Archives

Pengakuan

Ali adalah satu-satunya orang setelah Rasulullah saw yang ucapannya diperhatikan, dihafal, dan dicatat oleh masyarakat. Ibn Abil Hadid menukil perkataan Abdul Hamid al-Kâtib yang merupakan buah bibir disiplin ilmu penulisan[1] yang hidup pada permulaan abad kedua Hijriah sebagai berikut, “Saya hafal tujuh puluh dari ceramah-ceramah Ali as dan setelah menghafal ceramah-ceramah itu, benakku mendidih dan mendidih.

Ali al-Jundi meriwayatkan, dia bertanya kepada Abdul Hamid, “Apa yang membuat Anda sampai pada tingkatan balaghah seperti ini?” Dia menjawab, “Menghafal ucapan ashla‘ itu.”[2]

Abdurrahim bin Nabatah adalah pujaan para orator Arab. Di periode Islam, dia mengakui bahwa modal intelektual dan seleranya diinpor dari Ali as. Ibn Abil Hadid menukil perkataannya dalam pengantar Syarah Nahjul Balaghah sebagai berikut, “Saya menghafal seratus pasal dari kata-kata Ali as dan kusimpan baik-baik dalam benak. Dan kata-kata itu merupakan simpanan berharga yang tidak akan pernah habis.”

Jâhizh, sastrawan jenius dan orator makruf yang hidup pada permulaan abad ketiga Hijriah dan kitabnya yang berjudul “al-Bayân wa at-Tabyîn” merupakan salah satu dari empat tonggak sastra Arab.[3] Dia sering mengungkapkan dalam bukunya pujian dan rasa herannya yang luar biasa terhadap kata-kata Imam Ali as. Bisa ditarik pengertian dari ungkapannya bahwa pada saat itu, kata-kata Amirul Mukminin as tersebar luas di tengah masyarakat.

Jâhizh, dalam jilid pertama “al-Bayân wa at-Tabyîn”[4] menukil pendapat orang-orang yang memuji sifat diam dan mencela sifat banyak bicara. Kemudian dia berkomentar demikian, “Banyak bicara yang tercela adalah bicara yang tiada manfaatnya, bukan pembicaraan yang bermanfaat, dan Ali bin Abi Thalib serta Abdullah bin Abbas juga termasuk orang yang banyak bicara (yang bermanfaat).”

Ada kata mutiara makruf Amirul Mukminin as yang dinukil oleh Jâhizh dalam jilid pertama kitab tersebut, yaitu:

ÞöíúãóÉõ ßõáøö ÇãúÑöÆò ãóÇ íõÍúÓöäõåõ

“Harga setiap manusia adalah perbuatah baik yang dilakukannya.”[5]

Setelah itu, Jâhizh memuji ungkapan bahwa ia adalah lebih dari setengah halaman seraya menjelaskan, “Dari awal sampai akhir kitab ini, apabila tidak ada apa pun kecuali kalimat ini, niscaya sudah cukup bahkan mencukupi. Ungkapan terbaik adalah yang sedikitnya mencukupimu dari yang banyak. Artinya, tidak tersembunyi dalam kata-kata melainkan tampak secara jelas.”

Kemudian dia juga menegaskan, “Seakan-akan Allah SWT telah memakaikannya baju kebesaran dan menyelimutinya dengan cahaya hikmah sesuai dengan pemilik kalimat tersebut dan juga takwa pengucapnya.”

Saat akan mengulas orasi Sha‘sha‘ah bin Shauhan[6] dalam kitabnya tersebut, dia mengatakan, “Bukti paling kuat atas keistimwaan orasi Sha‘sha‘ah adalah terkadang Ali as duduk dan memintanya untuk berceramah.”

Ada komentar makruf dari sayid Radhi yang memuji kata-kata Amirul Mukminin as. Dia mengatakan, “Amirul Mukminin as adalah muara dan tempat lahirnya kefasihan. Tata cara kefasihan pun diambil dari beliau. Setiap orator meniru langkah-langkahnya. Semua penasihat minta bantuan dari kalimat-kalimatnya. Kendatipun demikian, mereka tetap tidak bisa menyaingi beliau, bahkan tetap tertinggal di belakang. Hal itu karena komunikasi beliau terusap oleh ilmu Tuhan dan berbau sabda Nabi.”

Ibn Abil Hadid adalah satu dari ulama Mu‘tazilah pada abad ketujuh Hijriah. Dia adalah sastrawan mahir dan pujangga yang handal. Dan sebagaimana kita ketahui bersama, dia sangat tertarik pada ucapan-ucapan Amirul Mukminin as dan berulang kali menyatakan ketertarikannya tersebut dalam karyanya, Syarah Nahjul Balaghah. Dia mengatakan di pengantar bukunya, “Demi Yang Maha Benar, perkataan Ali as di bawah firman Khâliq dan di atas perkataan makhluk. Masyarakat belajar disiplin ilmu ceramah dan penulisan darinya ... Cukup sebagai bukti, satu persepuluh atau satu perduapuluh dari perkataan Ali as yang disimpan oleh masyarakat tidak dinukil oleh mereka berkenaan dengan sahabat Nabi saw yang lain. Padahal mereka juga orang-orang yang fasih, dan cukup juga sebagai alasan untuk hal itu bahwa Jâhizh memuji Amirul Mukminin as di dalam “al-Bayân wa at-Tabyîn” dan kitab-kitabnya yang lain.”

Ibn Abil Hadid dalam jilid empat bukunya menjelaskan surat Amirul Mukminin as kepada Abdullah bin Abbas di Bashrah setelah penaklukan Mesir di tangan prajurit Mu‘awiyah dan kesyahidan Muhammad bin Abi Bakar[7] sebagai berikut, “Coba perhatikan kefasihan yang memasrahkan kendali pada lelaki ini (Ali as). Saksikanlah susunan kata yang sangat menakjubkan. Satu persatu silih berganti secara beruntun dan berurutan sesuai dengan yang dia inginkan seperti sumber yang mengalir dengan sendirinya memancar dari bumi tanpa susah payah. Subhânnallâh! Pemuda dari Arab yang besar di kota Mekkah dan tidak pernah bertemu dengan orang hakim, akan tetapi kata-katanya di bidang hikmah (falsafah) teoritis lebih tinggi dari perkataan Plato dan Aristoteles. Beliau pun tidak pernah bergaul dengan pakar hikmah praktis, tapi kata-katanya melebihi perkataan Socrates. Beliau tidak terdidik di tengah para pemberani dan pasukan perang—karena penduduk Mekkah adalah pedagang, bukan ahli perang, tapi dia adalah manusia paling berani di muka bumi. Khalil bin Ahmad ditanya orang, ‘Manakah yang lebih berani antara Ali as dan Anbasah atau Bustam?’ Dia menjawab, ‘Anbasah dan Bustam harus diukur dengan orang-orang biasa lainnya, sedangkan Ali as di atas manusia biasa.’ Pria ini lebih fasih dari Sahban bin Wail dan Qais bin Sai‘dah, padahal Quraisy adalah sukunya dan Quraisy bukanlah suku yang paling fasih. Suku Arab terfasih adalah Jurhum, meskipun mereka tidak begitu cerdik ....”

Di Cermin Masa Kini

Sejak empat belas abad silam sampai sekarang, dunia telah mengalami ribuan warna. Budaya demi budaya bergantian dan selera pun berubah dari satu ke yang lain. Boleh jadi orang beranggapan bahwa peradaban dan selera kuno tunduk dan menerima kata-kata Ali as, sementara intelektual modern dan selera masa kini memiliki penilaian yang berbeda. Akan tetapi, harus kita sadari bahwa perkataan Ali as tidak terbatas oleh ruang dan waktu tertentu, baik dari sisi format maaupun muatan. Bahkan kata-kata manusiawi yang global. Hal ini akan kita diskusikan nanti dan untuk sementara kita coba tandingi pernyataan tersebut dengan ulasan cendekiawan kontemporer.

Almarhum Syaikh Muhammad Abduh, mantan Mufti Mesir, termasuk orang yang keterasingannya dari negerinya—tanpa disengaja—mengantarkannya untuk kenal dengan Nahjul Balaghah. Perkenalan ini menimbulkan rasa heran, dan rasa heran inilah yang akhirnya menyebabkan dia menulis buku penjelasan Nahjul Balaghah dan menyebarkannya di kalangan pemuda Arab. Dia mengatakan di pengantar buku tersebut, “Tak seorang pun dari suku Arab yang tidak meyakini bahwa setelah Al-Qur’an dan sabda Nabi saw ucapan Ali as adalah yang termulia, terfasih, paling berbobot, dan juga konfrehensif.”

Kepala Fakultas ‘Ulum di Universitas Kairo berkomentar tentang prosa Amirul Mukminin as di pengantar buku yang berjudul “Ali bin Abi Thalib, Puisi dan Hikmahnya” sebagai berikut, “Ada semacam lagu dan musik tersendiri dalam kata-kata Ali as yang mendarat tajam di perasaan setiap orang. Dari sisi sajak begitu teratur (manzum; diberi not) sehingga bisa disebut dengan puisi terprosa.” Dia juga menukil Qudamah bin Ja‘far yang berkata, “Sebagian orang mahir di pepatah dan sebagian lain hebat di ceramah panjang, sedangkan Ali as paling hebat di semua bidang tersebut sebagaimana beliau juga paling unggul di segala keutamaan.”

Thaha Husain, sastrawan sekaligus penulis terkenal kontemporer Mesir, dalam kitabnya berjudul “Ali wa Banûhu” menceritakan seorang lelaki yang terjerumus dalam keraguan di saat berlangsungnya perang Jamal. Dia bergumam pada dirinya sendiri bagaimana mungkin pribadi-pribadi setingkat Thalhah dan Zubair salah?! Dia mengkonsultasikan kegelisahan hatinya langsung kepada Ali as dan menanyakannya. Ali as berkata kepadanya:

Åöäøóßó áóãóáúÈõæúÓñ Úóáóíúßó¡ Åöäøó ÇáúÍóÞøó æó ÇáúÈóÇØöáó áÇó íõÚúÑóÝóÇäö ÈöÃóÞúÏóÇÑö ÇáÑøöÌóÇáö¡ ÇÚúÑöÝö ÇáúÍóÞøó ÊóÚúÑöÝú Ãóåúáóåõ æó ÇÚúÑöÝö ÇáúÈóÇØöáó ÊóÚúÑöÝú Ãóåúáóåõ

Maksudnya, kamu dalam kesalahan besar. Kamu telah memutarbalikkan permasalahan. Semestinya, kamu harus memposisikan kebenaran dan kesalahan sebagai tolok ukur besar dan kecilnya pribadi seseorang. Tapi sebaliknya, kamu jadikan kebesaran dan kerendahan yang sebelumnya kamu perkirakan sebagai tolok ukur kebenaran dan kebatilan. Kamu ingin mengenali kebenaran melalui personal-personal! Bertindaklah sebaliknya! Pertama-tama kenalilah kebenaran, ketika itu kenalilah siapakah yang benar dan kenalilah kebatilan itu sendiri dan kemudian kenalilah siapa yang batil. Dengan demikian, tidak lagi penting bagi dirimu siapakah pendukung kebenaran dan siapakah orang yang mendukung kebatilan, dan kamu tidak lagi heran atau ragu menilai kesalahan pribadi-pribadi tersebut.

Syakib Arsalan dengan julukan Amîrul Bayân adalah salah satu penulis kontemporer Arab yang handal. Di salah satu pertemuan di Mesir yang diselenggarakan untuk menghormatinya, salah seorang peserta naik ke panggung dan di sela-sela pembicaraannya dia mengatakan, “Ada dua orang di sepanjang sejarah Islam yang sungguh tepat dijuluki dengan Amirul Bayan (Raja Komunikasi); pertama adalah Ali bin Abi Thalib as dan yang kedua adalah Syakib.”

Syakib Arsalan marah dan segera bangkit menuju panggung acara dan mengungkapkan kekecewaannya atas perbandingan yang dilakukan oleh temannya tadi. Dia berkata, Saya di mana sedangkan Ali bin Abi Thalib as di mana! Bahkan saya tidak sebanding dengan tali sepatu Ali as.”[8]

Micheil Naimah, penulis kontemporer Kristen dari Lebanon, mengatakan dalam pengantar buku “al-Imam Ali” karya Goerge Jourdagh, cendekiawan Kristen Lebanon, “Ali bukan hanya juara di medan perang, tapi dia juara di segala bidang: di kejernihan hati, kesucian intuisi, daya tarik komunikasi yang menawan, kemanusian yang nyata, iman yang berkobar, ketenangan yang tegar, bantuan terhadap orang-orang tertindas, kepasrahan terhadap hakikat, dan kebenaran di mana saja. Ali as adalah juara di semua bidang tersebut.”

Kita cukupkan sekian dulu untuk menukil pujian orang-orang lain. Pemuja ucapan Ali as adalah pemuja dirinya sendiri.

Mâdeh-e khorshîd maddâh-e khudast,

Keh dû cheshmam roushan-u nâ-marmadast.

Pemuja matahari adalah pemuja dirinya sendiri,

Dua mataku bersinar dan tidak rabun.

Kita akhiri ulasan kali ini dengan menukil perkataan Ali as. Suatu hari, salah satu dari sahabat Ali as hendak berceramah. Akan tetapi lidahnya kelu dan membisu. Ali as berkata, “Lidah adalah bagian tubuh manusia dan dikendalikan oleh benak seseorang. Jika benak seseorang buntu dan tidak bergejolak, maka lidah pun tak mampu berbuat apa-apa. Akan tetapi, apabila benak seseorang terbuka, maka ia tidak akan memberi kesempatan pada lidah untuk berdiam.” Beliau melanjutkan:

æó ÅöäøóÇ áóÃõãóÑóÇÁõ ÇáúßóáÇóãö æó ÝöíúäóÇ ÊóäóÔøóÈóÊú ÚõÑõæúÞõåõ æó ÚóáóíúäóÇ ÊóåóÏøóáóÊú ÛõÕõæúäõåõ

“Sungguh kami adalah raja komunikasi dan perkataan. Akar pohon komunikasi tertancap di bawah kita dan cabang-cabangnya pun bergantungan di atas kita.”[9]

Jâhizh meriwayakan dalam kitabnya “al-Bayân wa at-Tabyîn” dari Abdullah bin al-Husain bin Ali (Abdullah Mahdh) bahwa Ali as berkata, “Kita berbeda dari orang lain karena lima keistimewaan: fasih, indah, pemaaf, pemberani, dan dicintai oleh para wanita.”[10]


--------------------------------------------------------------------------------

[1] Dia adalah penulis khalifah terakhir Bani Umaiyah, yaitu Marwan bin Muhammad, berkebangsaan Persia, dan guru Ibn Muqaffa’—cendekiawan dan penulis terkenal. Mereka berkomentar tentang Abdul Hamid sebagai berikut, Penulisan dimulai dengan Abdul Hamid dan berakhir pada Ibnul ‘Amid.” Ibnul Amid adalah seorang mentri dari dinasti kerajaan Buyeh.

[2] Ashla‘ adalah orang yang rambut depannya rontok. Abdul Hamid mengakui keutamaan dan kesempurnaan Amirul Mukminin as. Akan tetapi, karena dia akrab dengan dinasti Umaiyah, maka dia menyebut Amirul Mukminin as dengan sebutan yang humoris.

[3] Tiga tonggak yang lain adalah Adab al-Kâtib, karya Ibn Qutaibah, al-Kâmil, karya Mubarrad, dan an-Nawâdir, karya Abi Ali Qali. Pengantar al-Bayân wa at-Tabyîn menukil dari Mukadimah Ibn Khaldun.

[4] Hal. 202.

[5] Hal. 83.

[6] Dia adalah satu dari sekian sahabat utama Amirul Mukminin as dan termasuk orator yang masyhur. Ketika Amirul Mukminin as menjadi khalifah setelah kematian Utsman, dia berkata kepada beliau, “Kamu telah hiasi kekhalifahan dan dia tidak menghiasimu, kamu telah mengangkatnya dan dia tidak mengangkatmu, dia lebih membutuhkanmu dari pada kamu membutuhkannya.”

Sha‘sha‘ah adalah termasuk orang terbatas yang ikut mengantar jenazah Amirul Mukminin as di malam wafatnya dan ikut menguburkan di tengah malam. Seusai penguburan, dia berdiri di sisi kuburan Amirul Mukminin as. Dia letakkan satu tangannya di atas hati yang bergejolak dan berdetak kencang dan satu tangan lagi menggenggam tanah yang kemudian dia tuangkan ke atas kepalanya seraya membawakan ceramah penuh semangat di tengah keluarga dan sahabat dekat Ali as. Almarhum Majlisi meriwayatkan ceramah itu di Bihâr al-Anwâr jilid ke-9, bab kesyahidan Amirul Mukminin as.

[7] Surat ini diawali dengan, “Adapun selanjutnya, sesungguhnya Mesir telah takluk dan Muhammad bin Abi Bakar—rahimahullah—telah mati syahid.” (surat ke-35).

[8] Kisah ini diceritakan oleh cendekiawan kontemporer, Muhammad Jawad Mughniah yang tinggal di Lebanon. Cerita ini juga disampaikan di acara yang diselenggarakan di Masyhad untuk memperingati kebesarannya berapa tahun yang lalu.

[9] Nahjul Balaghah, ceramah.

[10] Al-Bayân wa at-Tabyîn, jilid 2 hal 99.

Source: ???

These icons link to social bookmarking sites where readers can share and discover new web pages.
  • Digg
  • Sphinn
  • del.icio.us
  • Facebook
  • Mixx
  • Google
  • Furl
  • Reddit
  • Spurl
  • StumbleUpon
  • Technorati

Sejarah Kitab Nahjul Balaghah Imam Ali

Nahjul Balaghah merupakan kitab yang berisi kompilasi khotbah, surat, dan ucapan-ucapan Imam Ali bin Abi Thalib as yang penuh makna dan hikmah, yang dikumpulkan oleh Sayyid Radhi.

Khotbah-khotbah Imam Ali as dinilai dan dihormati sedemikian tingginya di dunia Islam, sehingga hanya dalam waktu seabad setelah wafatnya, khotbah-khotbah itu telah diajarkan dan dibacakan sebagai kata terakhir di da­lam Filsafat Tauhid, sebagai ceramah-ceramah bagi pembangunan watak, sebagai sumber inspirasi yang luhur, sebagai khotbah-khotbah meyakinkan ke arah takwa, sebagai mercu penunjuk ke arah kebenaran dan keadilan, sebagai karya pujian yang menakjubkan tentang Nabi Muhammad (saw) dan Al-Quran al-Karim, sebagai pembicaraan yang meyakinkan tentang nilai-nilai spiritual Islam, sebagai diskusi-diskusi yang menakjubkan tentang sifat-sifat Tuhan, sebagai karya utama kesusastraan, dan sebagai model seni retorika dan keterampilan berbahasa.


ABAD PERTAMA

Menurut kitab biografi yang termasyhur, Rijal al-Kabir, orang pertama yang mengumpulkan khotbah-khotbah ini di dalam sebuah kitab adalah Zaid ibn Wahab Jahmi (w. 90 H.) yang dipandang sebagai perawi Hadis. Jadi, dalam masa 30 tahun setelah wafatnya Imam Ali dan selama abad per­tama Hijrah, khotbah-khotbah, surat serta ucapan-ucapannya telah dikumpulkan, dikutip, dan dipelihara.

ABAD KE-2

Pada abad ke-2, teladan Ibn Wahab Jahmi diikuti oleh:

(1) ’Abdul Hamid ibn Yahya (132 H.), seorang kaligrafis termasyhur pada masa Abbasiyyah, dan

(2) Ibn al-­Muqaffa (142 H.) mengambil alih tugas pengumpulannya. Jahizh al-Utsmani mengatakan bahwa Ibn al-Muqaffa telah menelaah khotbah-khotbah itu de­ngan sangat cermat dan biasa mengatakan bahwa is telah memuaskan diri­nya dari sumber pokok iimu pengetahuan dan kebijaksanaan dan setiap hari ia mendapatkan inspirasi baru dari khotbah-khotbah Imam Ali ini.

(3) Ibn Nadim, da­lam kitab biografinya al-Fihrist, mengatakan bahwa Hisyam Ibn Sa’ad al-Kalbi (146 H.) juga telah mengumpulkan khotbah-khotbah ini. (al-Fihrist, lbn Na­dim, jil. 7, hlm. 251)

Sejak abad itu dan seterusnya, abad demi abad, pars ulama, sejarawan dan ahli Hadis, membacakan khotbah-khotbah ini, mengutipnya dan membahas makna kata-kata Berta ungkapan yang digunakan Imam Ali, dan mengacunya bilamana mereka memerlukan rujukan tentang teologia, etika, Sunnah dan Al-Quran, atau tentang kesusastraan dan retorika.

ABAD KE-3

1. Dalam abad ketiga, ’Umar ibn Bahr al-Jahizh (w. 255 H.; 688 M.) mengutip banyak khotbah dari Nahjul Balaghah dalam kitabnya al-Sayan wa at-Tabyin.

2. Ibn Qutaibah ad-Dainuri (w. 276 H.), dalam kitab-kitabnya ’Uyun al-Akhbar, dan Gharib al-Hadits mengutip banyak khotbah dan membahas pengertian dari banyak kata-kata dan ungkapan yang digunakan Imam Ali.

3. Ibn Wadhih al-Ya’qubi (w. 278 H.) menuliskan banyak khotbah dan ucapan Imam Ali dalam kitab Tarikh-nya.

4. Hanifah ad-Dainuri (280 H.) dalam kitabnya, Akhbar ath-Thiwal mengutip banyak khotbah dan ucapan Imam Ali.

5. Abul ’Abbas al-Mubarrad (286 H.), dalam bukunya Kitab al-Mubarrad, juga mengumpulkan banyak khotbah dan ucapan Imam Ali.

ABAD KE-4

1. Sejarawan al-Thabari (310 H.) mencatat beberapa dari khotbah ini di dalam kitabnya Tarikh al-Kabir.

2. Al-Halabi (320 H.) telah mengutip khotbah-khotbah ini di dalam kitabnya Tuhfat al-’Uqul. Para penuiis yang berikut ini pun telah mengutip Khotbah-khotbah dan ucapan-ucapan dari Nahjul Balaghah ini secara besar-besaran di dalam kitab-kitab mereka.

3. Ibn Warid (346 H.) dalam al-Mujtabni.

4. Ibn ’Abdi Rabbih (328 H.) dalam bukunya ‘Iqd al-Farid.

5. Siqat al-Islam Kulaini (329 H.) dalam al-Kafi.

6. Ali ibn Muhammad ibn ’Abdullah al-Mada’ini (335 H.) mengumpulkan khotbah-khotbah, Surat-Surat dan ucapan-ucapan Imam Ali dalam kitabnya Yaquth al-Hamawi menyebutkan tentang kitab ini di dalam Mu’jam al-Udaba’, jilid 5, hlm. 313.

7. Sejarawan Mas’udi (346 H.), dalam Muruj adz-Dzahab, telah mengutip beberapa dari Surat dan khotbah Imam Ali.

8. Abul Faraj al-Isfahani (356 H.) dalam al-Aghani.

9. Abu Ali al-Qali (356 H.) dalam an-Nawadir.

10. Syekh Shaduq (381 H.) dalam Kitab at-Tauhid, banyak mengutip khotbah, surat dan ucapan-ucapan ini.

ABAD KE-5

1. Syekh Mufid (421 H.) di dalam Kitab al-lrsyad, telah mengutip banyak khotbah, ucapan dan surat-surat Imam Ali.

2. Sayyid Radhi (420 H.) telah menyusun kumpulan khotbah, ucapan dan surat-surat Imam Ali as dan diberi judul : Nahjul Balaghah.

3. Syekh Tha’ifah Abu Ja’far Muhammad ibn Hasan at-Thusi (460 H.) yang hidup sezaman dengan Sayyid Radhi telah mengumpulkan beberapa dari khotbah ini jauh sebelum Sayyid Radhi melaksanakan karyanya.

Yang dapat dikumpulkan Sayyid Radhi dalam Nahjul Balaghah tidak seluruh khotbah dan ucapan Imam Ali. Mas’udi (346 H.) dalam kitabnya yang terkenal, Muruj adz-Dzahab (jilid II, him 33, cetakan Mesir) mengatakan bahwa khotbah-khotbah Imam Ali saja, yang telah dipelihara oleh berbagai orang, berjumlah lebih dari 480 khotbah. Khotbah-khotbah ini diucapkan langsung tanpa persiapan. Orang-orang telah menyalinnya dan telah menyusunnya dalam bentuk kitab; mereka membacakannya dan mengutip bagian-bagiannya ke dalam kitab-kitab mereka.

Nampaknya dari 480 khotbah itu sebagian telah hilang, dan yang dapat dliperoleh Sayyid Radhi hanya sekitar 245 khotbah. Di samping itu, ia juga telah mengumpulkan 75 pucuk surat dan lebih 200 ucapan. Hampir setiap khotbah, surat dan ucapan yang terkumpul di dalam Nahjul Balaghah terdapat di dalam kitab-kitab yang ditulis para penulis yang telah lama meninggal sebelum Sayyid Radhi dilahirkan, sedangkan sebagiannya lagi terdapat di dalam karya-karya para penulis yang walaupun sezaman dengannya namun lebih tua daripadanya dan telah menulis kitab-kitab mereka sebelum Nahjul Balaghah disusun. Sedemikian banyak kutipan para sarjana Muslim dan non Muslim, para ulama, filosof dan sejarawan yang memuji khotbah-khotbah, ucapan dan surat-surat Imam Ali as. Jika seluruh komentar sarjana itu dikumpulkan, maka semua itu akan menjadi sebuah buku yang terdiri dari ratusan halaman. Sementara itu, di bawah ini hanya dicantumkan sebagian kecilnya saja.

1. Ibn Atsir (606 H.) sampai sekarang bukan saja diakui sebaga perawi hadis, tetapi juga seorang pakar besar tentang kata dan kosa kata. Kitabnya an-Nihayah wal Bidayah merupakan kitab sejarah dan makna kata-kata sulit dari Al-Quran dan Hadis. Di dalam kitabnya itu, ia membahas panjang lebar banyak perkataan, ungkapan dan kalimat-kalimat khotbah Imam Ali dari kitab Nahjul Balaghah. la mengatakan bahwa sejauh berkaitan dengan sisi komprehensifnya, kata-kata Imam Ali hanya di bawah Al-Quran.

2. Allamah Syekh Kamaluddin ibn Muhammad Thalhah asy-Syafi’i (w. 652 H.), di dalam kitabnya yang terkenal Mathalib as-Sa’ul, menulis : “Sifat Imam Ali as yang ke-4 adalah kefasihan dan kemahirannya di dalam seni bahasa. Beliau menonjol sedemikian rupa di dalam keahlian ini sehingga tiada seorang pun yang dapat berharap akan sampai kecuali ke tingkat debu sepatunya. Orang yang telah mengkaji Nahjul Balaghah dapat membentuk suatu gagasan tentang kecanggihannya yang sangat tinggi di dalam bidang ini.”

3. Ibn Abil Hadid (w. 655 H.) yang telah menulis sebuah kitab Syarh (komentar) berjilid-jilid tentang khotbah-khotbah itu, menulis: “Khotbah-khotbahnya, surat-surat dan ucapan-ucapannya begitu tinggi nilai sastra maupun kandungan maknanya, sehingga nilainya di atas kata-kata ucapan manusia biasa, dan hanya di bawah firman-firman Tuhan. Tiada yang dapat mengatasinya selain Al-Quran.” Pada bagian lain Ibn Abil Hadid mengatakan, “Kata-katanya adalah mukjizat Nabi Muhammad (saw). Ramalan-ramalannya menunjukkan bahwa pengetahuannya mengatasi manusia biasa.”

4. Allamah Sa’aduddin Taftazani (791 H.) di dalam Syarh al-Maqasid mengatakan bahwa, “Ali mempunyai penguasaan tertinggi atas bahasa, etika dan ajaran agama, dan pada saat yang sama ia adalah seorang orator ulung; khotbah-khotbahnya yang terkumpul di dalam Nahjul Balaghah menjadi saksi atas kenyataan ini.”

5. Allamah Ala’uddin al-Qusyaji (875 H.) dalam Syarh at-Tajrid menyatakan bahwa, “Kitab Nahjul Balaghah yang merupakan khotbah-khotbah dan makna yang terkandung di dalamnya membuktikan bahwa tiada sesuatu yang dapat mengatasinya, kecuali Al-Quran.”

6. Syekh Muhammad Abduh (1323 H.) juga telah menulis sebuah Syarh Nahjul Balaghah. la termasuk di antara pemikir modern yang menyadarkan dunia modern akan keindahan ajaran-ajaran Islam. Kata pengantarnya tentang Syarh-nya sendiri itu patut memperoleh kajian cermat

Pada kata pengantarnya itu, Muhammad Abduh mengatakan bahwa setiap orang yang memahami bahasa Arab pastilah sependapat bahwa khotbah-khotbah dan ucapan-ucapan Ali hanya di bawah firman Allah dan sabda Nabi Muhammad Saw. Kata-kata Imam Ali sedemikian sarat makna dan mengandung gagasan-gagasan yang begitu besar, sehingga kitab Nahjul Balaghah ini harus dikaji dengan sangat cermat, diacu dan dikutip oleh para mahasiswa maupun guru. Guru besar dalam kesusastraan dan falsafah ini meyakinkan universitas-universitas di Kairo dan Beirut untuk memasukkan kitab Nahjul Balaghah di dalam kurikulum untuk studi tingkat atas tentang kesusatraan dan falsafah.

7. Penulis dan orator terkenal Syekh Musthafa al-Ghulayaini yang dipandang sebagai ahli Tafsir AI-Quran serta kesusastraan Arab, di dalam bukunya ’Arij az-Zahr, bab “Gaya Bahasa”, menulis: “Siapa yang dapat menulis lebih baik dari Ali. selain Nabi saw dan Allah SWT. Orang-orang yang hendak mengkaji standar-standar kesusastraan yang paling tinggi, haruslah mengkaji kitab Nahjul Balaghah. Kitab itu mengandung pengetahuan yang sedemikian dalam dan nasihat-nasihat yang sedemikian menakjubkan tentang masalah etika dan agama sehingga kajian yang rutin atasnya akan membuat orang menjadi bijaksana, saleh dan berpikiran luhur dan akan melatihnya menjadi orator kaliber besar.”

8. Al-Ustadz Muhammad Muhyiddin, guru besar bahasa Arab pada Universitas AI-Azhar, Kairo, mengatakan bahwa Nahjul Balaghah merupakan suatu koleksi karya Sayyidina Ali yang disusun Sayyid Radhi. la mengandung contoh-contoh bahasa yang murni, kefasihan yang mulia dan kebijaksanaan yang tinggi sehingga tiada seorang pun selain Ali yang dapat menghasilkan karya semacam itu, karena setelah Nabi Suci Saw, dialah orator terbesar, yang paling ahli tentang bahasa dan kesusastraan serta sumber kebijaksanaan terbesar dalam agama Islam. Dia filosof yang dari kata-katanya mengalir pengetahuan dan kebijaksanaan.

9. AI-Ustadz ’Abdul Wahhab Hammudah, ahli kesusastraan dan hadis serta guru besar Universitas Fuad I di Kairo, dalam tahun 1951, menulis, “Kitab Nahjul Balaghah mengandung segala yang dapat dikatakan atau dituliskan para ulama besar, para guru besar etika, filosof, ilmuwan, ahli agama dan politisi. Kekuatan nasihat yang menakjubkan dan jalan yang luar biasa indah dalam menyajikan argumen serta kedalaman pandangan, membuktiKan bahwa Nahjul Balaghah merupakan karya suatu pikiran super seperti pikiran Ali.”

10. Abdul Masih al-Antaki, editor majalah Kristen al-Amran, Mesir, dalam kitabnya yang terkenal Syarh al-Qasha’id al-Auliya’ menulis, “Tak dapat disangkal bahwa Imam adalah Imam dari para khatib dan orator, dan ia adalah guru dan pemimpin para penulis dan filosof. Ada kebenaran di dalam penegasannya bahwa ucapan-ucapannya lebih tinggi dari ucapan siapa pun dan hanya lebih rendah dari firman Allah Yang Mahakuasa. Tiada diragukan bahwa dialah sumber penulis, pembicara, filosof, ulama dan penyair mengambil inspirasi, yang telah memperbaiki seni dan gaya bahasa mereka. Kumpulan karyanya dinamakan Nahjul Balaghah, yang patut sering-sering dibaca.”

11. Fuad Afram Al-Bustani, guru besar dalam kesusastraan Arab pada perguruan tinggi Quades Yusuf di Beirut adalah seorang penganut Katolik Romawi. la telah mengumpulkan sebuah kitab yang berisi karya-karya pilihan dari para filosof, ilmuwan, ahli agama, dan esayis. la memulai bukunya dengan kata-kata berikut: “Saya hendak memulai karya saya ini dengan pilihan-pilihan dari Nahjul Balaghah. Kitab itu merupakan karya seorang pemikir terbesar dunia….”

12. Polos Salamah, seorang moralis Kristen, penulis, penyair, di dalam bukunya yang ternama, Awal al-Malhamah al-’Arabiyah (Al-Naser Press, Beirut) mengatakan, “Kitab Nahjul Balaghah yang terkenal merupakan karya yang membuat orang tersadarkan akan pemikiran-pemikiran besar Ali ibn Abi Thalib. Tiada kitab yang mengatasinya kecuali Qur’an. Di dalamnya anda akan mendapatkan mutiara pengetahuan terpenting dalam rantai-ranta indah, bunga-bunga bahasa yang membuat pikiran orang semerbak dengan bau harum dan menyenangkan tentang heroisme dan keluhuran, dan aliran bahasa murni yang lebih manis dan lebih sejuk dari sumber Kautsar, yang terus mengalir secara tetap dan menyegarkan pikiran pembaca.”

Source: http://www.ahlulbayt-ebook.com/?p=5

These icons link to social bookmarking sites where readers can share and discover new web pages.
  • Digg
  • Sphinn
  • del.icio.us
  • Facebook
  • Mixx
  • Google
  • Furl
  • Reddit
  • Spurl
  • StumbleUpon
  • Technorati

Muharram: Benarkah Tahun Baru Muslimin ?

Saat ini insyaAllah kita semua telah memasuki bulan Muharram. Sebagian besar kaum muslimin merayakannya sebagai awal Tahun Baru Muslim dengan penuh rasa suka, yang dibarengi dengan berbagai macam bentuk kegiatan. Apalagi didukung oleh riwayat yang bernuansa kebahagiaan, seperti selamatnya Nuh as dari banjir bandang, selamatnya kaum Musa as dari Fir’aun, dan sebagainya pada tanggal 10 Muharram (hari Asyura). Maka semakin lengkaplah kegembiraan bulan ini.

Namun, sebaliknya, ada sebagian kecil kaum muslimin, yang justru bersedih di bulan Muharram tersebut; seolah tak menghiraukan kegembiraan dan rasa syukur sebagian besar kaum muslimin tadi. Kelompok kecil ini justru menangis, meratap, dan memukul dada mereka sebagai tanda kesedihan dan kepedihan yang dalam, sekaitan dengan bulan ini.

Alangkah perbedaan yang sangat kontras. Mengapa demikian ?

Saya mencoba melihat-lihat sejarah seputar penetapan Tahun Baru kaum muslimin. Dari situ saya peroleh bahwa penetapan Tahun Baru Muslim dilakukan di masa Umar bin Khattab. Sebelumnya kaum muslimin menggunakan Tahun Gajah—tahun ketika Abrahah menyerbu Mekkah untuk meruntuhkan Ka’bah—sebagai permulaan penanggalan. Ada yang mengusulkan kepada Umar untuk menjadikan peristiwa bi’tsah Nabi saww sebagai awal penanggalan, atau pada riwayat lain Umarlah yang bertekad untuk memulai penanggalan dengan mengacu pada kelahiran Nabi saww atau bi’tsah Nabi saww. Namun, Imam Ali as tidak menyetujui pandangan tersebut dan mengusulkan untuk menjadikan peristiwa hijrah Nabi saww sebagai awal penanggalan. Usul ini diterima dan ditetapkan oleh Umar tanggal 8 Rabi’ul Awal 17 H.[1] Oleh karena itu, nama tahunnya adalah “Hijrah” atau “Hijriyah”.

Namun demikian, terdapat pula riwayat lain, yang menyatakan bahwa penetapan penanggalan Islam telah dimulai sejak masa Nabi saww, atas perintah Nabi saww sendiri, pasca pelaksanaan hijrah di bulan Rabi’ul Awal. Mereka (kaum muslimin saat itu) mengatakan bahwa peristiwa penanggalan tersebut terjadi di bulan ini, setelah hijrah; dan hal tersebut berlanjut hingga diperoleh satu tahun penuh [2]. Sehingga, dari riwayat ini terlihat bahwa sistem penanggalan dimulai pada bulan Rabi’ul Awal dan diakhiri pada bulan Shafar. Sementara Syaikh Ja’far Subhani menegaskan bahwa riwayat inilah yang benar, berdasarkan bukti surat-surat yang dikirim oleh Nabi saww dan bukti-bukti lainnya [3].

Dalam peristiwa hijrah itu sendiri, Nabi saww tiba di Quba (10 Km dari Madinah) di rumah Kultsum bin al-Hadam, pada hari Senin tanggal 12 Rabi’ul Awal. Dan perjalanan tersebut ditempuh Nabi saww sekitar sembilan hari, setelah sebelumnya bersembunyi di gua Tsaur (sekitar 5 Km di selatan Mekkah) selama tiga hari. Ini berarti bahwa awal hijrah Nabi saww adalah tanggal 1 Rabi’ul Awal. Sedangkan Imam Ali as baru melakukan hijrah setelah tiga hari keberangkatan Nabi saww dari gua Tsaur, dan beliau as sampai di Quba pada hari Kamis tanggal 15 Rabi’ul Awal. Dan esok harinya, barulah Nabi saww berangkat ke Madinah [4]. Sementara dalam riwayat lain juga disebutkan secara tegas bahwa Nabi saww mengawali hijrah pada tanggal 1 Rabi’ul Awal [5].

Sehingga, dengan melihat tarikh tersebut, mengapa tiba-tiba Tahun Baru muslimin jatuh pada tanggal 1 Muharram, sementara bulan ini sama sekali tidak terkait dengan peristiwa hijrah Nabi saww ? Kalaupun, seandainya yang dilihat adalah tahun hijrahnya Nabi saww dengan tidak memperhitungkan bulannya, maka mengapa mesti dipilih bulan Muharram, sementara masih ada bulan lainnya; dan mengapa tidak memilih bulan yang justru terkait dengan peristiwa hijrah Nabi saww ? Apalagi ternyata penggunaan Muharram sebagai awal tahun merupakan tradisi bangsa Arab pra-Islam.

Sedangkan riwayat seputar peristiwa keberuntungan para Nabi as di hari Asyura, selain tercantum pada jalur ahlusunnah, juga tercantum pada jalur syi'ah. Namun, Al-Majlisi menyatakan bahwa riwayat tersebut adalah lemah (dha’if). Sebagaimana dikatakan pula oleh Syaikh Shaduq, dalam kitabnya “Al-Amali”, bahwa riwayat yang menyatakan berbagai peristiwa barakah tersebut pada hari Asyura adalah bohong.[6]

Sebaliknya, dari kitab-kitab tarikh yang sedemikian banyaknya, baik dari jalur ahlusunnah maupun syi’ah, justru diriwayatkan bahwa pada bulan Muharram telah terjadi peristiwa kezaliman terbesar di seluruh alam atas keluarga Nabi saww, yaitu terbantainya al-Imam Husein as di Karbala beserta keluarga dan para sahabat beliau as, oleh Yazid bin Mu’awiyah dan pasukannya. Diriwayatkan bahwa Imam Husein as beserta rombongan beliau as berangkat dari Mekkah menuju Kufah, dan tiba di Nainawa (atau Karbala) pada tanggal 2 Muharram 61H (atau 60 H). Dan mulai saat itu hingga tanggal 10 Muharram 61H (atau 60 H), beliau as diperlakukan dengan kejam, yang iblis sekalipun tak akan mampu melakukannya.[7] Sehingga, tragedi besar inilah yang menjadikan sebagian kecil kaum muslimin berduka, menangis, dan meratapinya; sebagaimana tersebut di awal tulisan ini.

Berdasarkan uraian di atas, maka jelaslah bahwa riwayat seputar Tahun Baru muslimin di bulan Muharram (1 Muharram) dan peristiwa keberuntungan para Nabi as, menurut saya, merupakan rekayasa dari para musuh Ahlul Bait as. Riwayat-riwayat tersebut dibuat pasca tragedi Karbala, untuk melupakan umat manusia dari tragedi alam terbesar itu dan menjauhkan mereka dari hujjah Allah di muka bumi, ataupun dengan motivasi lainnya; dengan cara mempertahankan tradisi penanggalan bangsa Arab pra-Islam. Karenanya, tak heran bila Ibn Sirin (w. 110 H) memberikan pernyataan bahwa : “Orang-orang, setelah melalui diskusi, secara bulat menyetujui penetapan awal tahun di bulan Muharram.”; yang sebenarnya sekedar pembenaran semata terhadap praktik penanggalan orang-orang di masanya [8].

Dengan demikian, sudah semestinya bulan Muharram (khususnya tanggal 1 hingga 10) dipenuhi dengan mengingat kesyahidan al-Imam Husein as dan menangis atas tragedi besar yang menimpa beliau as. Imam Ja’far as berkata : “Allah menjadikan bagi kami syi’ah, yang mereka ini bergembira dengan kegembiraan kami, dan bersedih dengan kesedihan kami.”[9]

Ayatullah al-Syahid Muthahhari, sekaitan dengan menangis dalam mengenang al-Imam Husein as, mengatakan bahwa : “Menangisi seorang syahid tidak akan menjadikan seseorang lemah, karena menangis memiliki sifat al-Ruh al-Ijtima’iyyah (kebersamaan ruh) yang mendekatkan si penangis dengan syahid yang ia tangisi. Sementara tertawa memiliki sifat al-Ruh al-Fardiyah (kesendirian ruh), yang hanya akan berpengaruh dalam menyenangkan diri pribadi orang yang tertawa tersebut. Karena itulah, setiap orang yang merasakan kerinduan pada orang lain akan memilih menangis dan bukan tertawa, yang dengan hal itu ia merasakan kedekatan dengan orang yang dirindukannya.”[10]

Ya, menangisi al-Imam Husein as dengan ikhlas tidak akan menyebabkan seseorang menjadi lemah. Justru hal tersebut akan menjadikannya dekat dengan beliau as. Sehingga, segala macam pelajaran dari misi beliau as pada tragedi tersebut dapat diambil, khususnya dalam menolak segala macam bentuk kezaliman dan selalu berupaya menegakkan ajaran, hukum, dan kalimat Allah di muka bumi ini.

Dan tangisan sepanjang-masa itulah yang telah berhasil menggulirkan “Revolusi Islam” Imam Khomeini ra. Sekaitan dengan ini beliau ra berkata : “Mengenalkan Islam kepada manusia, sembari menciptakan hubungan yang dekat dengan Asyura. Sebagaimana kita telah tetap memelihara keberlangsungan Asyura (salam atas pendirinya) dan tidak membiarkannya hilang sehingga manusia masih berkumpul selama Muharram dan memukul dada mereka (ma’tam), maka kita sekarang harus mengambil tindakan untuk menciptakan gelombang protes menentang pemerintah. Biarkan masyarakat berkumpul, dan para penceramah serta rauzakhwan[11] benar-benar membenahi persoalan pemerintahan di benak mereka.”[12]

Oleh Karena itu, dalam memasuki bulan Muharram ini, saya ingin mengucapkan ta’ziyah kepada Rasulullah saww, kepada Ahlul Bait as, dan kepada kaum muslimin dan mukminin dimanapun mereka berada; A’zhamallaahu Ujuuranaa bi Mushibatil Husein ‘Alaihissalaam bi Karbala. Mari kita ambil teladan dari al-Imam Husein as untuk menolak dan memerangi segala macam kezaliman, khususnya kezaliman Amerika, Zionis, dan para antek mereka. Akhirnya, saya ingin mengutip sebuah syair DR. Muhammad Iqbal beserta syarhnya :

Gharib-o-sada-o-rangi’n hay dastan-e-Haram. Nihayat iski Husayn ibtida hay Ismail.

Syarh :
“DR. Iqbal mengatakan bahwa peristiwa pembangunan Ka’bah adalah sangat simpel dan menarik. Ismail menderita kepedihan yang sangat dalam peristiwa tersebut. Ibrahim membersihkan Ka'bah dari berhala-berhala, dan meningkatlah kemuliaannya. Sungguh, batu pertama diletakkan oleh Ismail. Ia memberikan nyawanya sebagai qurban, namun pengorbanan tersebut tidaklah lengkap karena diganti dengan sebuah domba. Dan berdasarkan Al-Qur'an, pengorbanan besar (al-Dzibh al-‘Azhim), datang di kemudian hari dan dilengkapkan oleh salah seorang keturunannya, yakni Husein. Sehingga, puncak ruh kecintaan kepada Allah termanifestasikan, ketika Imam Husein mengorbankan nyawanya dan memelihara kehormatan Ka’bah.”[13]

Berikut saya kutipkan pula pandangan para orientalis Barat non-muslim :

Edward Gibbon mengatakan : “Pemandangan tragis kematian Husein di masa lampau akan membangkitkan simpati para pembaca yang paling dingin (sekalipun).”[14]

Ignaz Goldziher mengatakan : “Sejak hari kelam Karbala, sejarah keluarga ini telah mengalami terus menerus penderitaan dan penganiayaan. Hal ini diberitakan dalam syair maupun prosa, di literatur-literatur tentang para syuhada—khususnya syi’ah; dan menjadikan berkumpulnya orang-orang syi’ah pada sepertiga pertama bulan Muharram, yang mana pada hari kesepuluh (Asyura) diadakan peringatan tragedi Karbala. Pemandangan tragedi tersebut juga ditampilkan dalam peringatan tersebut dalam bentuk dramatik (ta’ziyah). “Hari Raya kami adalah majelis duka”, sebuah syair dari seorang pangeran syi’ah yang mengingatkan akan banyaknya malapetaka atas keluarga Nabi. Tangisan dan ratapan atas kejahatan dan penganiayaan yang menimpa keluarga Ali, serta kedukaan atas para syuhada menyebabkan peristiwa tersebut selalu terkenang. Sehingga, bahkan dalam masyarakat Arab dikenal pepatah : “Lebih mengharukan dari tangisan orang-orang syi’ah”.”[15]

Reynold Alleyne Nicholson mengatakan : “Husein jatuh, tertembus sebuah anak panah; dan para pengikut pemberaninya terbunuh di sampingnya, hingga yang terakhir. Kaum muslimin, dengan sedikit pengecualian, sepakat memusuhi dinasti Umayyah, menyatakan Husein sebagai syahid dan Yazid sebagai pembunuhnya.”[16]

Edward G. Brown mengatakan : “Peringatan atas peristiwa Padang Karbala yang ternoda darah—dimana cucu Rasulullah akhirnya jatuh dan dikelilingi jasad keluarganya yang terbunuh—semenjak itu dibangkitkan setiap saat, bahkan tanpa peduli (secara terang-terangan), dengan perasaan dan dukacita mendalam serta kegairahan ruh; yang mana—di hadapan itu semua—rasa sakit, bahaya, dan kematian menjadi hal yang sepele.”[17]

Referensi:
[1] Ref. Ahlusunnah : “Tarikh Ya’qubi”, jilid 2, hal. 135; Website “Al-Furqaan” (Salafi), Makasar, yang mengutip dari Buletin LDK MPM UNHAS, edisi 3 Dzulhijjah 1422 H; Website “Kementerian Tanah dan Pembangunan Koperasi Malaysia”, rubrik Kemusykilan Agama, 6 Feb 2002; “Tarikh Thabari”, dengan sanad Said ibn Musayyab; dan lain-lain.
[2] Ref. Ahlusunnah : “Tarikh Thabari”, vol. 3, hal. 1250; Ibid, vol. 5, hal. 2480.
[3] Ref. Syi'ah : Syaikh Ja’far Subhani, “Al-Sirah al-Muhammadiyah”, hal. 103.
[4] Ref. Ahlusunnah : Ibn Hajar al-Asqalani, “Al-Ishabah”, jilid 3, hal. 55, no. 3150; “Tarikh Thabari”, jilid 1, hal. 106; Ibn Atsir, “Tarikh al-Kamil”, jilid 2, hal. 106; dan lain-lain; Ref. Syi'ah : Syaikh Ja’far Subhani, “Ar-Risalah”, hal. 280-285, penerbit Lentera; Syaikh Ja’far Subhani, “Al-Sirah al-Muhammadiyah”, hal. 99-104; Sayed Ali Asgher Razwy, “Restatement of History of Islam”, bab 18; dan lain-lain.
[5] Ref. Syi'ah : Sayyid Akhtar Rizvi, “Martyrdom of Imam Husayn and the Muslim and Jewish Calendars”, Jurnal Al-Serat, vol. 6, no. 3 dan 4, yang mengutip dari “Safinah al-Bihar”, jilid 2, hal. 696.
[6] Ref. Syi'ah : Syaikh Shaduq, “Al-Amali”, hal. 132; Syaikh Najamuddin al-Thabasi, “Shaum Asyura Baina Sunnah Nabawiyah Wal Bid’ah Umawiyah”, hal. 48.
[7] Ref. Ahlusunnah : Thabari, dalam Tarikh “Al-‘Umam Wal Mulk”, jilid 6, pada bab peristiwa tahun 61H; Abul A’la Al-Maududi, “Khilafah dan Kerajaan”, hal. 231-234; Ibn Atsir, “Tarikh al-Kamil”, jilid 4, hal. 46; dan lain-lain.
[8] Ref. Syi'ah : Sayyid Akhtar Rizvi, “Martyrdom of Imam Husayn and the Muslim and Jewish Calendars”, Jurnal Al-Serat, vol. 6, no. 3 dan 4.
[9] Ref. Syi'ah : Al-Majlisi, “Bihar al-Anwar”, jilid 10, hal. 114, riwayat 1; Ibid, jilid 44, hal. 287, riwayat 26.
[10] Ref. Syi’ah : Ayatullah Muthahhari, “Syahid”, khususnya pada bab “Falsafah al-Buka”.
[11] Rauzakhwan adalah mereka yang membawakan kisah seputar kesyahidan Imam Husein as, bahkan mereka juga sering menggubah syair atas tragedi Karbala tersebut.
[12] Ref. Syi’ah : Imam Khomeini, “Sistem Pemerintahan Islam”, hal. 141-142, Penerbit Pustaka Zahra.
[13] Ref. Syi’ah : Dr. Ibrahim Ayati, “A Probe Into the History of Ashura”, bab 50.
[14] “The Decline and Fall of the Roman Empire”, vol. 5, hal. 391-392.
[15] “Introduction to Islamic Theology and Law”, hal. 179.
[16] “A Literary History of the Arabs”, hal. 197.
[17] “A Literary History of Persia”, hal. 227.


Wassalaam,
Muh. Anis


Source: http://groups.yahoo.com/group/Kajian_Islam/messages/183?o=1&xm=1&l=1

These icons link to social bookmarking sites where readers can share and discover new web pages.
  • Digg
  • Sphinn
  • del.icio.us
  • Facebook
  • Mixx
  • Google
  • Furl
  • Reddit
  • Spurl
  • StumbleUpon
  • Technorati

Konspirasi Anti Syiah dan Upaya Adu Domba CIA

Sebuah buku berjudul (A Plan to Divide and Destroy the Theology) telah terbit di AS. Buku ini berisi wawancara mendetail Michael Brant, mantan tangan kanan ketua CIA dan anggota penting bagian kesyiahan CIA.

Dalam wawancara ini telah diungkapkan hal-hal yang sangat mengejutkan, dan dikatakan bahwa CIA telah mengalokasikan dana sebesar 900 juta US dolar, untuk melancarkan berbagai aktifitas anti Syiah. Dr Michael Brant pernah lama bertugas di bagian tersebut, akan tetapi dipecat dengan tuduhan korupsi dan penyelewengan jabatan.

Tampaknya dalam rangka balas dendam, dia membongkar rencana-rencana rahasia CIA ini. Brant berkata, "Sejak beberapa abad lampau dunia Islam berada di bawah kekuasaan negara-negara Barat.Meskipun kemudian sebagian besar negara-negara Islam ini sudah merdeka, akan tetapi negara-negara Barat tetap menguasai kemerdekaan, politik, pendidikan dan kebudayaan, terutama sistim politik dan ekonomi negara-negara Islam ini. Oleh sebab itu, meski telah merdeka dari penjajahan fisik, namun dari segi budaya, mereka masih banyak terikat kepada Barat.

Pada tahun 1979, kemenangan revolusi Islam telah menggagalkan politik-politik kami. Pada mulanya revolusi Islam ini dianggap hanya sebagai reaksi wajar dari politik-politik Syah Iran, dan setelah Syah tersingkir, kami (AS) akan menempatkan lagi orang-orang kami di dlam pemerintahan Iran yang baru, sehingga kami akan dapat melanjutkan politik-politik kami di Iran.

Setelah kegagalan besar AS dalam dua tahun pertama (dikuasainya Kedubes AS di Tehran dan hancurnya pesawat-pesawat tempur AS di Tabas) dan setelah semakin meningkatnya kebangkitan Islam dan kebencian terhadap Barat, juga setelah munculnya pengaruh-pengaruh revolusi Islam Iran di kalangan Syiah berbagai negara, terutama Libanon, Irak, Kuwait, Bahrain, Pakistan, akhirnya para pejabat tinggi CIA menggelar pertemuan besar yang disertai pula oleh wakil-wakil dari Badan Intelijen Inggris. (Inggris dikenal memiliki pengalaman luas dalam beraktifitas di berbagai negara).

Dalam pertemuan tersebut kami sampai pada beberapa kesimpulan, diantaranya bahwa revolusi Islam Iran bukan sekedar reaksi alami dari politik Syah Iran, tetapi terdapat berbagai faktor dan hakekat lain, dimana faktor terkuatnya ialah adanya kepemimpinan politik marjaiyah agama dan syahidnya cucu Rasul Allah (saww) 1400 tahun lalu, yang hingga kini masih tetap diperingati oleh kaum Syiah dengan mengadakan upacara-upacara kesedihan secara meluas. Sesungguhnya dua faktor ini yang membuat Syiah lebih aktif dibanding muslimin lain.

Dalam pertemuan CIA itu, telah diputuskan bahwa sebuah lembaga independen akan didirikan untuk mempelajari Islam Syiah secara khusus, dan untuk menyusun strategi dalam menghadapi Syiah. Bujet pertamanya sebesar 40 juta US dolar, juga telah disediakan. Untuk penyempurnaan proyek ini, ada tiga tahap program telah disusun:

1. Pengumpulan informasi tentang Syiah, markas-markas dan jumlah lengkap pengikutnya.
2. Program-program jangka pendek: dengan propaganda anti Syiah, dan mencetuskan permusuhan dan bentrokan besar antara Syiah dan Sunni, dalam rangka membenturkan Syiah dengan Sunni yang merupakan mayoritas muslim, lalu menarik mereka (kaum Syiah) kepada AS.
3. Program-program jangka panjang: untuk merealisasikan tahap pertama, CIA telah mengutus para peneliti ke seluruh dunia, dimana enam orang dari mereka termasuk Dr Samuel telah diutus ke Pakistan, untuk mengadakan penelitian tentang upacara kesedihan bulan Muharram. Para peneliti CIA ini harus mendapatkan jawaban bagi soal-soal berikut ini:

„« Di kawasan dunia manakah kaum Syiah tinggal, dan berapakah jumlah mereka? Bagaimanakah keyakinan, akhlak dan perilaku mereka dalam pergaulan?
„« Bagaimanakah cara untuk menciptakan pertentangan internal di kalangan Syiah?
„« Bagaimanakah cara memperbesar perpecahan antara Syiah dan Sunnah?

Dr Michael Brant berkata, "Setelah berbagai polling tahap-tahap pertama dan setelah terkumpulnya informasi tentang pengikut Syiah di berbagai negara, didapatlah poin-poin yang disepakati bersama sebagai berikut:

Para marja' Syiah adalah sumber utama kekuatan madzhab ini yang di setiap zaman selalu melindungi madzhab Syiah dan menjaga dasar-dasarnya. Dalam sejarah Syiah yang panjang, kaum ulama (para marja') Syiah tidak pernah menyatakan bai'at (kesetiaan) kepada penguasa yang tidak Islami. Oleh karena fatwa Ayatullah Syirazi, marja Syiah saat itu, Inggris tidak mampu bertahan di Iran. Di Irak yang merupakan pusat terbesar ilmu-ilmu Syiah, Saddam dengan segala kekuatan dan segenap usaha, tidak mampu membasmi Syiah. Pada akhirnya ia terpaksa mengakhiri usahanya itu.

Ketika semua pusat ilmu lain di dunia selalu mengambil langkah beriringan dengan para penguasa, Hauzah Ilmiyah Qom, justru menggulung singgasana kerajaan tirani Syahensyah, lalu bertempur menghadapi kekuatan adidaya AS. Di Libanon, Ayatullah Musa Shadr memaksa pasukan militer Inggris, Perancis dan Israel, untuk lari. Di Israel, muncul tantangan terbesar bagi rezim zionis dalam bentuk Hizbullah. Setelah semua penelitian ini, kami sampai pada suatu konklusi yaitu bahwa berbenturan langsung dengan Syiah akan banyak menimbulkan kerugian, dan kemungkinan menang atas mereka sangat kecil. Oleh sebab itu kita mesti bekerja di balik layar. Sebagai ganti slogan lama Inggris "Ciptakan Perpecahan Kemudian Kuasai" kita memiliki slogan baru, yaitu "Ciptakan Perpecahan Kemudian Musnahkan".

Kita harus mendorong kelompok-kelompok yang membenci Syiah untuk melancarkan aksi-aksi anti Syiah. Isu kafirnya Syiah harus disebarluaskan, dan dengan propaganda negatif, mereka harus dipisahkan dari masyarakat (muslim lainnya). Buku-buku yang berisi topik-topik untuk membangkitkan kemarahan mereka harus ditulis dan diterbitkan. Orang-orang yang berpengatuan minim dan yang bodoh harus dikumpulkan, lalu diperkuat, dan ketika jumlah mereka telah mencapai tingkat yang sesuai, maka perang terhadap Syiah dikobarkan.

Dari sisi lain, harus dibentuk pula sebuah front yang kuat untuk menruntuhkan posisi para marja' Syiah. Orang-orang yang berperan sebagai pilar kelima harus disusupkan ke dalam kalangan mereka. Dari jalan ini wajah Syiah akan dapat diubah, sehingga keterterimaan mereka akan berkurang dan secara perlahan ia akan dibenci di kalangan masyarakat awam.

Dari sisi lain, orang-orang Syiah selalu berkumpul untuk memperingati tragedi Karbala. Dalam peringatan itu seorang akan berceramah menguraikan sejarah tragedi Karbala, dan para hadirin mendengarkannya. Lalu mereka akan memukul-mukul dada dan melakukan upacara kesedihan (azadari). Penceramah dan para pendengar ini, sangat penting bagi kita. Karena azadari-azadari seperti inilah yang selalu menciptakan semangat menggelora kaum Syiah dan mendorong mereka untuk selalu siap memerangi kebatilan demi menegakkan kebenaran.

Kita harus membelanjakan puluhan juta dolar untuk menguasai para penceramah dan para pendengar ini. Pada tahap pertama kita harus mendapatkan orang-orang Syiah yang suka duit dan memiliki akidah yang lemah, tetapi memiliki kemasyhuran dan kata-kata yang berpengaruh. Melalui orang-orang inilah kita bisa menyusup ke dalam upacara-upacara azadari.

Diantara langkah-langkah yang harus dilakukan dalam hal ini ialah:
1. Mencetak atau menguasai para penceramah yang tidak begitu banyak menguasasi akidah Syiah.

2. Menemukan sejumlah orang dari Syiah lalu mendukung mereka dari segi keuangan, sehingga dengan tulisan-tulisannya mereka akan menyerang pusat-pusat Syiah dan menghancurkan sendi-sendi kesyiahan

3. Memasyarakatkan dan memperbanyak kebiasaan-kebiasaan umum (adat istiadat) yang tidak sesuai dengan akidah Syiah.

4. Di kalangan masyarakat awam, upacara azadari harus ditampilkan seburuk mungkin sehingga akan timbul pandangan bahwa orang-orang Syiah ini adalah sekelompok orang yang dungu, penuh khurafat, yang di bulan Muharram melakukan hal-hal yang sangat mengganggu orang-orang lain.

Untuk menyukseskan semua rencana itu, harus disediakan biaya yang besar, termasuk untuk mencetak penceramah-penceramah dan mendukung mereka. Secara perlahan, Syiah yang merupakan madzhab penting dan memiliki kekuatan logika, akan berubah menjadi sebuah madzhab yang di bagian dalamnya kosong melompong. Jika sudah demikian maka jadilah madzhab Syiah dibenci oleh masyarakat umum, sementara di dalam, mereka akan saling cakar. Jika sudah demikian, maka sebagai langkah terakhir, tinggal kita kerahkan sedikit kekuatan untuk membasmi mereka secara tuntas.

5. Berbagai topik anti marja'iyyah harus disusun, lalu diserahkan kepada para penulis bayaran untuk disebarkan di tengah masyarakat luas. Marjaiyyah yang merupakan pusat kekuatan Syiah harus dimusnahkan. Maka kaum Syiah akan bertebaran tanpa arah sehingga menjadi mudah bagi untuk memusnahkan semua mereka.(Selesai)

"Demikian tulisan di atas diterjemahkan dari Bahasa Persia. Jika ada yang berminat untuk membaca teks aslinya dalam bahasa Inggris, silahkan klik alamat berikut ini."
http://www.victorynewsmagazine.com/images/ConspiracyAgainstJaffariSchoolofThoughtRevealed.htm

oleh: Zensom
Source: http://groups.yahoo.com/group/Kajian_Islam/message/19

These icons link to social bookmarking sites where readers can share and discover new web pages.
  • Digg
  • Sphinn
  • del.icio.us
  • Facebook
  • Mixx
  • Google
  • Furl
  • Reddit
  • Spurl
  • StumbleUpon
  • Technorati

Dimana Rasulullah saw wafat?

Mungkin bagi netter yang suka gugling menemukan dua versi sekitar kewafatan Nabi Muhammad saw. Versi pertama yang dianut Sunni dan versi terakhir yaang diyakini Shi'i. Masing-masing mempunyai hadith utama yang sahih yaitu yang berasal dari para Ummu al-Mukminin. Kaum Sunni mendukung riwayat yang dilaporkan oleh Aisyah sedangkan Shi'i berdasarkan dari Ummu Salamah, dan berbagai riwayat dari jalur Ali, Ibn Abbas, Jabir bin Abdullah, bahkan dari Aisyah sendiri (lih. Ibn Asakir dalam tarikhnya J. 3: 15). Dalam versi Sunni Aisyah disebutkan bahwa Nabi wafat ketika berada di pangkuannya. Sedangkan versi Ummu Salamah menunjukkan bahwa sahabat terakhir yang tinggal bersama Rasulullah saw adalah Ali.
Dalam peristiwa ini tidak mungkin untuk membenarkan semuanya, pasti salah satunya bohong atau dipalsukan. Namun sebagian ulama mengkompromikan kedua hadith tersebut, misalnya di dalam kitab Fathul Bari, Ibn Hajar berkata: Kompromi (antara dua hadits tersebut) dapat dilakukan dengan menerangkan bahwa 'Ali adalah orang yang terakhir bersama Nabi, dan ia tidak meninggalkan Nabi, sampai Nabi pingsan. Ketika Nabi pingsan, ia mengira beliau telah wafat. Karena itu, 'Ali dari pihak laki-laki adalah orang terakhir yang menunggui Nabi. Namun kemudian Rasulullah saw sadar kembali ketika 'A'isyah datang. Lalu 'A'isyah menyandarkan Nabi di atas dadanya, dan Rasulullah menghembuskan nafasnya yang terakhir. Ahmad juga meriwayatkan sebuah hadits melalui saluran Yazid ibn Babanus: "Pada suatu hari kepala Rasulullah berada di atas pundakku tatkala beliau memiringkan kepalanya ke arah kepalaku. Aku kira beliau memerlukan kepalaku. Lalu terpercik setetes (ludah) dingin dari mulut beliau yang menimpa rongga dadaku. Aku gemetar, kukira beliau pingsan. Maka akupun menutupnya dengan baju". (Lihat Fathul Bari, jilid 8, hal. 139)
Menurut saya pengkompromian hadith tersebut tidak sepenuhnya benar karena bagaimana bisa Ali salah dalam mengira Nabi saw wafat atau pingsan? karena hampir semua sahabat tatkala menjenguk dan melihat Nabi -yang sudah wafat-, mengetahui bahwa Rasulullah benar-benar wafat. Kecuali Umar (sebagian ulama mengatakan Umar berakting) dengan mengatakan bahwa Nabi tidak wafat tetapi Nabi pergi dan akan kembali seperti Musa meninggalkan kaumnya, yang kemudian percaya bahwa Nabi saw benar-benar wafat tatkala Abu Bakar datang, padahal sebagian sahabat telah menyakinkan akan kewafatan Nabi saw.
Untuk mengetahui riwayat mana yang tertuduh palsu, direkayasa mungkin analisa rawi serta hubungannya dengan pelaku dalam riwayat tersebut. misalnya bagaimana hubungan Aisyah dengan Ummu Salamah, dst. Secara garis besar hubungan antara Nabi saw, Ali, serta para Ummu al-Mukminin, masing-masing tidaklah begitu berseberangan, meski ada sedikit masalah antara Nabi saw dengan kecemburuan Aisyah pada Sayyidah Khadijah. Setidaknya yang patut dicurigai adalah ketidaksukaan Aisyah kepada Ali karena sikap tersebut sudah ada sejak Nabi saw masih hidup. beberapa riwayat menceritakan bagaimana sikap Aisyah terhadap Ali, mis:

Imam Ahmad menceritakan yang berasal dari Nu’man bin Basyir, lihat dalam musnad penduduk Kufah: ‘Abu Bakar memohon izin menemui Rasul Allah saw dan ia mendengar suara keras Aisyah yang berkata: ‘Demi Allah, aku telah tahu bahwa engkau lebih mencintai Ali dari ayahku dan diriku!’, dan ia mengulanginya dua atau tiga kali’. kemudian Abu Bakar menasehati putrinya tersebut karena berkata lantang keras melebihi suara Nabi saw.

Tatkala sakit Rasul Allah bertambah berat, beliau dibawa ke masjid, dipapah oleh dua orang, yaitu Fadhl bin Abbas bin ‘Abdul Muththalib,
dan seorang lagi. Hadis ini diriwayatkan oleh Ubaidillah bin Abdullah bin ‘Utbah, dari Aisyah. Ubaidillah kemudian berkata: ‘Apa yang dikatakan oleh Aisyah kepadaku, kusampaikan kepada Abdullah bin Abbas, yang mengembalikan pertanyaan kepadaku: “Tahukah engkau siapa gerangan orang yang tidak disebutkan namanya oleh Aisyah?’ ‘Tidak’, jawabku. Dan kemudian menambahkan: ‘Sungguh, Aisyah tidak pernah merasa senang dengan segala berita baik mengenai Ali’.(Imam Ahmad bin Hanbal, dalam Musnad­nya, jilid VI, hlm. 23 dan 238; Ibnu Sa’d dalam Thabaqat, jilid 2, bab 2, hlm. 29; Thabari, dalam Tarikh­nya, (edisi Leiden) jilid 2, hlm. 1800­1801; Baladzuri, Ansab al­Asyraf, jilid 1, hlm. 544­545; Baihaqi, Sunan, jilid 2. hlm. 396 dll)

Imam Ahmad, dalam Musnad­nya, mengatakan bahwa tatkala orang datang kepada Aisyah dengan mencaci Ali bin Abi Thalib dan ‘Ammar bin Yasir, Aisyah berkata: ‘Aku tidak akan mengatakan apa pun mengenai Ali, sedang mengenai ‘Ammar aku telah mendengar Rasul Allah saw bersabda: ‘Ia tidak akan memilih akan dua urusan kecuali ia akan memilih yang lurus’

Dengan kebencian seperti itu tidak mustahil Aisyah memanipulasi -atau kemungkinan dijadikan sandaran- riwayat seputar kewafatan Nabi saw dengan dirinya, bukan dengan sahabat terbaik Nabi, Ali bin Abi Thalib. Wa Allah A'lam

Selanjutnya dalam proses pemakaman Nabi saw yang hampir tidak dihadiri mayoritas sahabatnya, termasuk Abu Bakar dan Umar karena "perebutan" kekuasaan. Hanya keluarga Rasul, termasuk Ali -yang tidak pernah meninggalkan Nabi saw ketika sakit karena menerima wasiat untuk mengurus jenazahnya- dan sebagian kecil sahabat yang mengebumikan jasad Rasulullah saw sebagaimana diriwayatkan berikut:

Aisyah berkata: ‘Kami tidak mengetahui penguburan Rasul sampai kami mendengar suara­suara gesekan di tengah malam Rabu’. (Ibnu Hisyam, Sirah, jilid 4, hlm. 344; Thabari, Tarikh, jilid 2, hlm. 452, 455 (terbitan Leiden, jilid 1, hlm. 1833, 1837); Ibnu Katsir, Tarikh, jilid 5, hlm. 270; Ibnu Atsir, Usdu’l­Ghabah, jilid 1, hlm. 34, dalam membicarakan Ar­Rasul disebut juga riwayat lain, bahwa terdengarnya suara gesekan dan bunyi keriak keriuk adalah pada malam Selasa, seperti dalam Thabaqat Ibnu Sa’d, jilid 2, Bab 2, hlm. 78 dan Tarikh Khamis, jilid 1, hlm. 191; sedang Dzahabi dalam Tarikh­nya, jilid 1, hlm. 327 menguatkan bahwa penguburan dilakukan pada akhir malam Rabu juga Musnad Ahmad, jilid 6, hlm. 62 dan pada hlm. 242 dan 274: “Kami tidak mengetahui di mana ia dikuburkan sampai kami mendengar..”)

Yang melakukan penguburan hanyalah keluarga Rasul, yaitu orang­orang yang memandikannya seperti Abbas, Ali, Fadhl dan Shalih (maula Rasul Allah) tiada orang lain.
‘Dan tiada yang mengurus (penguburan Rasul) kecuali keluarga dekatnya dan Banu Ghanm yang berada di rumah mereka telah mendengar suara keriat­keriut’.
Seorang tua kaum Anshar dari Banu Ghanm berkata: ‘Aku mendengar bunyi sesuatu yang bergesek pada akhir malam’. (Ibnu Sa’d, Thabaqat, jilid 2, Bab 2, hlm. 78)

‘Yang masuk ke liang kubur adalah Ali, Fadhl bin Abbas dan Qutsam bin Abbas serta Syuqran, (maula Qutsam). Dan ada yang menyebutkan juga Usamah bin Zaid. Merekalah yang membalikkan jenazah Rasul Allah saw, memandikan dan mengafaninya serta mengurus segala sesuatunya. Abu Bakar dan Umar tidak menghadirinya’. (Alauddin Muttaqi al­Hindi, Kanzu’l­Ummal, jilid 3, hlm. 14)



Source: Wafat Rasulullah & Suksesi Sepeninggal Beliau di Saqifah oleh O. Hashem; etc.

These icons link to social bookmarking sites where readers can share and discover new web pages.
  • Digg
  • Sphinn
  • del.icio.us
  • Facebook
  • Mixx
  • Google
  • Furl
  • Reddit
  • Spurl
  • StumbleUpon
  • Technorati

Siapa Pembantai Imam Husayn dan pengikutnya di Karbala?

Sampai hari ini, para pengikut Ibnu Taimiyah berusaha meyakinkan bahwa pembunuh Husein bin Ali adalah pengikut Syiah sendiri. Karena pada saat itu Syiah Ali banyak ditemui di Kufah dan merekalah yang memanggil Husein untuk datang ke Kufah dengan melayangkan ribuan surat kepada Husein as. Husein dikhianati oleh kaum Syiah, merekalah pembunuh Husein yang sebenarnya. Oleh karenanya, mereka meratapi kejadian Karbala karena penyesalan akan pengkhiatan kaumnya. Jadi kambing hitam atas tragedi Karbala adalah orang-orang Syiah.

Logika ini sama persis seperti yang dilakukan Amr bin Ash pendamping setia Muawiyah terhadap Imam Ali bin Abi Thalib as tentang peristiwa kesyahidan Ammar bin Yasir ra, sahabat Rasul dan pengikut setia Ali. Dikarenakan Rasulullah saww pernah bersabda –dalam hadis mutawatir- kepada Ammar; "sataqtuluka fiah baghiah" (engkau akan dibunuh oleh kelompok pendurhaka). Pada waktu perang Shiffin, perang antara kubu Amirulmukminin Ali as dan Muawiyah di daerah yang terkenal dengan sebutan Shiffin, di situ Ammar terbunuh. Kala itu, Ammar di pihak Amirulmukminin Ali as. Dengan terbunuhnya Ammar di pihak Ali, beberapa kaum pembela Muawiyah ingat sabda Rasul tadi, mereka pun bimbang. Untuk menghindari kebimbangan itu yang tentu akan mengurangi semangat bala tentaranya, Amr bin Ash penasehat setia Muawiyah mengatakan bahwa pembunuh Ammar adalah Ali. Dengan alasan, "jikalau Ali tidak memerangi Muawiyah niscaya Ammar tidak akan terbunuh". Karena ajakan Ali, Ammar terbunuh, berarti Ali-lah pembunuh Ammar. Logika yang lucu tapi nyata. Hanya manusia bodoh yang menerima logika semacam itu. Karena jika kita dipaksa menerima logika tersebut berarti kita harus menerima juga ungkapan bahwa pembunuh para sahabat Rasul adalah Rasul sendiri, karena Rasullah yang mengajak mereka berperang

Memang, saat itu kaum Syiah banyak ditemui di Kufah, namun tidak semua orang Kufah bermazhab Syiah. Tidak semua yang melayangkan surat ke Husein bin Ali adalah yang bermazhab Syiah. Mereka yang melayangkan surat juga termasuk orang yang mengakui kekhalifahan Syeikhain. Mereka turut melayangkan surat dikarenakan kecintaan mereka kepada keluarga Rasul dan kebencian mereka akan kezaliman. Bukankah yang mengajarkan kecintaan kepada keluarga Rasul bukan hanya khusus mazhab Syiah saja? Bukankah yang mengajarkan kebencian terhadap berbagai kezaliman bukan hanya dikhususkan mazhab Syiah saja? Atas dasar itulah, lantas ribuan surat melayang ke pangkuan Husein bin Ali as.

Mereka-mereka pencari kambing hitam peristiwa Karbala tidak tahu (jahil) –atau sengaja tidak mau tahu (keras kepala)- bahwa sebelum peristiwa Karbala, ribuan penduduk Kufah dibunuh oleh Ubaidillah bin Ziyad dengan bekerjasama dengan Nukman bin Basyir gubernur Kufah, bawahan Yazid. Pembunuhan itu atas perintah langsung dari Syam, pusat pemerintahan rezim Yazid. Perintah itu keluar setelah Yazid mendengar melalui mata-matanya bahwa penduduk Kufah banyak melayangkan surat kepada Husein. Selain pembunuhan juga dilakukan penangkapan besar-besaran penduduk Kufah, pendukung imam Husein. Dan intimidasi untuk menarik kembali baiat yang mereka layangkan kepada Husein di bawah ancaman mati di ujung pedang. Lantas, masihkah pengikut Ibnu Taimiyah terus akan mencari-cari kambing hitam itu? Ataukah mereka terus berusaha untuk selalu mencari jalan lain dalam rangka membela kaum durjana?

Berikut ini bukti-bukti bahwa penyerangan dan pembunuhan terhadap diri al-Husein as adalah atas perintah Yazid bin Mu’awiyah:

1. Suyuthi berkata: “Maka Yazid mengirm surat kepada gubernurnya di Irak, Ubaidullah bin Ziyad, agar memeranginya (al-Husein).” [Lihat: Suyuthi, “Tarikh al-Khulafa”, hal. 207].

2. Ibn Sa’ad mengatakan: “Kala itu Nu’man bin Basyir menjabat sebagai gubernur Kufah. Yazid khawatir bahwa Nu’man tidak berani menghadapi al-Husein. Sehingga kemudian ia mengirim surat kepada Ubaidullah bin Ziyad agar menjadi gubernur di Kufah, menggantikan Nu’man. Ia juga memerintahkan kepada Ubaidullah agar menghadapi al-Husein, dan agar segera mencapai Kufah sebelum didahului oleh al-Husein.” [Ibn Sa’ad, “Thabaqat”, seputar “Maqtal al-Husein”].

Mengenai kegembiraan Yazid atas terbunuhnya al-Husein as, berikut riwayatnya:

1. Ibn Atsir, ulama ahli rijal, yang terkenal dengan kitab rijal-nya “Usud al-Ghabah” mengatakan: “Yazid memberi izin kepada masyarakat untuk menemuinya, sementara kepala (al-Husein) berada di sisinya. Ia lalu memukuli mulut dari kepala tersebut, sembari mengucapkan syair.” [Lihat: Ibn Atsir, “Tarikh al-Kamil”, jilid 4, hal. 85].

Ibn Atsir mengatakan: “Ketika kepala al-Husein sampai ke hadapan Yazid, maka hal itu telah menggembirakan Yazid terhadap apa yang telah ia (Ibn Ziyad) lakukan. Hingga kemudian orang-orang masuk, menunjukkan kebencian kepadanya, melaknatnya, dan mencacinya. Karenanya, Yazid pun lalu menunjukkan penyesalan atas terbunuhnya al-Husein.” [Lihat: Ibn Atsir, “Tarikh al-Kamil”, jilid 4, hal. 87].

2. Ibn Katsir meriwayatkan dari Abu ‘Ubaidah Mua’mar bin al-Matsna, yang mengatakan: “Ketika Ibn Ziyad membunuh al-Husein dan orang-orang yang bersama beliau, ia lalu mengirimkan kepala-kepala tersebut kepada Yazid. Maka Yazid pun bergembira pada mulanya, dan menempatkan Ibn Ziyad di samping dirinya. Namun tak berapa lama kemudian, ia menunjukkan penyesalan.” [Lihat: Ibn Katsir, “Al-Bidayah wa al-Nihayah”, jilid 8, hal. 255].

3. Al-Qasim bin Abdurahman (salah seorang budak Yazid bin Mu’awiyah) berkata: “Tatkala kepala-kepala diletakkan di hadapan Yazid bin Mu’awiyah, yaitu kepala al-Husein, keluarga, dan para sahabat beliau. Ia (Yazid) berkata: “Sungguh kami telah membelah kepala seseorang dari para lelaki yang angkuh terhadap kami, yang mana mereka adalah orang-orang yang paling durhaka dan paling lalim.” [Lihat: Thabari, “Tarikh al-Umam wa al-Mulk”, jilid 6, hal. 391].

Al-Qasim bin Bukhait berkata: “Yazid lalu memberi izin orang-orang untuk masuk, sementara kepala (al-Husein) berada di hadapannya. Ia lalu memukul-mukul mulut dari kepala itu dengan tongkat seraya bersyair.” [Lihat: Thabari, “Tarikh al-Umam wa al-Mulk”, jilid 6, hal. 396-397].

Uwanah bin al-Hakam al-Kalbi berkata: “Ubaidillah lalu memanggil Muhaffiz bin Tsa’labah dan Syimr bin Dzil Jausyan dan berkata: “Berangkatlah dengan membawa perbekalan dan kepala untuk menghadap amirul mukminin Yazid bin Mu’awiyah.” Mereka lalu berangkat. Dan ketika sampai di istana Yazid, Muhaffiz berteriak dengan suara lantang: “Kami datang dengan membawa kepala manusia paling dungu dan keji.” Yazid pun berkata: “Ibu Muhaffiz tidak melahirkan seorang yang lebih keji dan lebih dungu darinya (al-Husein). Sedangkan ia (al-Husein) adalah seorang pemutus hubungan yang zalim.” Dan tatkala Yazid melihat kepala al-Husein, ia berkata: “Sungguh kami telah membelah kepala seseorang dari para lelaki yang angkuh terhadap kami, yang mana mereka adalah orang-orang yang paling durhaka dan paling lalim.” [Lihat: Thabari, “Tarikh al-Umam wa al-Mulk”, jilid 6, hal. 394-396; Ibn Atsir, “Tarikh al-Kamil”, jilid 4, hal. 84].

4. Para penulis sejarah ahlusunnah terkenal meriwayatkan: “Setelah diarak keliling kota, Ibn Ziyad (gubernur Kufah) mengirim kepala al-Husein as kepada Yazid bin Mu’awiyah di Syam (Damaskus). Saat itu bersama Yazid terdapat Abu Barzah al-Aslami. Lalu Yazid meletakkan kepala tersebut di hadapannya dan memukul-mukul mulut dari kepala itu dengan tongkat seraya bersyair. Abu Barzah lalu berkata: “Angkat tongkatmu! Demi Allah, aku kerap melihat Rasulullah mencium bibir itu.” [Lihat: Ibn Katsir, “Al-Bidayah wa al-Nihayah”, jilid 7, hal. 190; Al-Mas’udi, “Muruj al-Dzihab”, jilid 2, hal. 90-91; “Tarikh Thabari”, jilid 2, hal. 371; Ibn Atsir, “Tarikh al-Kamil”, jilid 4, hal. 85].



Dikumpulkan dari jawaban milis di http://groups.yahoo.com/group/Kajian_Islam/messages/352?o=1&xm=1&l=1

These icons link to social bookmarking sites where readers can share and discover new web pages.
  • Digg
  • Sphinn
  • del.icio.us
  • Facebook
  • Mixx
  • Google
  • Furl
  • Reddit
  • Spurl
  • StumbleUpon
  • Technorati

Buku-Buku Menarik

Buku Akhirnya kutemukan Kebenaran oleh Muhammad al-Tijani al-Samawi

Nahjul Balaghah Imam Ali as

Pendekatan Sunnah dan Syiah oleh Al-Marhum Al-Ustadz Husein Al-Habsyi

Buku Wafat Nabi dan Suksesi di Saqifah Oleh O.Hashem

Buku Dialog Sunnah-Syiah atao al-Murajaat, oleh Sharafuddin al-Musawi

KhulafaurRasyidin antara nas dan Ijtihad

Mengapa memilih Ahlu Bayt

Ahlu Bait menurut Hadith

Ahlu Bait menurut al-Qur'an

Kitab al-Kafi versi word

fikih Ringkasan untuk Sholat

Bocah Shi'i penghafal al-Qur'an (al-Qurannya juga sama). The Amazing Child

These icons link to social bookmarking sites where readers can share and discover new web pages.
  • Digg
  • Sphinn
  • del.icio.us
  • Facebook
  • Mixx
  • Google
  • Furl
  • Reddit
  • Spurl
  • StumbleUpon
  • Technorati

Meluruskan Peran Nashirudin al-Thusi

Nashirudin Al-Thusi (1200-1273 M), atau yang dikenal dengan Khawajah Nashir atau Khawajah al-Thusi, adalah salah seorang ulama besar syi’ah. Ia menulis banyak buku yang tidak hanya meliputi ilmu-ilmu agama, tetapi juga filsafat, matematika, dan astronomi. Karena kepandaiannya tersebut, akhirnya ia menjadi orang kepercayaan Hulagu Khan, penguasa Mongol yang berkuasa saat itu atas wilayah Iran dan sekitarnya.

Namun di kemudian hari, setelah peristiwa penaklukan Baghdad (10 Februari 1258 M/ 656 H) yang mengakhiri 500 tahun kekuasaan rezim dinasti Abbasiyah, muncul pernyataan bahwa al-Thusi berperan dalam peristiwa tersebut. Dan pendapat ini diwakili oleh tiga kelompok.

Kelompok pertama adalah kelompok non-syi’ah, yaitu pendapat Ibn Taimiyyah beserta para murid dan pengikutnya, seperti Ibn Qayyim al-Jauziyah, al-Subki, Khwand Mir, dan Ibn al-‘Imad. Ia mengatakan bahwa al-Thusi telah mendesak (menghasut) Hulagu untuk menaklukkan Baghdad. Bahkan kemudian ia mengecam al-Thusi dengan mengatakan bahwa ia tidak mengindahkan ajaran agama, menghina larangan syari’at, meninggalkan sholat, mengijinkan perzinaan, dan lain-lain[1]. Bahkan Ibn Qayyim menyebut Nashirudin al-Thusi sebagai “Nashir al-Syirk wa al-Kufr wa al-Ilhad” (penolong kesyirikan, kekufuran, dan ateisme), ia pun menuduhnya sebagai orang yang menolak sifat-sifat Allah, mempelajari ilmu sihir, menyembah berhala, dan lain-lain[2].

Kelompok Kedua, adalah kelompok orientalis Barat, seperti para penulis Cambridge History of Iran, Edward Browne, dan Arbery[3]. Mereka ini tentu saja terpengaruh oleh tuduhan Ibn Taimiyah dan murid-muridnya.

Kelompok Ketiga, adalah kelompok ulama syi’ah, yaitu al-Khwansari dan Qadi Nurullah al-Shustari. Mereka mendukung pendapat keterlibatan al-Thusi dan menyatakan bahwa tindakan al-Thusi adalah positif sebagai bentuk perlawanan atas penindasan rezim Abbasiyah[4].

Tetapi para peneliti sejarah syi’ah masa kini, seperti DR. Hairi dan Syaikh Rasul Ja’fariyan, menyangkal pendapat keterlibatan al-Thusi pada peristiwa jatuhnya Baghdad. Mereka menyatakan bahwa pendapat semua kelompok tersebut tidak disertai bukti-bukti dan argumen kuat, dengan kata lain pendapat-pendapat tersebut tidak berdasar. Pendapat Ibn Taimiyyah—yang hidup beberapa tahun setelah peristiwa itu—hanya didasarkan pada tendensi kebenciannya terhadap syi’ah. Sementara dukungan al-Khwansari dan al-Shustari—yang hidup 500 tahun setelah peristiwa itu—atas pendapat keterlibatan al-Thusi dikarenakan kebencian mereka terhadap rezim Abbasiyah[5].

Sementara itu, penyangkalan mereka (para peneliti) tersebut terhadap keterlibatan al-Thusi didasarkan pada bukti-bukti berikut:

1. Para saksi mata peristiwa penaklukan Baghdad tersebut dan para penulis sejarah yang hidup pada dekade setelahnya atau beberapa ratus tahun setelahnya tidak menyebut keterlibatan al-Thusi ketika menberitakan peristiwa penaklukan Baghdad tersebut. Bahkan ketika memberitakan sosok al-Thusi, hanya disinggung tentang kedalaman pengetahuannya atas beberapa bidang ilmu. Ini menunjukkan bahwa mereka menyangkal tuduhan keterlibatannya tersebut semenjak hal ini menjadi isu penting. Di antara mereka adalah: Minhaj Siraj (menulis bukunya tahun 1260 M), Ibn al-‘Ibn (w. 1286 M), Ibn Kazeruni (w. 1297), Ibn al-Fawti (menulis bukunya tahun 1259 M), Ibn al-Thiqthaqa (w. 1309 M), Ibn Syakir al-Qurtubi (w. 1362 M), al-Dzahabi (w. 1345 M), Suyuthi (w. 1505 M), dan lain-lain[6].

2. Sebagaimana yang telah disinggung sebelumnya, tuduhan Ibn Taimiyyah beserta para murid dan pengikutnya adalah tidak berdasar, karena tidak disertai dengan bukti-bukti dan argument kuat. Bahkan Ibn al-Imad al-Hanbali (salah seorang pengikut Ibn Taimiyyah) meragukan pendapat tersebut dengan menghalangi setiap penerimaan atas tuduhan mereka tentang keterlibatan al-Thusi[7]. Juga Ibn Katsir al-Hanbali (yang dianggap sebagai pengikut Ibn Taimiyyah) menentang tuduhan mereka tersebut, dengan mengatakan: “Khawajah memang berada dalam rombongan Hulagu selama peristiwa Baghdad. Beberapa orang menganggap bahwa Khawajah telah mendesak (menghasut) Hulagu untuk membunuh Khalifah. Namun, saya yakin bahwa tindakan seperti itu tidak akan dilakukan oleh seorang intelektual dan terpelajar”[8]. Ini membuktikan bahwa Ibn Katsir tidak mempercayai keterlibatan seorang intelektual dan terpelajar seperti al-Thusi dalam peristiwa penaklukan Baghdad tersebut.

3. Keberadaan al-Thusi dalam rombongan Hulagu ketika akan menaklukkan Baghdad, bukanlah bukti keterlibatan al-Thusi pada peristiwa tersebut. Melainkan ia khawatir akan keselamatan dirinya bila menolak ajakan Hulagu. Saat itu Hulagu sedang berada dalam puncak kemarahannya untuk menaklukkan Baghdad, sehingga ia tidak ingin ada yang menentangnya apapun alasannya, sebagaimana nasib Husam al-Din. Diberitakan oleh Rashid al-Din, bahwa Husam berusaha menghalangi Hulagu untuk menyerang Baghdad karena diperkirakan akan terjadi malapetaka yang akan menimpa Hulagu. Namun, Hulagu justru membunuhnya. Ini menandakan bahwa Hulagu tidak ingin dihalangi meskipun oleh orang terdekatnya sendiri (Husam), apapun alasannya. Sehingga kekhawatiran al-Thusi memang sangat beralasan[9]. Dan lagi mengapa yang dikecam hanya al-Thusi? Padahal dalam rombongan Hulagu juga terdapat banyak ulama sunni, seperti Syarafuddin Ibn al-Jauzi, yang merupakan orang kepercayaan khalifah[10]. Ini menandakan bahwa tuduhan terhadap al-Thusi tidak lain hanyalah karena kebencian terhadap syi’ah.

4. Baghdad, pada kenyataannya, telah menjadi target operasi Mongol sejak lama, jauh sebelum serangan Hulagu. Pada tahun 1237 M, Baghdad yang waktu itu diperintah oleh al-Muntasir Billah, telah diserang oleh Mongol yang dipimpin oleh Baychownian, tetapi gagal. Tahun 1245 M, Baghdad yang diperintah oleh al-Musta’shim, diserang oleh Mongol yang dipimpin oleh Bajaktai Yunior, namun gagal lagi. Dan pada tahun 1249 M, Baghdad diserang kembali oleh Mongol yang dipimpin oleh Khanaqin, namun gagal juga. Sehingga Mongke/Mengu (salah seorang penguasa Mongol saat itu) pada tahun 1251 M memanggil saudaranya, Hulagu Khan, untuk menyerang Baghdad[11]. Jelaslah, bahwa penaklukan Baghdad bukanlah rencana baru yang dibuat oleh Hulagu karena desakan (hasutan) al-Thusi, sebagaimana yang dituduhkan.

Faktor-faktor sebenarnya yang menjadi penyebab jatuhnya Baghdad adalah:

1. Jatuhnya Turkestan (Peristiwa Utrar)
Turkestan merupakan pagar masuknya Mongol ke Baghdad. Pada tahun 1219 M, Jengis Khan ingin membuka hubungan persahabatan dengan Turkestan, dengan cara mengirimkan utusan dan kafilah dagang. Namun, Gubernur Utrar, Inaljuk, malah membunuh mereka dan merampas dagangannya. Jengis Khan lalu mengirim surat, meminta kepada Sultan Ala’uddin Muhammad Khwarazmsyah (penguasa Turkestan) agar Gubernur Utrar tersebut diserahkan kepadanya. Namun dengan arogan Ala'uddin menolak, bahkan membunuh utusan yang membawa surat tersebut. Akhirnya Jengis Khan mengirmkan pasukan untuk menyerang Turkestan, dan berhasil menaklukannnya pada tahun 1220 M. Bahkan pasukan Mongol yang primitif itu juga membunuh wanita, anak-anak dan orang tua. Dan tahun tersebut merupakan awal masuknya Mongol ke dunia Islam. Tidak hanya itu, Mongol juga melebarkan serangannya dan berhasil menguasai Nishabur, Bukhara, Samarkand, Herat, dan Thus. Hingga meninggalnya Jengis Khan (1227 M), Mongol telah berhasil melebarkan kekuasaan hingga Rey, Qum, Kasyan, dan Saveh. Akibatnya lingkup Baghdad semakin sempit, karena wilayah-wilayah di sekitarnya telah jatuh ke tangan Mongol[12].

2. Pertentangan di antara Pengikut Mazhab Ahlusunnah
Kaum Mongol, sejak 627 H/1229 M, telah berulang-ulang menyerang Isfahan (atau Asbihan), namun selalu gagal, dengan korban yang tidak sedikit dari kedua belah pihak. Ibn Abil Hadid al-Mu’tazili memberitakan bahwa pada tahun 633 H/1235 M terjadi perselisihan antara pengikut mazhab Hanafi dengan pengikut mazhab Syafi’i, yang menyeret pada perang saudara yang berlarut-larut. Kemudian pengikut Syafi'i mendatangi pasukan Tartar (Mongol), yang waktu itu diperintah oleh Ko An, salah seorang putera Jengis Khan. Mereka meminta Ko An untuk menyerang pengikut Hanafi di Isfahan dan rela menyerahkan kota tersebut pada Mongol. Ko An lalu mengepung kota Isfahan dari segala penjuru, sementara di dalam kota telah berkecamuk pertempuran antara kedua pengikut mazhab Ahlusunnah tersebut. Lalu pengikut Syafi'i membukakan pintu kota bagi pasukan Tartar (Mongol) sesuai perjanjian, agar pasukan Tartar membasmi pengikut Hanafi. Namun yang terjadi justru pasukan Tartar membunuh keduanya, baik pengikut Hanafi maupun pengikut Syafi'i. Mereka (pasukan Tartar) menawan wanita, merobek perut wanita hamil, dan menjarah harta penduduk. Kemudian mereka membakar kota Isfahan hingga menjadi abu[13]. Akibatnya posisi Baghdad pun semakin goyah dan terkepung.

3. Hedonisme Para Penguasa Abbasiyah
Ibn al-Thiqthaqa (w. 1309 M), yang telah menyaksikan runtuhnya kekhalifahan Abbasiyah dan hancurnya Baghdad tahun 1258 M, menyatakan dalam kitabnya “Al-Fakhr fi al-Adab al-Sulthaniyyah” bahwa jatuhnya Baghdad disebabkan oleh gaya hidup khalifah al-Musta’shim. Ia menulis : “Khalifah terakhir Abbasiyah, al-Musta’shim, suka berfoya-foya dan berpesta-pesta. Majelisnya tidak pernah sepi dari kehidupan seperti itu. Para hulubalangnya juga serupa. Hanya rakyat yang sering mengingatkannya agar ia sadar. Orang pun membuat syair, seperti :

Tolong sampaikan pada khalifah ‘sadarlah’.
Kalau begini terus bencana tentu datang.
Baginda terlena buaian dunia pembawa musibah.
Bangkitlah dan gelorakan semangat juang.
Bencana dan perang pasti akan datang.
Begitu pula perpecahan, perkosaan, dan penawanan.
Pembunuhan, perampasan, dan perampokan.[14]

Rupanya kegagalan Mongol dalam menyerang Baghdad pada tahun 1245 M dan 1249 M telah membuat sang khalifah semakin lupa diri. Akibatnya pasukannya pun tidak terurus dan tidak terlatih.

Dan yang paling ironis adalah pada saat Hulagu mengirim utusan kepada Badrudin Lu’lu’ (penguasa kerajaan Mosul saat itu) untuk meminta senjata guna menyerang Baghdad, justru khalifah Musta’shim pada saat yang sama mengirim surat kepada Badrudin untuk meminta wanita penghibur. Sehingga Badruddin berkata: “Menangislah kalian, tangisilah Islam dan umatnya.”[15]

Dan al-Musta’shim juga dikenal dengan kekikirannya. sehingga banyak dari pasukannya—yang tidak diberi gaji—melarikan diri dan bergabung dengan kerajaan Syam[16].

4. Banjir Bandang
Baghdad dilanda banjir bandang yang terjadi berturut-turut pada tahun 1253 M, 1255 M, dan 1256 M. Banjir bandang ini telah mengakibatkan kerusakan cukup besar pada kota Baghdad. Karenanya, ini pun berperan melemahkan kondisi kota tersebut.[17]

Sementara itu, Hulagu telah mempersiapkan serangan ke Baghdad dengan sangat matang, kurang lebih selama tujuh tahun. Sehingga pasukannya pun menjadi kuat, apalagi didukung oleh sistem mata-mata yang baik. Langkah awal Hulagu adalah menaklukkan Asasin terlebih dahulu, di Alamut (Persia Barat Daya), tahun 1255 M. Ini membuka jalan baginya ke Baghdad.

Ketika Hulagu berhasil menaklukkan benteng kota Baghdad, ia mengirim utusan kepada khalifah untuk menyerah secara baik-baik (sebagaimana pesan Mongke kepadanya). Lalu khalifah berunding dengan wazirnya, dan wazirnya menyarankan untuk berdamai dan mengirimkan hadiah yang banyak kepadanya. Namun, karena hasutan sahabat-sahabatnya yang benci terhadap wazirnya itu, khalifah dengan arogan menolak tawaran Hulagu. Bahkan sejarawan Ibn Katsir juga menyesalkan sikap khalifah al-Musta’shim ini[18].

Akibatnya, perang pun tak dapat dihindari. Baghdad diserang oleh pasukan Hulagu, yang juga menjatuhkan ribuan korban di pihak rakyat sipil oleh kebiadaban tentara Tartar (Mongol). Dan al-Musta’shim pun terbunuh secara mengenaskan, tubuhnya dibungkus dan ditendang-tendang sampai mati[19].

Lalu mengapa al-Thusi bergabung dengan Hulagu dan bukan pada penguasa Abbasiyah?

Al-Thusi terpaksa bergabung dengan pemerintah Mongol sebagai bentuk taqiyyah, dikarenakan semata-mata demi menyelamatkan Islam dari kehancuran, serta demi menyelamatkan rakyat dari kesengsaraan dan kebodohan. Apalagi Hulagu tidak mempermasalahkan kesyi’ahannya. Sebaliknya, penguasa Abbasiyah justru memusuhi dan menindas syi’ah. Khalifah al-Musta’shim, yang berkuasa saat itu, telah melakukan pembunuhan terhadap sejumlah besar kaum syi’ah, termasuk juga terhadap golongan Bani Hasyim dan lainnya, menawan anak-anak perempuan mereka, dan mengarak mereka keliling pasar tanpa busana di atas kuda[20].

Sementara Khawajah al-Thusi telah dikenal sebagai salah seorang ulama syi’ah terkemuka. Sehingga mustahil baginya untuk bergabung dengan rezim Abbasiyah. Dan lagi al-Thusi menetap di Iran yang waktu itu dikuasai Hulagu, bukan di Baghdad (Irak).

Al-Thusi melihat bahaya besar bagi Islam dan kaum muslimin akibat masuknya dan berkuasanya Mongol di dunia Islam. Penguasa Mongol telah meruntuhkan kota-kota Islam di sepanjang jalan dan membasmi populasi muslimin. Semua warisan budaya, termasuk perpustakaan, dihancurkan tanpa ampun. Ia melihat tak ada yang bisa menghalangi hal ini, dan sejarah telah membuktikannya. Bila hal ini berlarut-larut, maka Mongol akan mengubah dunia Islam menjadi tak berbudaya dan tak beradab (barbar), dan kaum muslimin akan kembali ke masa jahiliyah.

Oleh karena itu, ia berpikir mumpung penguasa baru saat itu menunjukkan penghormatan kepada para ulama, maka ia bisa memanfaatkan ini untuk menyelamatkan Islam dan kaum muslimin. Selain itu, siapa tahu ada di antara mereka yang kemudian mau memeluk Islam. Karenanya, tidak ada cara lain kecuali bergabung dengan Mongol, yang saat itu diperintah oleh Hulagu Khan.

Dan terbukti di kemudian hari, dengan bergabungnya al-Thusi, ia dapat memberikan peranan besar dalam menyelamatkan Islam dan kaum muslimin. Peranan tersebut dalam bentuk:

Al-Thusi dipercaya untuk mengurus harta pemerintah. Dan ia memanfaatkan ini untuk membagikannya secara adil kepada kaum muslimin, terutama rakyat yang tertindas. Ia juga menggunakan harta tersebut untuk membangun observatorium “Easad Khanah”, dan menggaji para ulama yang bekerja di sana.

Al-Thusi membangun perpustakaan-perpustakaan, membangkitkan kembali ilmu pengetahuan Islam, dan membina para pelajar. Ia juga mampu mengkoleksi 400.000 buku di perpustakaan yang dibangunnya tersebut.

Al-Thusi juga telah menyelamatkan masyarakat dari tindakan pemusnahan (genocide) semasa kampanye kekuasaan Hulagu.

Al-Thusi berhasil menggalang simpati Hulagu sedemikian luas, sampai-sampai Hulagu tidak akan menunggang kuda dan melakukan perjalanan tanpa persetujuan al-Thusi. Dan ia memanfaatkan ini untuk melindungi para ulama Islam, yang telah membuat gusar penguasa Mongol, tanpa melihat mazhabnya. Seperti ketika ia menyelamatkan nyawa Ibn Abil Hadid al-Mu’tazili, Muwaffaq al-Dan, serta Ala’uddin al-Juwayni.

Al-Thusi juga berhasil meredakan watak barbar Hulagu. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Syaikh Syarif Tabrazi bahwa “para tiran tersebut telah menjadi lemah”.

Al-Thusi juga berhasil menarik simpati Abaqan, putera Hulagu yang berkuasa sepeninggal Hulagu. Hal ini ia gunakan untuk melindungi para pelajar. Akibatnya, Abaqan memberikan hadiah kepada hampir seratus pelajar yang pernah menjadi murid al-Thusi. Dan bahkan ia pun sempat menyeru dan mengingatkan Abaqan agar ia menyenangkan Allah SWT, berbuat adil, menyelesaikan permasalahan rakyat dengan cara yang baik dan luhur, tidak berbuat tiran terutama kepada orang-orang saleh dan rakyat tak-berdosa, serta menyuburkan tanah-tanah sehingga kekayaan bisa diperoleh tanpa penindasan dan penderitaan rakyat. Setelah al-Thusi wafat, hasil dari upayanya tersebut terlihat dengan makin populernya Islam di kalangan penguasa Mongol dan warga Mongol di Iran. Karenanya, matahari Islam bersinar dan kegelapan pun sirna[21].

Demikianlah sosok Khawajah Nashirudin al-Thusi yang sebenarnya. Karena itu, sepantasnyalah beliau dimuliakan dan dihormati.

Sumber Referensi:

[1] Ibn Taimiyyah, “Minhaj al-Sunnah”, jilid 2, hal. 199.
[2] Syaikh Rasul Ja’fariyan, “The Alleged Role of Khawajah Nasir al-Din al-Tusi in The Fall of Baghdad”, hal. 4, Jurnal al-Tawhid, vol. 8, no. 2.
[3] Ibid, hal. 5.
[4] Ibid.
[5] Ibid.
[6] Ibid, hal. 9-10.
[7] Ibid, hal. 10.
[8] Ibn Katsir, “Al-Bidayah wa al-Nihayah”, jilid 13, hal. 267-268.
[9] Syaikh Rasul Ja’fariyan, “The Alleged Role”, hal. 12-13, Jurnal al-Tawhid, vol. 8, no. 2.
[10] Ibid, hal. 3.
[11] Ibid, hal. 6-7; Ibn Abil Hadid al-Mu’tazili, “Syarh Nahjul Balaghah”, jilid 8, hal. 238-240; Encyclopaedia Brittanica, pada artikel “Musta’shim” dan “Hulegu”.
[12] Suyuthi, “Tarikh al-Khulafa”, hal . 469; Ibn Atsir, “al-Kamil”, jilid 12, hal. 363; Timothy May, “Genghis Khan”, The University of Wisconsin- Madison; Irangasht.com, “Mongol Invasion”; Syaikh Rasul Ja’fariyan, “The Alleged Role”, hal. 5-6, Jurnal al-Tawhid, vol. 8, no. 2; Encyclopaedia Brittanica, pada artikel “Ala’uddin”.
[13] Ibn Abil Hadid al-Mu’tazili, “Syarh Nahjul Balaghah”, jilid 8, hal. 237-238.
[14] Syaikh Rasul Ja’fariyan, “The Alleged Role”, hal. 8, Jurnal al-Tawhid, vol. 8, no. 2; O. Hashem, “Syi’ah Ditolak Syi’ah Dicari”, hal. 194 (yang mengutip dari kitab “Al-Fakhr fi al-Adab al-Sulthaniyah” karya Ibn al-Thiqthaqa, hal. 33).
[15] O. Hashem, “Syi’ah Ditolak Syi’ah Dicari”, hal. 194 (yang mengutip dari kitab “Al-Fakhr fi al-Adab al-Sulthaniyah” karya Ibn al-Thiqthaqa, hal. 33).
[16] O. Hashem, “Syi’ah Ditolak Syi’ah Dicari”, hal. 197 (yang mengutip dari kitab “Tarikh” karya Ibn al-Futha, hal. 261).
[17] Encyclopaedia Brittanica, pada artikel “Musta’shim” dan “Hulegu”.
[18] O. Hashem, “Syi’ah Ditolak Syi’ah Dicari”, hal. 197-198; Syaikh Rasul Ja’fariyan, “The Alleged Role”, hal. 7, Jurnal al-Tawhid, vol. 8, no. 2; The Applied History Research Group “The Il-Khanate”, The University of Calgary, tahun 1998.
[19] Syaikh Rasul Ja’fariyan, “The Alleged Role”, hal. 13, Jurnal al-Tawhid, vol. 8, no. 2.
[20] O. Hashem, “Syi’ah Ditolak Syi’ah Dicari”, hal. 199 (yang mengutip dari kitab “Raudhah al-Shafa”, jilid 5, hal. 239).
[21] A.H. Hairi, “Nasiruddin Tusi: His Alleged Role in the Fall of Baghdad”, hal. 255-266; Syaikh Rasul Ja’fariyan, “The Alleged Role”, hal. 14-19, Jurnal al-Tawhid, vol. 8, no. 2.


Wassalaam,

Muh. Anis


Source: http://groups.yahoo.com/group/Kajian_Islam/messages/362?o=1&xm=1&l=1

These icons link to social bookmarking sites where readers can share and discover new web pages.
  • Digg
  • Sphinn
  • del.icio.us
  • Facebook
  • Mixx
  • Google
  • Furl
  • Reddit
  • Spurl
  • StumbleUpon
  • Technorati

Riwayat Tiga dan Tiga Penyesalan Abu Bakar

Ibn Qutaibah atau Abu Muhammad Abdullah bin Muslim bin Qutaibah ad­Dainuri adalah salah seorang imam dalam sastra, sejarah dan bahasa Arab dilahirkan di Baghdad tahun 213 H/ 628 M dan tinggal di Kufah . Ia pindah dan jadi Kadi di kota Dainur, dan meninggal di Baghdad tahun 276 H/9 88 M. Di antara karangannya adalah Ta’wil Mukhtalafu’l Hadits, (Penjelasan Tentang Aneka Ragam Hadis), Adab al­Katib, (Etika Penul is), Ma’arif, (Pengenalan), Syir wa Syu’ara’, (Syair dan Para Penyair), dan Al­Imamah wa Siyasah, (Kepemimpinan dan Politik) yang terkenal juga sebagai Tarikh al­Khulafa’, (Sejarah Para Khalifah). Buku ini berisi tarikh sejak wafatnya Rasul sampai zaman khalifah Amin dan saudaranya khalifah Makmun. (Kairo, 1957)
Ia adalah seorang ahli sunah yang fanatik dan seorang nashibi, pembenci ahlu’lbait.
Ibnu Katsir, Maslamah bin Qasim dan Ibnu Hajar memujinya dan melukiskannya sebagai dapat dipercaya.
Mengenai Al­Imamah was Siyasah, ada yang meragukannya sebagai tulisan Ibn Qutaibah, kalau tidak seluruh, sebagiannya. Ada yang menganggap tulisan itu berasal dari tulisan­tulisan yang lebih lama. Mungkin karena buku ini menceriterakan pembangkangan Ali terhadap pembaiatan Abu Bakar, perdebatannya dengan Abu Bakar, percekcokan antara Abu Bakar dan Umar di satu pihak serta Fathimah di pihak lain. Tetapi alasan ini berlebihan, karena Ibn Qutaibah bukanlah satu­satunya sumber berita tersebut.
Lagi pula banyak ulama’ meyakini buku tersebut sebagai buku tulisan Ibn Qutaibah, seperti Ibn al­’Arabi (wafat 543 H/ 1148 M) dalam bukunya Al­’Awashim min al­Qawashim, mengatakan ‘shahih semua apa yang tertulis di dalamnya’. Begitu pula Nijamuddin Abi Qasim Umar bin Muhammad bin Muhammad al­Hasyimi al­Makki dalam bukunya ‘Ittihafu’l­Wara bi Akhbar Umm’l­Qura’ mengutip dari buku tersebut sebagai buku Ibn Qutaibah. Juga al­Qadhi Abu Abdullah at­Tanwizi yang terkenal dengan Ibn Syabbath mengutip darinya. Juga Ibn Hajar al­ Haitsami maupun Ibnu Khaldun . Juga penulis abad ini seperti Jarji Zaidan dalam Tarikh al­Adab al­Lughah al­’Arabiyah dan Farid Wajdi dalam bukunya Da’irah al­Maarif’ tidak meragukan keasliannya.
Berikut riwayatnya:
Dari ‘Abdurrahman bin ‘Auf yang berkata bahwa ia menghadap Abu Bakar ash­Shiddiq ra yang sedang sakit yang mengakibatkan ia meninggal dunia.
Abu Bakar memerintah dua tahun dan beberapa bulan, kemudian ia sakit yang mengakhiri hidupnya. Sahabat­sahabat Nabi saw menjenguknya, di antaranya ‘Abdurrahman bin ‘Auf yang berkata kepadanya: ‘Bagaimana keadaanmu wahai khalifah Rasulullah? Aku sungguh mengharapkan Anda lekas sembuh’ . Abu Bakar menjawab: ‘Anda mengharap demikian?’. ‘Abdurrahman bin ‘Auf: ‘Ya’. Abu Bakar: ‘Aku sakit berat…’
Selanjutnya Abu Bakar berkata: ‘Aku tidak menyesali sesuatu dari dunia ini, kecuali:
1. Tiga yang kulakukan, seharusnya tidak kulakukan (laitani kuntu taraktu hunna)
2. Tiga yang tidak kulakukan, seharusnya kulakukan (laitani kuntu fa’altu hunna)

Tiga yang kulakukan tapi seharusnya tidak kulakukan adalah:
1. Aku ingin agar aku tidak membuka tirai rumah Fathimah biarpun dengan demikian akan timbul peperangan.
2. Aku ingin agar tidak membakar Fuja’ah as­Silmi. Aku seharusnya segera membunuhnya dan menghabisinya.
3. Aku ingin pada peristiwa Saqifah Bani Sa’idah, aku memikulkan beban khalifah di pundak satu dari dua orang, ‘Umar atau Abu ‘Ubaidah dan aku jadi wazirnya.

Tiga yang tidak kulakukan dan ingin kulakuk an adalah:
1. Seharusnya kupenggal leher Asy’ats bin Qays dan tidak membiarkan ia hidup.
2. Sebaiknya kukirim Khalid bin Walid ke Syam dan ‘Umar bin Khaththab ke Irak.
3. Aku mestinya bertanya kepada Rasul, siapa seharusnya jadi khalifah, agar tidak akan berselisih dua orang. Kuingin bertanya apakah kaum Anshar juga berhak atas kekhalifahan ini, dan aku ingin tanyakan mengenai warisan terhadap putrinya.

Dari beberapa point di atas ada sebagian yang bertentangan dengan sejarah yang diimani Sunni dan Syiah. Apakah Abu Bakar, sahabat utama Nabi saw tidak yakin dengan sabda-sabda Nabi saw yang didengarnya, atau kita yang salah menafsirkan sejarah yang beredar?


Source: Wafat Rasulullah & Suksesi Sepeninggal Beliau di Saqifah, O. Hashem.

These icons link to social bookmarking sites where readers can share and discover new web pages.
  • Digg
  • Sphinn
  • del.icio.us
  • Facebook
  • Mixx
  • Google
  • Furl
  • Reddit
  • Spurl
  • StumbleUpon
  • Technorati

Mengkritik Mencela Para Sahabat Adalah Kufur?

Hampir sebagian besar kalangan Sunni menuduh golongan Syiah sebagai kaum Kafir karena mereka mengkritik, mencela, memaki, mengkafirkan para sahabat. Jika demikian?... terserah anda. Namun yang jadi masalah adalah apakah hukum ini berlaku juga bagi Nabi atau para sahabatnya sendiri? karena dalam kitab Hadith maupun tarikh terdapat pula kritikan, teguran, celaan, permusuhan antar sahabat bahkan membunuh sahabat lainnya. Apakah kita harus menghapus riwayat-riwayat yang mengandung kekerasan itu di seluruh kitab-kitab ataukah mengubah hukum dalam mengkritik atau mencela sahabat, mis celaan tersebut menjadi doa atau rahmat baginya, sebagai ijtihad yang salah, boleh mengkritik mencela para sahabat yang tidak sesuai atau ada jalan lain?...terserah anda, aku hanya menyebarkan riwayat sejarah yang ditulis pada zaman dulu.
Berikut ini adalah sebagian riwayat tersebut:

>> Rasulullah saw dengan sahabat Mu'awiyah
"Rasulullah pernah menyuruh Ibn Abbas, yang sedang bermain untuk memanggil Mu'awiyah bin Abi Sufyan. Pada panggilan pertama, Ibn Abbas melaporkan bahwa Mu'awiyah sedang makan dan tidak bisa memenuhi panggilan Rasulllah. Pada panggilan yang kedua kalinya, Mu'awiyah juga sedang makan. Kemudian waktu itu Rasulullah mendoakannya. Doa ini diriwayatkan oleh Muslim sebagai berikut, "Mudah-mudahan Allah tidak mengenyangkan perutnya".
Alhasil, doa, laknat Nabi atau apapun sebutannya itu pun diijabah Tuhan. Ketika Mu'awiyah menjadi penguasa, dia hampir tidak bisa berhenti makan. Bahkan ketika perutnya sudah besar dia masih terus ingin makan. Riwayat ini ada di Sahih Muslim kitab al-Birr wa al-Shilah.

>> Sahabat2 utama; Ali, Aisyah, Umar dengan Abu Hurairah
Ibnu Qutaibah menulis: ‘Dan mengherankan sikap mereka (para ahli hadis)? mereka menyebut Abu Hurairah sebagai pembohong tetapi mereka tidak menulis mengenai Abu Hurairah sesuai dengan kesepakatan para ahli hadis. Yahya bin Mu’in dan Ali Ibnu al­Madini dan orang­orang seperti mereka menolak Hadis Abu Hurairah, tapi anehnya orang tetap saja berhujah dengan hadis Abu Hurairah yang tidak akur dan serasi dengan seorang pun dari para sahabat dan telah dianggap sebagai pembohong oleh Umar, Utsman dan Aisyah.’
Ibnu Qutaibah melukiskan hubungan Aisyah dengan Abu Hurairah: ‘Engkau menyampaikan hadis yang tidak kudengar dari Nabi saw’. Demikianlah kata­kata Aisyah yang ditujukan kepada Abu Hurairah. Abu Hurairah menjawab dengan jawaban yang tidak beradab dan tanpa hormat, seperti diriwayatkan oleh Bukhari, Ibnu Sa’ad, Ibnu Katsir dan lain­lain: ‘Engkau (terlalu) sibuk dengan cermin dan tempat celak!’. Dan di bagian lain ia berkata kepada Aisyah: ‘Aku tidak disibukkan oleh cermin dan tempat celak serta pewarna, tetapi aku melihat Anda demikian’. Dan diriwayatkan oleh Dzahabi bahwa Aisyah berkata kepada Abu Hurairah: ‘Keterlaluan Abu Hurairah, berlebihan yang engkau sampaikan tentang Rasul Allah!’. Dan Abu Hurairah menjawab: ‘Aku tidak disibukkan oleh cermin dan tidak oleh tempat celak dan tidak juga dengan alat pemoles (yang menjauhkan aku dari Rasul Allah)!’
Dan Aisyah menjawab: ‘Engkaulah yang sibuk mengurus perutmu, dan kerakusanmu membuat engkau terbirit-­birit pergi dari Rasul Allah dan bergegas (bersembunyi) di belakang orang­orang, mengetuk rumah meminta­minta makanan untuk memenuhi perutmu yang lapar sehingga mereka lari dan menjauhimu. Kemudian engkau jatuh pingsan di depan kamarku dan orang mengira engkau gila dan mereka menginjak­injak lehermu.

Di samping itu Umar memecatnya dari kedudukannya sebagai gubernur Bahrain karena menuduhnya sebagai pencuri. Ibnu Abd Rabbih menulis pada bagian awal jilid pertama bukunya ‘Iqd al­Farid. “Umar kemudian memanggil Abu Hurairah dan berkata kepadanya: ‘Aku tahu tatkala aku mengangkatmu jadi gubernur di Bahrain, sandal pun engkau tidak punya. Kemudian sampai berita kepadaku bahwa engkau membeli kuda­kuda seharga seribu enam ratus dinar’. Abu Hurairah: ‘Kami memiliki kuda kemudian beranak-pinak dan aku mendapat hadiah beruntun’. Umar: ‘Aku telah perhitungkan penghasilanmu dan rizkimu dan kelebihan ini harus kau kembalikan!’. Abu Hurairah: ‘Kamu tidak berhak untuk mengambilnya!’. Umar: ‘Ya, demi Allah aku harus ambil! Dan aku akan pukul punggungmu!’ Kemudian ia mengambil pecut dan memukulnya sampai berdarah! “Kemudian Umar berkata: ‘Bawa kemari uang itu!’ Abu Hurairah: ‘Aku menganggap harta yang engkau ambil itu di jalan Allah!” Umar: ‘Ya, kalau engkau mengambil itu dari yang halal dan engkau laksanakan di jalan yang benar! Apakah engkau datang dari Bahrain mengambil pajak untuk dirimu dan bukan karena Allah dan bukan untuk kaum Muslimin? Kau tidak punya keahlian apa­apa kecuali mengangon unta!’ Di bagian lain Abu Hurairah meriwayatkan dalam buku yang sama: ‘Abu Hurairah menerangkan: ‘Ketika aku diberhentikan oleh Umar dari Bahrain, Umar berkata kepadaku: ‘Ya musuh Allah dan musuh Kitab­Nya, engkau mencuri harta Allah? Aku menjawab: ‘Aku bukan musuh Allah dan musuh KitabNya! Tapi aku adalah musuh yang memusuhimu! Dan aku tidak mencuri harta Allah!’ Umar: ‘Dari mana engkau kumpulkan uang yang sepuluh ribu?’ Abu Hurairah: ‘Kuda beranak pinak dan aku telah mendapat hadiah beruntun dan keuntungan susul menyusul, Umar menyitanya dariku! Dan setelah shalat subuh aku mintakan pengampunan untuk Amirul mukminin!’.

>> Ali dengan Mu'awiyah cs
Az­Zamakhsyari dalam Rabi’al­Abrar dan Suyuthi menceritakan: ‘Di zaman Umayyah lebih dari 70.000 mimbar digunakan untuk melaknat Ali bin Abi Thalib’. Mimbar­mimbar ini menyebar di seluruh wilayah dari ufuk Timur ke ufuk Barat. Al­Hamawi berkata: Ali bin Abi Thalib dilaknat di atas mimbar­mimbar masjid dari Timur sampai ke Barat kecuali masjid jami’ di Sijistan”. Di masjid ini hanya sekali terjadi khatib melaknat Ali. Tetapi pelaknatan di mimbar Haramain, Makkah dan Madinah, berjalan terus’.

Mughirah bin Syu’bah yang jadi gubernur di Kufah menyuruh jemaah masjid mengutuk Ali dengan kata­kata: ‘Wahai manusia, pemimpinmu menyuruh kepadaku untuk melaknat Ali, maka kamu laknatilah dia’. jemaah berteriak ‘Mudah­mudahan Allah melaknati dia!’. Tetapi dalam hati, yang mereka maksudkan dengan ‘dia’ adalah Mughirah. Pelaknatan Mughirah terhadap Imam Ali dilakukan terus menerus. Sekali ia mengatakan dalam khotbahnya: ‘Sesungguhnya Rasul Allah saw tidak menikahkan putrinya dengan Ali karena Rasul menyukai Ali, tetapi untuk memperbaiki hubungannya dengan keluarga Abu Thalib’. Pada suatu ketika ia ditegur sahabat Zaid bin Arqam: ‘Hai Mughirah, apakah engkau tidak tahu bahwa Rasul saw melarang mencerca orang yang sudah mati? Tidakkah engkau melaknat Ali dan ia sudah meninggal?

Amir bin Sa’ad bin Abi Waqqash yang berkata: Mu’awiyah berkata kepada Sa’d: ‘Apa yang menghalangimu melaknat Abu Turab?’. Sa’ad menjawab: ‘Ada tiga hal yang diucapkan RasulAllah saw sehingga aku tidak akan pernah mencacinya, karena bila saja aku mendapat satu dari tiga keutamaan itu aku lebih suka dari pada memiliki harta apa saja yang paling berharga. Kemudian ia menyebut hadis al-­Manzilah, ar-­Rayah (bendera) dan al-­Mubahalah.
Dalam lafal Thabari: ‘Tatkala Mu’awiyah naik haji, ia berthawaf bersama Sa’ad dan setelah selesai, Mu’awiyah pergi ke Dar an­Nadwah dan mengajak Sa’ad duduk bersama di ranjangnya (sarir) dan Mu’awiyah mulai memaki Ali, Sa’ad bangkit dan berkata: ‘Engkau mengajak aku duduk bersama di ranjangmu kemudian engkau memaki Ali, demi Allah bila aku dapat satu saja yang didapat Ali aku lebih suka dari apa yang dapat didatangkan matahari’? sampai ia selesai mengemukakan hadis dan Sa’ad bicara: ‘Demi Allah aku tidak akan memasuki rumahmu!’
Meskipun Sa’d bin Abi Waqqash tidak mau membaiat Ali, tetapi ia tidak dapat berdiam diri dan menegur Mu’awiyah. Bila ada Sa’ad, satu dari enam anggota Suyura, Muawiyah tidak berani melaknat Ali. Tatkala ia akan berkhotbah di masjid Nabi dan akan melaknat Ali, Sa’ad berkata: ‘Bila engkau melaknat Ali aku pasti keluar dari masjid’. Sa’ad bin Abi Waqqash, setelah meninggalnya Utsman, hidup menyendiri. Pertemuannya dengan Mu’awiyah hampir selalu terjadi di masjid. Ia memanggil Mu’awiyah sebagai raja dan bukan khalifah. Setelah Ali meninggal, hanya ia seorang diri lagi yang anggota syura dan selalu mengatakan kesalahannya tidak membaiat Ali. ‘Saya telah mengambil keputusan yang salah. Dan tatkala orang menyalahkannya karena tidak mau mendukungnya memerangi Ali ia berkata: ‘Saya menyesal tidak memerangi al­fi’ah al­bighiah, kelompok pemberontak (yaitu Mu’awiyah).
Demikian pula dengan Abdullah bin Umar, meski tidak membaiat kepada Ali pada akhirnya berkata: ‘Saya tidak pernah menyesal hidup di dunia, kecuali tidak berperang bersama Ali bin Abu Thalib melawan kelompok pemberontak sebagaimana diperintahkan Allah’.

Pada satu hari Muawiyah sedang duduk-duduk dengan teman-temannya. Ahnaf bin Qais juga hadir. sementara itu seorang Syria datang lalu berpidato. pada akhir pidatonya ia mencerca Ali. mendengar itu Ahnaf berkata kepada Muawiyah, tuan! bila orang ini mengetahui bahwa anda akan merasa senang bila para Nabi dikutuk maka ia pun akan mengutuk mereka. Takutlah kepada Allah dan janganlah mengusik-usik Ali lagi. Ia sudah menemui Tuhannya. ia sekarang sendirian di kuburnya dan hanya amalnya yang menyertainya. Saya bersumpah demi Allah bahwa pedangnya sangat suci dan pakaiannya pun sangat bersih dan rapi, tragedi yang menimpanya besar.
Muawiyah berkata, "Hai Ahnaf! engkau telah menaburkan debu ke mata saya dan berkata sesukamu. Demi Allah, engkau harus naik ke mimbar dan melaknat Ali. bila engkau tidak melaknatnya dengan sukarela maka engkau akan dipaksa melakukannya. Ahnaf menjawab, "Sebaiknya anda memaafkan saya dari melakukannya. namun meskipun anda memaksa saya, saya tetap tidak akan mengucapkajn kata-kata semacam itu. lalu Muawiyah menyuruhnya naik ke mimbar. Ahnaf berkata, Bila saya naik ke mimbar maka saya berlaku jujur. Muawiyah berkata, Bila engkau jujur, apa yang akan kau ucapkan? Ahnaf menjawab, "setelah naik ke mimbar maka saya akan memuji Allah lalu berkata begini, "Wahai manusia! Muawiyah telah menyuruh saya untuk mengutuk Ali. Tiada ragu bahwa Ali dan Muawiyah saling bermusuhan. Masing-masing mengaku bahwa pihaknya yang telah dizalimi. Oleh karena itu bila saya berdoa, hendaklah anda sekalian mengamininya" lalu saya akan berkata, "Ya Allah! Kutuklah salah satu dari kedua orang ini yang durhaka, dan biarkanlah para malaikat, nabi-nabi serta seluruh makhluk-Mu mengutuknya. Ya Allah! Limpahkanlah kutukan-Mu kepada kelompok pendurhaka. Wahai hadirin, ucapkanlah Amin. Wahai Muawiyah, saya tidak akan mengucapkan apa-apa selain kata-kata ini, walaupun saya harus kehilangan nyawa saya. Muawiyah menjawab, "Ya, kalau bbegitu aku memaafkanmu (dia naik ke mimbar dan mengutuk).

Mengenai alasan pelaknatan Ali bin Abi Thalib, dapat dijelaskan dengan riwayat dari Umar Bin Abd al-Aziz berikut ini: Pada waktu itu ayahku adalah gubernur di Makkah. Aku mendengar ayahku bicara lancar sampai pada saat ia melaknat Ali dan suaranya jadi tidak jelas, terbata­bata dan menyesakkan, hanya Allah yang tahu. Dan aku terheran­heran melihat yang demikian itu. Maka suatu hari aku bertanya kepadanya: ‘Wahai ayah, engkau berkhotbah begitu fasih dan lancar, belum pernah aku lihat engkau berkhotbah begitu baik, tetapi setelah engkau sampai pada melaknat lelaki itu engkau lalu tergagap-­gagap tidak karuan. ‘Ayahku menjawab: ‘Wahai anakku, andaikata orang Syam atau siapa saja yang berada di bawah mimbar mengetahui keutamaan lelaki ini seperti yang diketahui ayahmu ini, maka tiada seorang pun akan mengikuti kita”.

>>Amr bin Hamaq vs Mua'wiyah
Orang pertama yang dipenggal kepalanya oleh Mu’awiyah adalah Amr bin Hamaq sebagai Syi’ah Ali yang turut mengepung rumah Utsman dan dituduh membunuh Utsman dengan 9 tusukan. Ia melarikan diri ke Mada’in bersama Rifa’ah bin Syaddad dan terus ke Mosul. Ia ditangkap dan gubernur Mosul Abdurrahman bin Abdullah bin Utsman mengenalnya. Ia mengirim surat ke Mu’awiyah. Mu’awiyah menjawab seenaknya: “Ia membunuh Utsman dengan tusukan dengan goloknya (masyaqish) dan kita tidak akan bertindak lebih, tu suklah dia dengan sembilan tusu kan”. Setelah ditusuk ­baru tusukan pertama atau kedua, kelihatannya ia sudah mati­ kepalanya dipenggal dan dikirim ke Syam, diarak kemudian diserahkan kepada Mu ’awiyah dan Mu’awiyah mengirim kepala ini kepada istrinya Aminah binti al­Syarid yang sedang berada di penjara Mu’awiyah. Kepala itu dilemparkan ke pangkuan istrinya. Istrinya meletakkan tangannya di dahi kepala suaminya kemudian mencium bibirnya berkata:
Mereka hilangkan dia dariku amat lama,
Mereka bunuh dan sisakan untukku kepalanya,
Selamat datang, wahai hadiah,
Selamat datang, wahai wajah tanpa roma.
‘Amr bin Hamaq adalah orang pertama dalam sejarah Islam yang kepalanya dipenggal dan diarak dari kota ke kota, lihat Ibn Qutaibah, Al­Ma’ar if, hlm. 127; Al­Isti’ab, Jilid 2, hlm. 404; Al­Ishabah, jilid 2, hlm. 533; Ibn Katsir, Tarikh, jilid 8, hlm. 48.

>> Asy’ats bin Qais al­Kindi
Asy’ats bin Qais al­Kindi, yang dinamakan munafik tingkat tinggi nomor dua sesudah Abdullah bin Ubay bin Salut oleh Muhammad ‘Abdu. Ia menjadi murtad tatkala RasulAllah saw wafat, yaitu tatkala Abu Bakar jadi khalifah. Pemberontakan terjadi di kawasan Hadhramaut. Pemberontak akhirnya terkepung dalam benteng An­Nujair. Suatu malam secara sembunyi­sembunyi Asy’ats bin Qays keluar benteng menemui Ziyad dan Muhajir yang mengepung benteng itu, dan bersekongkol dengan mereka bahwa apabila mereka memberi perlindungan kepada sembilan orang keluarganya, maka ia akan membuka benteng itu. Mereka menerima ketentuan itu dan meminta ia menuliskan nama kesembilan anggota yang dimaksud. Ia khilaf dan tidak menuliskan namanya sendiri. Ia lalu menyelinap masuk ke dalam benteng dan mengatakan kepada penghuni benteng bahwa ia telah mendapatkan perlindungan bagi mereka dan supaya pintu benteng dibuka. Alangkah kaget teman­temannya tatkala Ziyad menunjukkan sembilan nama yang disepakati Asy’ats bin Qays. Asy’ats juga terkejut karena namanya tidak tercantum dalam daftar yang ia tulis. Asy’ats bin Qays tidak dibunuh. Ia minta bertemu Abu Bakar dan diluluskan. Sepanjang perjalanan ke Madinah, sekitar seribu kaum wanita yang juga dibelenggu mengutuknya sebagai pengkhianat dan penjerumus kaumnya. Sekitar delapan ratus orang dibunuh dalam benteng itu karena perbuatannya. Setelah tiba di Madinah, Abu Bakar bukan saja tidak membunuhnya malah mengawinkannya dengan adik perempuannya Umm Farwah binti Abi Quhafah yang kemudian melahirkan tiga orang anak, yaitu Muhammad , Ismail dan Ishaq. Asy’ats bin Qays ini juga yang bersekongkol dalam pembunuhan Imam Ali di kemudian hari. Putrinya, Ja’dah binti Asy’ats, membunuh Imam Hasan bin Ali bin Abi Thalib, suami nya sendiri. Mu’awiyah menjanjikan seratus ribu dinar dari Mu’awiyah dan akan dikawinkan dengan Yazid bila Ja’dah meracuni suaminya, yang kemudian dilakukannya. Puteranya dari Farwah binti Abi Quhafah di atas, yaitu Muhammad bin Asy’ats bin Qays terkenal karena mencurangi Muslim bin Aqil yang diutus Husain ke Kufah dan turut dalam pembunuhan Imam Husain di Karbala. Meskipun demikian ia termasuk di antara orang-­orang yang meriwayatkan hadis­hadis oleh Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa’i, dan Ibnu Majah.

>>Ali vs Abu Bakar, Umar cs
Kedua surat dibawah ini dimuat Nashr bin Muzahim dalam Kitabnya Waq’ah Shiffin dan Mas’udi dalam kitabnya Muruj adz­Dzahab dan telah diisyaratkan oleh Thabari dan Ibnu Atsir sebagai surat yang ditulis tahun 36 Hijriah, yaitu tatkala Muhammad bin Abu Bakar menjadi Gubernur di Mesir di zaman kekhalifahan Ali. Thabari melaporkan peristiwa ini dengan tidak menyebutkan isi surat dibawah ini dengan alasan "supaya orang banyak tidak resah mendengarkannya".
Yang menarik dari kedua surat ini adalah kritik Mu’awiyah terhadap pembaiatan Abu Bakar di Saqifah. Mu’awiyah berkeyakinan bahwa Abu Bakar dan Umar mengetahui betul tuntutan Ali. Di pihak lain yang membuat kedua surat ini lebih menarik adalah pernyataan Muhammad bin Abu Bakar tentang Ali sebagai pemegang wasiat dan pewaris Rasul yang tidak dibantah Mu’awiyah.
Berikut isi Surat tersebut:

Surat Muhammad bin Abu Bakar kepada Mu’awiyah:

Bismillahirrahmanirrahim.

Dari Muh ammad bin Abu Bakar.
Kepada si tersesat Mu’awiyah bin Shakhr.

Salam kepada penyerah diri dan yang taat kepada Allah!

Amma ba’du, sesungguhnya Allah SWT, dengan keagungan dan kekuasaan-Nya, mencipta makhluk­Nya tanpa main­main. Tiada celah kelemahan dalam kekuatan­Nya. Tidak berhajat Ia terhadap hamba­Nya. Ia mencipta mereka untuk mengabdi kepada­Nya.
Ia menjadikan mereka orang yang tersesat atau orang yang lurus, orang yang malang dan orang yang beruntung.
Kemudian, dari antara mereka, Ia Yang Mahatahu memilih dan mengkhususkan Muhammad saw dengan pengetahuan ­Nya. Ia jualah yang memilih Muhammad saw berdasarkan ilmu­Nya sendiri untuk menyampaikan risalah­Nya dan mengemban wahyu­Nya. Ia mengutusnya sebagai Rasul dan pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan.
Dan orang pertama yang menjawab dan mewakilinya, menaatinya, mengimaninya, membenarkannya, menyerahkan diri kepada Allah dan menerima Islam sebagai agamanya ­adalah saudaranya dan misannya Ali bin Abi Thalib­ yang membenarkan yang ghaib. Ali mengutamakannya dari semua kesayangannya, menjaganya pada setiap ketakutan, membantunya dengan dirinya sendiri pada saat­saat mengerikan, memerangi perangnya, berdamai demi perdamaiannya, melindungi Rasul dengan jiwa raganya siang maupun malam, menemaninya pada saat­saat yang menggetarkan, kelaparan serta dihinakan. Jelas tiada yang setara dengannya dalam berjihad, tiada yang dapat menandinginya di antara para pengikut dan tiada yang mendekatinya dalam amal perbuatannya.
Dan saya heran melihat engkau hendak menandinginya! Engkau adalah engkau! Sejak awal Ali unggul dalam setiap kebajikan, paling tulus dalam niat, keturunannya paling bagus, isterinya adalah wanita utama, dan pamannya (Ja’far) syahid di Perang Mu ’tah. Dan seorang pamannya lagi (Hamzah) adalah penghulu para syuhada perang Uhud, ayahnya adalah penyokong Rasul Allah saw dan isterinya.
Dan engkau adalah orang terlaknat, anak orang terkutuk. Tiada hentinya engkau dan ayahmu menghalangi jalan Rasul Allah saw. Kamu berdua berjihad untuk memadamkan nur Ilahi, dan kamu berdua melakukannya dengan menghasut dan menghimpun manusia, menggunakan kekayaan dan mempertengkarkan berbagai suku. Dalam keadaan demikian ayahmu mati. Dan engkau melanjutkan perbuatannya seperti itu pula.
Dan saksi­saksi perbuatan Anda adalah orang­orang yang meminta-­minta perlindungan Anda, yaitu dari kelompok musuh Rasul yang pemberontak, kelompok pemimpin­pemimpin yang munafik dan pemecah belah dalam melawan Rasul Allah saw.
Sebaliknya sebagai saksi bagi Ali dengan keutamaannya yang terang dan keterdahuluannya (dalam Islam) adalah penolong­penolongnya yang keutamaan mereka telah disebut dalam Al­ Qur’an, yaitu kaum Muhajirin dan Anshar. Dan mereka itu merupakan pasukan yang berada di sekitarnya dengan pedang­pedang mereka dan siap menumpahkan darah mereka untuknya. Mereka melihat keutamaan pada dirinya yang patut ditaati, dan malapetaka bila mengingkarinya.
Maka mengapa, hai ahli neraka, engkau menyamakan dirimu dengan Ali, sedang dia adalah pewaris (warits ) dan pelaksana wasiat (Washi) Rasul Allah saw, ayah anak­anak (Rasul), pengikut pertama dan yang terakhir menyaksikan Rasul, teman berbincang, penyimpan rahasia dan serikat Rasul dalam urusannya. Dan Rasul memberitahukan pekerjaan beliau kepadanya, sedang engkau adalah musuh dan anak dari musuh beliau.
Tiada peduli keuntungan apa pun yang kau peroleh dari kefasikanmu di dunia ini dan bahkan Ibnu ’l­Ash menghanyutkan engkau dalam kesesatanmu, akan tampak bahwa waktumu berakhir sudah dan kelicikanmu tidak akan ampuh lagi. Maka akan jadi jelas bagimu siapa yang akan memiliki masa depan yang mulia. Engkau tidak mempunyai harapan akan pertolongan Allah, yang tidak engkau pikirkan.
Kepada­Nya engkau berbuat licik. Allah menunggu untuk menghadangmu, tetapi kesombonganmu membuat engkau jauh dari Dia.

Salam bagi orang yang mengikuti petunjuk yang benar.

Jawaban Mu’awiyah kepada Muhammad bin Abu Bakar:

Dari Mu ’awiyah bin Abu Sufyan.

Kepada Pencerca ayahnya sendiri, Muhammad bin Abu Bakar .

Salam kepada yang taat kepada Allah.

Telah sampai kepadaku suratmu, yang menyebut Allah Yang Mahakuasa dan Nabi pilihan­Nya dengan kata­kata yang engkau rangkaikan. Pandanganmu lemah. Engkau mencerca ayahmu. Engkau menyebut hak Ibnu Abi Thalib dan keterdahuluan serta kekerabatannya dengan Nabi Allah saw dan bantuan serta pertolongannya kepada Nabi pada tiap keadaan genting.
Engkau juga berhujah dengan keutamaan orang lain dan bukan dengan keutamaanmu. Aneh, engkau malah mengalihkan keutamaanmu kepada orang lain.
Di zaman Nabi saw, kami dan ayahmu telah melihat dan tidak memungkiri hak Ibnu Abi Thalib. Keutamaannya jauh di atas kami.
Dan Allah SWT memilih dan mengutamakan Nabi sesuai janji­Nya. Dan melalui Nabi Ia menyampaikan dakwah­Nya dan memperoleh hujah­Nya. Kemudian Allah mengambil Nabi ke sisi­Nya.
Ayahmu dan Faruq­nya (Umar ) adalah orang­orang pertama yang merampas haknya (ibtazza). Hal ini diketahui umum.
Kemudian mereka mengajak Ali membaiat Abu Bakar tetapi Ali menunda dan memperlambatnya. Mereka marah sekali dan bertindak kasar. Hasrat mereka bertambah besar. Akhirnya Ali membaiat Abu Bakar dan berdamai dengan mereka berdua.
Mereka berdua tidak mengajak Ali dalam pemerintahan mereka. Tidak juga mereka menyampaikan kepadanya rahasia mereka, sampai mereka berdua meninggal dan berakhirlah kekuasaan mereka.
Kemudian bangkitlah orang ketiga, yaitu Utsman yang menuruti tuntunan mereka. Kau dan temanmu berbicara tentang kerusakan­kerusakan yang dilakukan Utsman agar orang­orang yang berdosa di propinsi­propinsi mengembangkan maksud­maksud buruk terhadapnya dan engkau bangkit melawannya. Engkau menunjukkan permusuhanmu kepadanya untuk mencapai keinginan-­keinginanmu sendiri.
Hai putra Abu Bakar, berhati­hatilah atas apa yang engkau lakukan. Jangan menempatkan dirimu melebihi apa yang dapat engkau urusi. Engkau tidak akan dapat menemukan seseorang yang mempunyai kesabaran yang lebih besar dari gunung, yang tidak pernah menyerah kepada suatu peristiwa. Tak ada yang dapat menyamainya.
Ayahmu bekerja sama dengan dia dan mengukuhkan kekuasaannya. Bila kaum katakan bahwa tindakanmu benar, (maka ketahuilah) ayahmulah yang mengambil alih kekuasaan ini dan kami menjadi sekutunya. Apabila ayahmu tidak melakukan hal ini, maka kami tidak akan sampai menentang anak Abu Thalib dan kami akan sudah menyerah kepadanya.
Tetapi kami melihat bahwa ayahmu memperlakuk an dia seperti ini di hadapan kami, dan kami pun mengikutinya; maka cacat apa pun yang akan kau dapatkan, arahkanlah itu kepada ayahmu sendiri, atau berhentilah dari turut campur.

Salam bagi dia yang kembali.

>> Abu Dzar dengan Muawiyah
Ketika Abu Dzar "disuruh" Uthman untuk ke Syria, ia malah melihat kegiatan Muawiyah lebih buruk dari Uthman dan Marwan. dan tak henti-hentinya ia berdakwah dan menegur ketidakberesan dalam pemerintahan Uthman. Ia pun dipanggil Muawiyah, Muawiyah berkata, Wahai musuh Allah! engkau menghasut orang menentang aku dan berbuat sesukamu. Apabila aku sampai membunuh sahabat nabi tanpa izin khalifah maka engkaulah orangnya." Abu Dzar pun menjawab, "Saya bukan musuh Allah atau nabi-Nya. Justru kau dan ayahmulah yang musuh Allah. Kamu berdua masuk Islam secara lahiriah, sementara kekafiran masih tersembunyi dalam hatimu." Ia tidak memperdulikan ancaman Muawiyah dan terus berdakwah kepada masyarakat Syria. Muawiyah lantas melaporkan kegiatan Abu Dzar pada Uthman.

>> Abu Dzar dengan Uthman
Tatkala Abu Dzar memprotes kemewahan hidup Muawiyah di Syria. Muawiyah lapor ke Uthman dan Uthman pun "memanggil" Abu Dzar ke Madinah disertai tentara dan menunggang unta yang pelananya tidak diberi alas. Ketika Uthman melihat Abu Dzar, ia langsung memprotes kegiatan sahabat nabi ini. Abu Dzar menjawab, Saya mengharapkan kebaikan bagi anda, tetapi anda malah menipu saya. begitu pula, saya mengharapkan kebaikan teman anda (Mu'awiyah) tetapi ia pun menipu saya.
Uthman berkata, engkau pembohong, engkau hendak menimbulkan kerusuhan. engkau menghasut seluruh rakyat Syria menentang kami.
Abu Dzar menjawab, Anda harus mengikuti langkah-langkah Abu Bakar dan Umar. apabila anda berbuat demikian tak akan ada orang yang mengatakan sesuatu terhadap anda.
Uthman menjawab, Semoga ibumu mati! Apa hubungan anda dengan urusan ini?
Abu Dzar menjawab, Sepanjang menyangkut diri saya, tak ada pilihan selain menyuruh manusia berbuat baik dan mencegah mereka dari kejahatan.
Tak bisa membendung amar makruf nahi munkar Abu Dzar, Uthman akhirnya kemudian membuang Abu Dzar ke Rabadzah, daerah tandus yang tidak dihuni manusia, hewan, maupun ditumbuhi tanaman. Ia juga melarang masyarakat menyaksikan kepergiannya. Orang tak berani mengantarnya, kecuali lima orang; Ali, Aqil, Hasan, Husein, serta Ammar bin Yasir.

>> Aisyah dengan Uthman
Dalam perjalanan pulang ke Madinah, Aisyah bertemu dengan Abd ibn Abi Salma, keluarga jauh dari pihak ibunya, yang menginformasikan kematian Uthman dan naiknya Ali sebagai Khalifah. Ibn Abi Salma menceritakan bahwa masyarakat Madinah telah menunggu selama delapan hari setelah kematian Uthman, sebelum mereka dengan bijak semua sepakat atas Ali bin Abi Thalib. Aisyah berseru, Langit akan runtuh ke bumi sebelum masalah ini diputuskan bagi sahabatmu (Ali). Bawa aku kembali ke Makkah! Ia kemudian menyatakan, Demi Allah, Uthman terbunuh secara tidak sah! Dan aku pasti akan menuntut balas atas darahnya. Ibn Abi Salma mengingatkannya bahwa Aisyahlah yang pertama menghasut masyarakat menentang Uthman dengan mengatakan, Bunuhlah Na'tsal (yaitu orang tua Yahudi berjenggot)itu, karena ia telah membuang iman / kafir. Aisyah menyatakan bahwa masyarakatlah, setelah membuat Uthman bertobat, yang kemudian membunuhnya secara tidak sah. Aku berbicara dan mereka berbicara, lanjutnya, tetapi ucapanku yang terakhir lebih baik daripada ucapanku yang pertama. lelaki itu menukas, Kamu memerintahkan kami membunuh imam dan kami menaatimu dan kami membunuhnya. namun, kami yakin bahwa pembunuhnya yang sebenarnya adalah orang yang memerintahkannya."

>> Abd Rahman bin Awf dengan Uthman
ketika terjadi penyelewengan dalam kekhalifahan Uthman, kaum muhajirin dan anshar dengan marah menuduh Abd Rahman bin Auf atas perilaku Uthman yang tidak dapat dipahami. kemudian Ibn Awf mencela Uthman dengan mengatakan, Aku mengutamakanmu dengan syarat bahwa kamu memperlakukan kami sesuai dengan praktik Abu Bakar dan Umar. namun, kamu berlawanan dengan keduanya, dan lebih menyukai keluarga dekatmu dan menempatkan mereka di leher kaum muslim. Uthman menjawab, Umar menjauhkan keluarga dekatnya demi ridha Tuhan, dan aku memberikan hadiah yang dermawan kepada keluarga dekatku juga demi ridha Tuhan. Abd Rahman menukas marah, Aku bersaksi kepada Allah bahwa aku tidak akan berbicara kepadamu setelah ini. Karena itulah, ketika Uthman menengoknya di ranjang kematiannya, ibn Awf memalingkan wajahnya ke tembok dan menolak berbicara dengan Uthman.

>> Abdullah bin Mas'ud dengan Uthman
Ketika terjadi ketidakberesan pada kekhalifahan Uthman bin Affan. Ia banyak mengeritik kebijakan Uthman. misalnya, ia pernah berkata, "Di mata Allah, Uthman tidak berharga walaupun sebesar bulu lalat." Walid bin Uqbah, Gubernur Kufah memberitahukan hal tersebut kepada Uthman, lalu Uthman memanggil Ibn Mas'ud ke Madinah. Ibn Mas'ud sampai di Madinah pada Jumat malam. ketika Uthman mengetahui kedatangannya, ia menyuruh rakyat berkumpul ke masjid lalu ia berkata, Lihatlah, sedang menuju kalian seekor binatang hina (kadal), yang menginjak-injak makanan, muntahan dan kotorannya. Ibn Mas'ud berkata, saya tidak seperti itu. Yang pasti saya adalah seorang sahabat Nabi saw. saya bersama beliau dalam perang Badar dan ikut serta dalam bayt Ridwan. Aisyah berteriak dengan keras dari rumahnya, Uthman! engkau mengucapkan kata-kata seperti itu kepada sahabat Nabi! Orang lain juga tidak menyukai kata-kata Uthman itu dan menyatakan kemarahannya. Atas perintah Uthman, para pegawainya dan budaknya mengusir Ibn Mas'ud keluar masjid dengan cara yang sangat kasar. mereka menyeretnya ke gerbang masjid dan melemparkannya ke tanah. lalu mereka memukulnya sehingga ia mengalami patah tulang, dan dari situ ia digotong ke rumahnya seperti orang yang sudah meninggal. selain itu Uthman juga menghentikan pemberian tunjangan yang biasa diterimanya dari baitul mal, memutus segala sumber rezekinya serta melarang orang menjenguknya. Pada saat akhirnya, Abdullah bin Mas'ud berpesan kepada Ammar supaya Uthman tidak melakukan solat jenazah ke atasnya nanti.

>> Ammar dengan Uthman
Diriwatakan bahwa ada kotak di baitul mal yang berisi perhiasan dan permata. Uthman mengambil perhiasan tersebut dari baitul mal dan memberikannya kepada salah seorang istrinya. masyarakat merasa keberatan atas tindakan Uthman itu dan mengeritiknya dengan keras sehingga Uthman menjadi berang. Kepada jamaah ia berkata di atas mimbar, Saya akan mengambil apa saja yang saya sukai dari harta rampasan perang dan saya tidak peduli bila ada yang tidak menyukainya. Atasnya Ali berkata, kalau begitu, anda akan dicegah dari berbuat begitu dan sebuah dinding akan didirikan antara anda dan baitul mal. Ammar berkata, Ya Allah saksikanlah bahwa saya adalah orang pertama yang tidak menyukai penyelewengan ini. Kemudian uthman berkata, hai Ammar, alangkah beraninya engkau berbicara melawan saya! tangkap dia!
Tiba-tiba Marwan berdiri seraya berkata kepada Uthman, Wahai Amirul Mukminin! Budak ini telah menghasut rakyat menentang anda. bila anda membunuhnya maka orang lain akan mendapat pelajaran. Ammar kemudian dipukuli ramai-ramai oleh tongkat Uthman dan anggota Bani Umayyah kemudian melemparkannya ke jalan saat tengah hujan lebat.

>> Thalhah bin Ubaidillah dengan Uthman
pada suatu kesempatan Ali mendatangi Thalhah dan melihat sekumpulan pemberontak berkumpul di sekelilingnya. Ia merasa bahwa Thalhah memegang peranan penting dalam pengepungan rumah Uthman dan berniat membunuhnya. Ali menegurnya, Wahai Thalhah! Apa yang anda lakukan kepada Uthman. Ali juga berusaha mencegah Thalhah melakukan kegiatannya namun Thalhah menolak nasihatnya. Ali kemudian pergi ke baitul mal hendak membukanya, tetapi tidak ada kuncinya. maka pintu baitul mal itu dibongkar atas perintahnya lalu ia membagi-bagikan semua uang yang ada disana kepada orang-orang yang dikumpulkan Thalhah untuk membunuh Uthman. Tatkala Uthman mengetahui peristiwa ini dia sangat senang dan menyadari bahwa tak seorang pun yang setulus, sesimpatik dan semahir Ali dalam menyelesaikan permasalahan muslimin.
Kemudian Thalhah mendatangi Uthman dan meminta maaf, lalu berkata, "Saya bertobat di hadapan Allah. Saya telah bertekad melakukan sesuatu tetapi Allah menggagalkannya". Uthman berkata, "Anda datang ke sini bukan sebagai orang yang bertobat, melainkan sebagai orang yang menjadi tak berdaya. semoga Allah menghukum anda!."

>> Abd Rahman bin Abu Bakar dengan Marwan bin Hakam
Ketika Marwan menjadi gubernur Muawiyah di Hijaz, ia meminta rakyat untuk membaiat Yazid. Abd Rahman bin Abu Bakar memprotes Marwan sambil berkata, Kalian menginginkan kekuasaan ini seperti kekuasaan Heraclius! Marwan marah dan menyuruh orang menangkap Abd Rahman. Ia lari ke kamar Aisyah, saudaranya. Marwan berkata, ayat al-Qur'an alladzi qala liwalidayhi uffin lakum turun tentang Abd Rahman. Mendengar tersebut, Aisyah berkata di balik hijab menolak asbab nuzul ayat tersebut.
(riwayat ini disebutkan di sahih Bukhari dengan mengaburkan perkataan Abd Rahman ke Marwan dalam kitab al-Tafsir bab alladzi qala liwalidayhi uff (surah al-Ahqaf))

>> Aisyah, Thalhah, Zubair dengan Usman bin Hunaif
Ketika Aisyah dengan pasukan jamalnya memaksa masuk Basrah pada suatu malam. mereka membunh banyak orang di masjid. kemudian mereka masuk ke rumah Usman bin Hunaif (gubernur Basrah) dan memperlakukannya dengan sangat buruk.
Thalhah dan Zubair sangat menyesali perlakuan pasukannya kepada Usman bin Hunaif karena dia pun salah seorang sahabat Nabi saw. Mereka menghadap Aisyah dan menyatakan kesedihan mereka atas kejadian tersebut. Sebagai jawabnya, Aisyah menginstruksikan supaya Usman bin Hunaif dibunuh. Tatkala perintah tersebut hampir dilaksanakan, seorang wanita berteriak histeris, Wahai ummu al-Mukminin! Demi Allah, kasihanilah anak Hunaif. hormatilah kedudukannya sebagai sahabat Nabi. Aisyah berpikir sejenak lalu berkata, "Baiklah, jangan bunuh dia, tetapi jadikan dia tawanan."
Namun salah seorang tentara Aisyah berkata, Pukullah dia keras-keras dan cabutlah janggutnya. para tentara kemudian memukulnya tanpa belas kasihan, mencabut rambut kepalanya, janggutnya, bulu matanya dan alisnya lalu memenjarakannya.

>> Khalid bin Walid dengan Umar
Singkat cerita Khalid membunuh Malik bin Nuwairi untuk memperoleh harta rampasan dan melecehkan kehormatan istrinya yang sangat cantik. tatkala kabar tersebut sampai kepada Abu Bakar, khalifah waktu itu merasa sedih dan mengucapkan, "Harta rampasan perang telah membuat orang-orang Arab serakah dan Khalid telah melanggar perintah saya."
Ketika Khalid menghadap Abu Bakar, ia membawa tiga anak panah di serbannya. Ketika Umar melihatnya, ia berkata, "wahai Musuh Allah! semua perbuatanmu ini adalah perbuatan munafik. Demi Allah, bila aku menguasaimu maka aku akan merajammu sampai mati. Ia lalu merenggut anak panah yang ada di serban Khalid lalu mematahkannya. Khalid tidak berani bicara apa-apa karena ia mengira bahwa Umar bertindak sesuai dengan perintah Abu Bakar.
Kemudian Khalid menemui Abu Bakar dan mengajukan dalih kepadanya. Abu Bakar percaya dan menerima alsan Khalid. Ketika mendengar berita ini, ia mendorong Abu Bakar untuk menghukum Khalid atas pembunuhan Malik. Abu Bakar berkata, "Wahai Umar! sebaiknya anda diam. Khalid bukan orang pertama yang melakukan kesalahan dalam masalah hukum."

dan banyak lagi riwayat lainnya, terutama sejak masa kekhalifahan Uthman. Semoga Tuhan merahmati kita semua.



Source: Wafat Rasulullah & Suksesi Sepeninggal Beliau di Saqifah, karya O. Hashem; The Crisis of Muslim History karya Mahmoud M. Ayoub; Suara Keadilan karya George Jordac; khulafa' rasyidin di antara nas dan ijtihad. di buku-buku tersebut anda akan menemukan rujukan primernya.

These icons link to social bookmarking sites where readers can share and discover new web pages.
  • Digg
  • Sphinn
  • del.icio.us
  • Facebook
  • Mixx
  • Google
  • Furl
  • Reddit
  • Spurl
  • StumbleUpon
  • Technorati