berfirman, “Dan orang-orang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain.”” Di majelis itu juga ada anak ‘Umar, akan tetapi ia tidak berkomentar apapun.
Begitu pula telah diriwayatkan dari ‘Aisyah, ketika dikatakan kepadanya bahwa Ibnu ‘Umar telah meriwayatkan dari Nabi saww yang bersabda, “Orang mati akan mendapat siksa karena tangisan keluarganya.”, ia berkata, “Semoga Tuhan mengampuni Abu ‘Abdu al-Rahman, Ibnu ‘Umar. Ia tidak berdusta, akan tetapi mungkin ia sedang lupa atau salah meriwayatkan hadits. Ketika Nabi saww sedang melewati kuburan seorang perempuan Yahudi, beliau melihat keluarganya sedang menangisinya. Beliau bersada: ‘Mereka menangisi mayat yang dikubur, padahal yang di dalam kuburan sedang menderita adzab.’”
Hakim meriwayatkan, “Suatu hari Rasulullah saww mendatangi orang yang telah meninggal dan ‘Umar bin Khathab menyertainya. Saat itu terdengar suara tangisan wanita-wanita yang sedang menangis. ‘Umar menghardik mereka karena tangisannya itu. Rasulullah saww bersabda, “Hai ‘Umar, jangan ganggu mereka, karena menangis itu fitrah mata, sedih itu fitrahnya jiwa, sementara kematian itu sangatlah dekat!””
[4] Syekh Muhammad bin Baz mengatakan, “‘Umar menebang pohon yang dijadikan tempat berteduh Nabi Saw saat perjanjian Hudaibiyah. Hal itu dia lakukan ketika menerima informasi bahwa sebagian orang pergi ke sana dan shalat di dekatnya. Alasannya adalah untuk menghindari fitnah dan menutup celah agar tidak terperosok ke dalam keharaman.” Sedang menurut penganut bolehnya tabarruk memahami bahwa Umar tidaklah melarang tabarruk tetapi beliau menebang pohon tersebut karena pohon tempat terjadinya bai’at ridwan tidak diketahui pasti tempat beradanya.
[5] Asy Syaukani dalam Nailul Awthâr, 2/19, berkata, “Dan telah shahih bagi kami bahwa hayya ‘alâ khairil ‘amal adalah bagian dari adzan di zaman Rasulullah saw. ia dikumandangkan (oleh sang muadzdzin), dan tidak ada perubahan kecuali di zaman Umar. Demikianlah dikatakan oleh al Hasan  ibn Yahya. Hal itu diriwayatkan darinya dalam kitab Jâmi’ ‘âli Muhammad. Dan juga berdasarkan hadis yang diriwayatkan al Baihaqi dalam Sunan Kubra-nya dengan sanad yang shahih dari Abdullah ibn Umar bahwa ia membaca hayya ‘alâ khairil ‘amal dalam pasal adzan.
Al Qusyji dalam Syarh Tajrid menegaskan bahwa pengguguran itu adalah benar-benar telah dilakukan oleh Umar ketika ia menjabat sebagai Khalifah. Umar berpidato “Tiga hal yang ada di zaman Rasulullah saw. aku melarang dan mengaharamkannya sekarang serta akan menjatuhkan sangsi atas yang melakukannya; nikah mut’ah, haji tamattu’ dan hayya ‘alâ khairil ‘amal.
[6] Ibnu Katsir dalam kitab al Bidâyah wa an Nihâyah, 5/159 meriwayatkan: “Dikatakan kepada Abdullah ibn Umar bahwa ayahmu melarang haji tamattu’, maka ia berkata, “Aku takut kalian dihujani batu dari langit! Haji tamattu’ itu telah dijalankan Rasulullah! Apakah Sunnah (ajaran) Rasulullah lebih berhak diikuti atau sunnah Umar ibn al Khaththab?!”

[7] عبد الرزاق عن الثوري عن منصور عن مجاهد قال جاء رجل إلى بن عمر قال أصلي خلف الإمام في رمضان قال أتقرأ القرآن قال نعم قال افتنصت كأنك حمار صل في بيتك

‘Abdurrazaq dari Ats Tsawriy dari Manshur dari Mujahid yang berkata seorang laki-laki datang kepada Ibnu Umar dan berkata “bolehkah aku shalat di belakang imam pada bulan ramadhan?”. Ibnu Umar berkata “engkau bisa membaca Al Qur’an?” ia berkata “ya”. Ibnu Umar berkata “maka mengapa kamu diam berdiri seperti keledai, shalatlah di rumahmu” [Mushannaf ‘Abdurrazaaq 4/264 no 7742]

حَدَّثَنَا ابْنُ نُمَيْرٍ ، قَالَ : حدَّثَنَا عُبَيْدُ اللهِ بْنُ عُمَرَ ، عَنْ نَافِعٍ ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ ، أَنَّهُ كَانَ لاَ يَقُومُ مَعَ النَّاسِ فِي شَهْرِ رَمَضَانَ ، قَالَ : وَكَانَ سَالِمٌ وَالْقَاسِمُ لاَ يَقُومُانَ مَعَ النَّاسِ

Telah menceritakan kepada kami Ibnu Numair yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Ubaidillah bin ‘Umar dari Nafi’ dari Ibnu Umar bahwasanya ia tidak shalat bersama orang-orang di bulan ramadhan. [Nafi’] berkata “Salim dan Qasim keduanya juga tidak shalat bersama orang-orang” [Al Mushannaf Ibnu Abi Syaibah 2/396 no 7796]

حَدَّثَنَا أَبُو خَالِدٍ الأَحْمَرِ ، عَنِ الأَعْمَشِ ، قَالَ : كَانَ إبْرَاهِيمُ وَعَلْقَمَةُ لاَ يَقُومُانَ مَعَ النَّاسِ فِي رَمَضَانَ

Telah menceritakan kepada kami Abu Khalid Al Ahmar dari Al A’masyiy yang berkata “Ibrahim dan ‘Alqamah tidak shalat bersama orang-orang di bulan ramadhan” [Al Mushannaf Ibnu Abi Syaibah 2/397 no 7800]
[8] Pendapat ini diamini oleh ulama-ulama awal Madinah, termasuk dalam beberapa riwayat anal sex diperbolehkan oleh Imam Malik. Bahkan Bukhari dalam Shahihnya “terpaksa” menghilangkan redaksi riwayat Ibnu Umar yang menunjukkan kebolehan anal sex.
[9] Naafi’ berkata, “Kalau kamu melihat bagaimana Ibnu Umar (anak Umar) menelusuri bekas-bakas Nabi saww.(bertabarruk), maka kamu akan berkata bahwa dia sudah gila.”
Ia juga berkata, “Ibnu Umar suka menelusuri bekas-bekas Rasulullah saww. Dimana saja Nabi saww pernah melakukan shalat, iapun shalat di tempat itu. Ia juga menjaga, memelihara dan menyirami dengan air, pohon yang pernah disandari Nabi saww supaya tidak mati dan kering.”
[10] ‘Abdullah ibn ‘Umar menganggap bahwa shalat Dhuha sebagai bid’ah, karena Rasulullah tidak pernah melakukannya. Tentang shalat Dhuha ini beliau berkata:
إِنَّهَا مُحْدَثَةٌ وَإِنَّهَا لَمِنْ أَحْسَنِ مَا أَحْدَثُوْا (رواه سعيد بن منصور بإسناد صحيح(
Sesungguhnya shalat Dhuha itu perkara baru, dan hal itu merupakan salah satu perkara terbaik dari apa yang mereka rintis”. (HR. Sa’id ibn Manshur dengan sanad yang Shahih)
Dalam riwayat lain, tentang shalat Dhuha ini sahabat ‘Abdullah ibn ‘Umar mengatakan:
بِدْعَةٌ وَنِعْمَتْ البِدْعَةُ (رواه ابن أبي شيبة(
Shalat Dhuha adalah bid’ah, dan ia adalah sebaik-baiknya bid’ah”. (HR. Ibn Abi Syaibah)
Riwayat-riwayat ini dituturkan oleh al-Hafizh Ibn Hajar dalam Fath al-Bari dengan sanad yang shahih.
[11] Sunan Al-Baihaqî (jil. 1, hal. 424), salah satunya:
حاتم بن إسماعيل عن جعفر بن محمد عن أبيه أن علي بن الحسين كان يقول في أذانه إذا قال حي على الفلاح قال حي على خير العمل ويقول هو الأذان الأول
Hatim bin Ismail dari Jafar bin Muhammad dari ayahnya, sesungguhnya Ali bin Husain dalam azannya setelah mengucap hayya ‘ala al-falâh dilanjutkan dengan hayya ‘alâ khair al-’amal. Ia berkata, “Demikianlah al-adzân al-awwal.”
“Azan pada awalnya” yang dimaksud adalah azan pada zaman rasul. Selain dari cucu nabi, Ali bin Husain, hadis juga diriwayatkan berasal dari Ibnu Umar dan Sahal bin Hunaif.
[12] عَنْ عَائِشَةَ رضي الله عنها أَنَّ سَالِمًا مَوْلَى أَبِي حُذَيْفَةَ كَانَ مَعَ أَبِي حُذَيْفَةَ وَأَهْلِهِ فِي بَيْتِهِمْ فَأَتَتْ تَعْنِي ابْنَةَ سُهَيْلٍ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ : إِنَّ سَالِمًا قَدْ بَلَغَ مَا يَبْلُغُ الرِّجَالُ ، وَعَقَلَ مَا عَقَلُوا ، وَإِنَّهُ يَدْخُلُ عَلَيْنَا ، وَإِنِّي أَظُنُّ أَنَّ فِي نَفْسِ أَبِي حُذَيْفَةَ مِنْ ذَلِكَ شَيْئًا . فَقَالَ لَهَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : أَرْضِعِيهِ تَحْرُمِي عَلَيْهِ ، وَيَذْهَبْ الَّذِي فِي نَفْسِ أَبِي حُذَيْفَةَ ، فَرَجَعَتْ فَقَالَتْ إِنِّي قَدْ أَرْضَعْتُهُ فَذَهَبَ الَّذِي فِي نَفْسِ أَبِي حُذَيْفَةَ .
Dari Aisyah radhiallahu anhu bahwa Salim bekas budak Abu Hudzaifah sedang bersama Abu Hudzaifah dan keluarganya dirumah mereka lalu datanglah putri Suhail kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan berkata: Sesungguhnya Salim telah baligh sebagaimana mestinya kaum laki, dan memahami seperti mereka paham, dan dia memasuki kami, dan saya mengira bahwa ada perasaan yang mengganggu pada Abu Hudzaifah , maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata kepadanya: susuilah dia sehingga menjadi mahramnya, dan menghilangkan perasaan yang mengganggu pada Abu Hudzaifah, lalu dia kembali dan berkata: Saya telah menyusuinya dan telah hilang perasaan yang mengganggu pada Abu Hudzifah.
[13] Aisyah berkata : “Rasul tidak pernah melakukan sholat Dhuha, tetapi saya melakukannya. Shohih Bukhori, jilid 1, bab “Sholat Tahajjud”, riwayat 1076.
Murawwiq meriwayatkan bahwa ia bertanya kepada Ibn Umar tentang sholat Dhuha. Ibn Umar menerangkan bahwa sholat tersebut tidak pernah dilakukan oleh Rasul (saww), maupun Abubakar dan Umar. Ibid, riwayat 1121.
Aisyah berkata : “Aku tidak pernah melihat Rasulullah melakukan sholat Dhuha, tetapi aku melakukannya. Ibid, riwayat 1123.
Mujahid meriwayatkan bahwa ia bersama Urwah bin Zubair bertanya kepada Ibn Umar tentang orang-orang di Masjid yang saat itu melakukan sholat Dhuha. Ibn Umar menjawab bahwa hal itu adalah bid’ah. Ibid, bab “Umrah”, riwayat 1685.
Berikut adalah beberapa riwayat dari Ahlul Bait as, tentang kebid’ahan sholat Dhuha :
Zurarah meriwayatkan dari Imam al-Baqir as, yang berkata : “Rasulullah saww sama sekali tidak pernah melakukan sholat Dhuha. Al-Hurr al-Amili, “Wasail al-Syi’ah”, jilid 4, hal. 100, riwayat 4621.
Abdul Wahid bin Mukhtar al-Anshari meriwayatkan dari Imam al-Baqir as, yang mengatakan : “Rasulullah tidak pernah melakukan sholat Dhuha. Yang pertama melakukannya adalah kaummu, yang mana mereka adalah orang-orang yang lalai. Mereka mengerjakan sholat Dhuha, padahal Rasul saww tidak melakukannya.” Kemudian beliau as melanjutkan : “Suatu hari Ali as berjalan bersama seorang laki-laki. Laki-laki itu kemudian melakukan sholat Dhuha, sehingga Ali as bertanya : “Sholat apa yang kau lakukan ?” Ia menjawab : “Aku melakukan sholat Dhuha, wahai Amirul Mukminin.” Ali as lalu berkata : “Sekarang aku melarang seorang hamba, ketika ia melakukan sholat”. Ibid, hal. 101, riwayat 4623.
Fudhail meriwayatkan dari Imam Ja’far al-Shadiq as, yang berkata : “Rasul saww bersabda bahwa sholat Dhuha adalah bid’ah. Ibid, riwayat 4625.
Zurarah, Muhammad bin Muslim, dan Fudhail meriwayatkan dari Imam Ja’far al-Shadiq as, yang berkata : “Sholat Dhuha adalah bid’ah…. Jangan kalian melakukan sholat Dhuha, karena hal itu adalah kemaksiatan. Sungguh setiap bid’ah adalah kesesatan, dan setiap kesesatan berada di jalan neraka. Ibid, jilid 8, hal. 45, riwayat 10.062.
[14] Riwayat dari Imam Ja’far As Shadiq: ketika Amirul Mukminin –Ali- tiba di kota Kufah, beliau memerintahkan Hasan bin Ali untuk mengumumkan: Tidak ada shalat jamaah di masjid pada bulan ramadhan, lalu Hasan pun mengumumkan di tengah masyarakat, mendengar pengumuman itu masyarakat berteriak: Duhai ajaran Umar, duhai Ajaran Umar, Hasan pun kembali menghadap Ali, Ali bertanya: Suara apa itu? Hasan menjawab: Wahai Amirul Mukminin, orang-orang berteriak: Duhai ajaran Umar, duhai ajaran Umar, lalu Amirul Mukminin mengatakan: Shalatlah.
[15] Diriwayatkan oleh Tirmidzi dalam Sunan Tirmidzi 5/639 no 3726

حدثنا علي بن المنذر الكوفي حدثنا محمد بن فضيل عن الأجلح عن أبي الزبير عن جابر قال دعا رسول الله صلى الله عليه و سلم عليا يوم الطائف فأنتجاه فقال الناس لقد طال نجواه مع ابن عمه فقال رسول الله صلى الله عليه و سلم وما انتجيته ولكن الله أنتجاه

Telah menceritakan kepada kami Ali bin Mundzir Al Kufi yang berkata telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Fudhail dari Al Ajlah dari Abi Zubair dari Jabir yang berkata “Rasulullah SAW memanggil Ali pada hari Thaif , kemudian berbicara berdua saja. Maka orang-orang berkata “Lama sekali pembicaraan Beliau dengan anak pamannya”. Maka Rasulullah SAW berkata “Bukan Aku yang berbicara berdua dengannya akan tetapi Allah-lah yang berbicara berdua dengannya”.
Tirmidzi berkata tentang hadis ini “hadis hasan gharib tidak diketahui kecuali dari hadis Al Ajlah dan telah diriwayatkan oleh selain Ibnu Fudhail dari Al Ajlah”.
Al Mubarakfuri dalam Tuhfatul Ahwadzi Syarh Sunan Tirmidzi no 3879 ketika menjelaskan hadis ini, ia mengutip pernyataan At Thibi

قال الطيبي كان ذلك أسراراً إلهية وأموراً غيبية جعله من خرانتها انتهى

At Thibi berkata “Yang disampaikan adalah rahasia-rahasia ilahiah (ketuhanan) dan perkara-perkara ghaib yang Ali dijadikan tempat penyimpanannya”.
[16] Yunus menceritakan kepada kami, Hammad yakni Ibnu Zaid menceritakan kepada kami dari Az Zubair yakni Ibnu Khirrit dari Abdullah bin Syaqiq, ia berkata “Ibnu Abbas menyampaikan ceramah kepada kami setelah shalat Ashar hingga terbenamnya matahari dan terbitnya bintang-bintang, sehingga orang-orang pun mulai berseru, “Shalat, Shalat”. Maka Ibnu Abbas pun marah, Ia berkata “Apakah kalian mengajariku Sunnah? Aku telah menyaksikan Rasulullah SAW menjamak Zhuhur dengan Ashar dan Maghrib dengan Isya’ “. Abdullah mengatakan “Aku merasa ada ganjalan pada diriku karena hal itu, lalu aku menemui Abu Hurairah, kemudian menanyakan tentang itu, ternyata Ia pun menyepakatinya”. (Musnad Ahmad jilid III no 2269, dinyatakan shahih oleh Syaikh Ahmad Muhammad Syakir)
Abdurrazaq menceritakan kepada kami, Sufyan menceritakan kepada kami, dari Abu Az Zubair dari Sa’id bin Jubair dari Ibnu Abbas, ia berkata “Nabi SAW menjama’ Zhuhur dengan Ashar di Madinah ketika tidak sedang bepergian dan tidak pula dalam kondisi takut(khawatir)”. Ia(Sa’id) berkata “Wahai Abu Al Abbas mengapa Beliau melakukan itu?”. Ibnu Abbas menjawab “Beliau ingin agar tidak memberatkan seorangpun dari umatnya”. (Musnad Ahmad jilid III no 2557, dinyatakan shahih oleh Syaikh Ahmad Muhammad Syakir)

[17] وحدثنا محمد بن بشار قال حدثنا عبد الرحمن قال حدثنا سفيان عن الأعمش عن أبي وائل قال كنت مع مسروق بالسلسلة  فمرت عليه سفينة فيها أصنام ذهب وفضة بعث بها معاوية إلى الهند تباع فقال مسروق لو أعلم أنهم يقتلوني لغرقتها ولكني أخشى الفتنة

Dan telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Basyaar yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Abdurrahman yang berkata telah menceritakan kepada kami Sufyan dari Al A’masy dari Abi Wa’il yang berkata “aku bersama Masruq kemudian melintas kapal yang membawa berhala-berhala dari emas dan perak, Muawiyah mengirimnya ke India untuk dijual. Masruq berkata “seandainya aku tahu bahwa mereka akan membunuhku maka aku akan menenggelamkannya [kapal itu] tetapi aku khawatir munculnya fitnah” [Tahdzib Al Atsar Ibnu Jarir Ath Thabari no 1642]

[18] وحدثني حرملة بن يحيى أخبرنا ابن وهب أخبرني يونس قال ابن شهاب أخبرني عروة بن الزبير أن عبدالله ابن الزبير قام بمكة فقال إن ناسا أعمى الله قلوبهم كما أعمى أبصارهم يفتون بالمتعة يعرض برجل فناداه فقال إنك لجلف جاف فلعمري لقد كانت المتعة تفعل على عهد إمام المتقين ( يريد رسول الله صلى الله عليه و سلم ) فقال له ابن الزبير فجرب بنفسك فوالله لئن فعلتها لأرجمنك بأحجارك

Telah menceritakan kepadaku Harmalah bin Yahya yang berkata telah mengabarkan kepada kami Ibnu Wahb yang berkata telah mengabarkan kepadaku Yunus yang berkata Ibnu Syihab telah mengabarkan kepadaku Urwah bin Zubair bahwa Abdullah bin Zubair berdiri [menjadi khatib] di Makkah dan berkata sesungguhnya ada orang yang dibutakan Allah mata hatinya sebagaimana Allah telah membutakan matanya [yaitu Ibnu Abbas] yaitu berfatwa bolehnya nikah mut’ah. Ia menyindir seseorang maka orang tersebut memanggilnya dan berkata “sungguh kamu adalah orang yang kaku dan keras demi umurku mut’ah telah dilakukan di zaman Imam orang-orang yang bertakwa [yaitu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam]”. Maka Ibnu Zubair berkata “lakukanlah sendiri, demi Allah jika kamu melakukannya maka aku akan merajammu dengan batu” [Shahih Muslim 2/1023 no 1406]
[19] Hadits ini diriwayatkan Hakim dalam al-Mustadrak-nya dan Dzahabi menshahihkannya. Sabki berkata, “Kalau hadits ini shahih adanya, maka mengusap dinding kuburan tidak makruh lagi. Allamah Amini berkata, “Hadits ini menjelaskan suatu masaah kepada kita. Yaitu bahwasannya pelarangan tawassul di kuburan orang-orang suci adalah bid’ah yang diadakan oleh kerajaan Bani Umayyah.

These icons link to social bookmarking sites where readers can share and discover new web pages.
  • Digg
  • Sphinn
  • del.icio.us
  • Facebook
  • Mixx
  • Google
  • Furl
  • Reddit
  • Spurl
  • StumbleUpon
  • Technorati