Archives

Dimana Rasulullah saw wafat?

Mungkin bagi netter yang suka gugling menemukan dua versi sekitar kewafatan Nabi Muhammad saw. Versi pertama yang dianut Sunni dan versi terakhir yaang diyakini Shi'i. Masing-masing mempunyai hadith utama yang sahih yaitu yang berasal dari para Ummu al-Mukminin. Kaum Sunni mendukung riwayat yang dilaporkan oleh Aisyah sedangkan Shi'i berdasarkan dari Ummu Salamah, dan berbagai riwayat dari jalur Ali, Ibn Abbas, Jabir bin Abdullah, bahkan dari Aisyah sendiri (lih. Ibn Asakir dalam tarikhnya J. 3: 15). Dalam versi Sunni Aisyah disebutkan bahwa Nabi wafat ketika berada di pangkuannya. Sedangkan versi Ummu Salamah menunjukkan bahwa sahabat terakhir yang tinggal bersama Rasulullah saw adalah Ali.
Dalam peristiwa ini tidak mungkin untuk membenarkan semuanya, pasti salah satunya bohong atau dipalsukan. Namun sebagian ulama mengkompromikan kedua hadith tersebut, misalnya di dalam kitab Fathul Bari, Ibn Hajar berkata: Kompromi (antara dua hadits tersebut) dapat dilakukan dengan menerangkan bahwa 'Ali adalah orang yang terakhir bersama Nabi, dan ia tidak meninggalkan Nabi, sampai Nabi pingsan. Ketika Nabi pingsan, ia mengira beliau telah wafat. Karena itu, 'Ali dari pihak laki-laki adalah orang terakhir yang menunggui Nabi. Namun kemudian Rasulullah saw sadar kembali ketika 'A'isyah datang. Lalu 'A'isyah menyandarkan Nabi di atas dadanya, dan Rasulullah menghembuskan nafasnya yang terakhir. Ahmad juga meriwayatkan sebuah hadits melalui saluran Yazid ibn Babanus: "Pada suatu hari kepala Rasulullah berada di atas pundakku tatkala beliau memiringkan kepalanya ke arah kepalaku. Aku kira beliau memerlukan kepalaku. Lalu terpercik setetes (ludah) dingin dari mulut beliau yang menimpa rongga dadaku. Aku gemetar, kukira beliau pingsan. Maka akupun menutupnya dengan baju". (Lihat Fathul Bari, jilid 8, hal. 139)
Menurut saya pengkompromian hadith tersebut tidak sepenuhnya benar karena bagaimana bisa Ali salah dalam mengira Nabi saw wafat atau pingsan? karena hampir semua sahabat tatkala menjenguk dan melihat Nabi -yang sudah wafat-, mengetahui bahwa Rasulullah benar-benar wafat. Kecuali Umar (sebagian ulama mengatakan Umar berakting) dengan mengatakan bahwa Nabi tidak wafat tetapi Nabi pergi dan akan kembali seperti Musa meninggalkan kaumnya, yang kemudian percaya bahwa Nabi saw benar-benar wafat tatkala Abu Bakar datang, padahal sebagian sahabat telah menyakinkan akan kewafatan Nabi saw.
Untuk mengetahui riwayat mana yang tertuduh palsu, direkayasa mungkin analisa rawi serta hubungannya dengan pelaku dalam riwayat tersebut. misalnya bagaimana hubungan Aisyah dengan Ummu Salamah, dst. Secara garis besar hubungan antara Nabi saw, Ali, serta para Ummu al-Mukminin, masing-masing tidaklah begitu berseberangan, meski ada sedikit masalah antara Nabi saw dengan kecemburuan Aisyah pada Sayyidah Khadijah. Setidaknya yang patut dicurigai adalah ketidaksukaan Aisyah kepada Ali karena sikap tersebut sudah ada sejak Nabi saw masih hidup. beberapa riwayat menceritakan bagaimana sikap Aisyah terhadap Ali, mis:

Imam Ahmad menceritakan yang berasal dari Nu’man bin Basyir, lihat dalam musnad penduduk Kufah: ‘Abu Bakar memohon izin menemui Rasul Allah saw dan ia mendengar suara keras Aisyah yang berkata: ‘Demi Allah, aku telah tahu bahwa engkau lebih mencintai Ali dari ayahku dan diriku!’, dan ia mengulanginya dua atau tiga kali’. kemudian Abu Bakar menasehati putrinya tersebut karena berkata lantang keras melebihi suara Nabi saw.

Tatkala sakit Rasul Allah bertambah berat, beliau dibawa ke masjid, dipapah oleh dua orang, yaitu Fadhl bin Abbas bin ‘Abdul Muththalib,
dan seorang lagi. Hadis ini diriwayatkan oleh Ubaidillah bin Abdullah bin ‘Utbah, dari Aisyah. Ubaidillah kemudian berkata: ‘Apa yang dikatakan oleh Aisyah kepadaku, kusampaikan kepada Abdullah bin Abbas, yang mengembalikan pertanyaan kepadaku: “Tahukah engkau siapa gerangan orang yang tidak disebutkan namanya oleh Aisyah?’ ‘Tidak’, jawabku. Dan kemudian menambahkan: ‘Sungguh, Aisyah tidak pernah merasa senang dengan segala berita baik mengenai Ali’.(Imam Ahmad bin Hanbal, dalam Musnad­nya, jilid VI, hlm. 23 dan 238; Ibnu Sa’d dalam Thabaqat, jilid 2, bab 2, hlm. 29; Thabari, dalam Tarikh­nya, (edisi Leiden) jilid 2, hlm. 1800­1801; Baladzuri, Ansab al­Asyraf, jilid 1, hlm. 544­545; Baihaqi, Sunan, jilid 2. hlm. 396 dll)

Imam Ahmad, dalam Musnad­nya, mengatakan bahwa tatkala orang datang kepada Aisyah dengan mencaci Ali bin Abi Thalib dan ‘Ammar bin Yasir, Aisyah berkata: ‘Aku tidak akan mengatakan apa pun mengenai Ali, sedang mengenai ‘Ammar aku telah mendengar Rasul Allah saw bersabda: ‘Ia tidak akan memilih akan dua urusan kecuali ia akan memilih yang lurus’

Dengan kebencian seperti itu tidak mustahil Aisyah memanipulasi -atau kemungkinan dijadikan sandaran- riwayat seputar kewafatan Nabi saw dengan dirinya, bukan dengan sahabat terbaik Nabi, Ali bin Abi Thalib. Wa Allah A'lam

Selanjutnya dalam proses pemakaman Nabi saw yang hampir tidak dihadiri mayoritas sahabatnya, termasuk Abu Bakar dan Umar karena "perebutan" kekuasaan. Hanya keluarga Rasul, termasuk Ali -yang tidak pernah meninggalkan Nabi saw ketika sakit karena menerima wasiat untuk mengurus jenazahnya- dan sebagian kecil sahabat yang mengebumikan jasad Rasulullah saw sebagaimana diriwayatkan berikut:

Aisyah berkata: ‘Kami tidak mengetahui penguburan Rasul sampai kami mendengar suara­suara gesekan di tengah malam Rabu’. (Ibnu Hisyam, Sirah, jilid 4, hlm. 344; Thabari, Tarikh, jilid 2, hlm. 452, 455 (terbitan Leiden, jilid 1, hlm. 1833, 1837); Ibnu Katsir, Tarikh, jilid 5, hlm. 270; Ibnu Atsir, Usdu’l­Ghabah, jilid 1, hlm. 34, dalam membicarakan Ar­Rasul disebut juga riwayat lain, bahwa terdengarnya suara gesekan dan bunyi keriak keriuk adalah pada malam Selasa, seperti dalam Thabaqat Ibnu Sa’d, jilid 2, Bab 2, hlm. 78 dan Tarikh Khamis, jilid 1, hlm. 191; sedang Dzahabi dalam Tarikh­nya, jilid 1, hlm. 327 menguatkan bahwa penguburan dilakukan pada akhir malam Rabu juga Musnad Ahmad, jilid 6, hlm. 62 dan pada hlm. 242 dan 274: “Kami tidak mengetahui di mana ia dikuburkan sampai kami mendengar..”)

Yang melakukan penguburan hanyalah keluarga Rasul, yaitu orang­orang yang memandikannya seperti Abbas, Ali, Fadhl dan Shalih (maula Rasul Allah) tiada orang lain.
‘Dan tiada yang mengurus (penguburan Rasul) kecuali keluarga dekatnya dan Banu Ghanm yang berada di rumah mereka telah mendengar suara keriat­keriut’.
Seorang tua kaum Anshar dari Banu Ghanm berkata: ‘Aku mendengar bunyi sesuatu yang bergesek pada akhir malam’. (Ibnu Sa’d, Thabaqat, jilid 2, Bab 2, hlm. 78)

‘Yang masuk ke liang kubur adalah Ali, Fadhl bin Abbas dan Qutsam bin Abbas serta Syuqran, (maula Qutsam). Dan ada yang menyebutkan juga Usamah bin Zaid. Merekalah yang membalikkan jenazah Rasul Allah saw, memandikan dan mengafaninya serta mengurus segala sesuatunya. Abu Bakar dan Umar tidak menghadirinya’. (Alauddin Muttaqi al­Hindi, Kanzu’l­Ummal, jilid 3, hlm. 14)



Source: Wafat Rasulullah & Suksesi Sepeninggal Beliau di Saqifah oleh O. Hashem; etc.

These icons link to social bookmarking sites where readers can share and discover new web pages.
  • Digg
  • Sphinn
  • del.icio.us
  • Facebook
  • Mixx
  • Google
  • Furl
  • Reddit
  • Spurl
  • StumbleUpon
  • Technorati

Siapa Pembantai Imam Husayn dan pengikutnya di Karbala?

Sampai hari ini, para pengikut Ibnu Taimiyah berusaha meyakinkan bahwa pembunuh Husein bin Ali adalah pengikut Syiah sendiri. Karena pada saat itu Syiah Ali banyak ditemui di Kufah dan merekalah yang memanggil Husein untuk datang ke Kufah dengan melayangkan ribuan surat kepada Husein as. Husein dikhianati oleh kaum Syiah, merekalah pembunuh Husein yang sebenarnya. Oleh karenanya, mereka meratapi kejadian Karbala karena penyesalan akan pengkhiatan kaumnya. Jadi kambing hitam atas tragedi Karbala adalah orang-orang Syiah.

Logika ini sama persis seperti yang dilakukan Amr bin Ash pendamping setia Muawiyah terhadap Imam Ali bin Abi Thalib as tentang peristiwa kesyahidan Ammar bin Yasir ra, sahabat Rasul dan pengikut setia Ali. Dikarenakan Rasulullah saww pernah bersabda –dalam hadis mutawatir- kepada Ammar; "sataqtuluka fiah baghiah" (engkau akan dibunuh oleh kelompok pendurhaka). Pada waktu perang Shiffin, perang antara kubu Amirulmukminin Ali as dan Muawiyah di daerah yang terkenal dengan sebutan Shiffin, di situ Ammar terbunuh. Kala itu, Ammar di pihak Amirulmukminin Ali as. Dengan terbunuhnya Ammar di pihak Ali, beberapa kaum pembela Muawiyah ingat sabda Rasul tadi, mereka pun bimbang. Untuk menghindari kebimbangan itu yang tentu akan mengurangi semangat bala tentaranya, Amr bin Ash penasehat setia Muawiyah mengatakan bahwa pembunuh Ammar adalah Ali. Dengan alasan, "jikalau Ali tidak memerangi Muawiyah niscaya Ammar tidak akan terbunuh". Karena ajakan Ali, Ammar terbunuh, berarti Ali-lah pembunuh Ammar. Logika yang lucu tapi nyata. Hanya manusia bodoh yang menerima logika semacam itu. Karena jika kita dipaksa menerima logika tersebut berarti kita harus menerima juga ungkapan bahwa pembunuh para sahabat Rasul adalah Rasul sendiri, karena Rasullah yang mengajak mereka berperang

Memang, saat itu kaum Syiah banyak ditemui di Kufah, namun tidak semua orang Kufah bermazhab Syiah. Tidak semua yang melayangkan surat ke Husein bin Ali adalah yang bermazhab Syiah. Mereka yang melayangkan surat juga termasuk orang yang mengakui kekhalifahan Syeikhain. Mereka turut melayangkan surat dikarenakan kecintaan mereka kepada keluarga Rasul dan kebencian mereka akan kezaliman. Bukankah yang mengajarkan kecintaan kepada keluarga Rasul bukan hanya khusus mazhab Syiah saja? Bukankah yang mengajarkan kebencian terhadap berbagai kezaliman bukan hanya dikhususkan mazhab Syiah saja? Atas dasar itulah, lantas ribuan surat melayang ke pangkuan Husein bin Ali as.

Mereka-mereka pencari kambing hitam peristiwa Karbala tidak tahu (jahil) –atau sengaja tidak mau tahu (keras kepala)- bahwa sebelum peristiwa Karbala, ribuan penduduk Kufah dibunuh oleh Ubaidillah bin Ziyad dengan bekerjasama dengan Nukman bin Basyir gubernur Kufah, bawahan Yazid. Pembunuhan itu atas perintah langsung dari Syam, pusat pemerintahan rezim Yazid. Perintah itu keluar setelah Yazid mendengar melalui mata-matanya bahwa penduduk Kufah banyak melayangkan surat kepada Husein. Selain pembunuhan juga dilakukan penangkapan besar-besaran penduduk Kufah, pendukung imam Husein. Dan intimidasi untuk menarik kembali baiat yang mereka layangkan kepada Husein di bawah ancaman mati di ujung pedang. Lantas, masihkah pengikut Ibnu Taimiyah terus akan mencari-cari kambing hitam itu? Ataukah mereka terus berusaha untuk selalu mencari jalan lain dalam rangka membela kaum durjana?

Berikut ini bukti-bukti bahwa penyerangan dan pembunuhan terhadap diri al-Husein as adalah atas perintah Yazid bin Mu’awiyah:

1. Suyuthi berkata: “Maka Yazid mengirm surat kepada gubernurnya di Irak, Ubaidullah bin Ziyad, agar memeranginya (al-Husein).” [Lihat: Suyuthi, “Tarikh al-Khulafa”, hal. 207].

2. Ibn Sa’ad mengatakan: “Kala itu Nu’man bin Basyir menjabat sebagai gubernur Kufah. Yazid khawatir bahwa Nu’man tidak berani menghadapi al-Husein. Sehingga kemudian ia mengirim surat kepada Ubaidullah bin Ziyad agar menjadi gubernur di Kufah, menggantikan Nu’man. Ia juga memerintahkan kepada Ubaidullah agar menghadapi al-Husein, dan agar segera mencapai Kufah sebelum didahului oleh al-Husein.” [Ibn Sa’ad, “Thabaqat”, seputar “Maqtal al-Husein”].

Mengenai kegembiraan Yazid atas terbunuhnya al-Husein as, berikut riwayatnya:

1. Ibn Atsir, ulama ahli rijal, yang terkenal dengan kitab rijal-nya “Usud al-Ghabah” mengatakan: “Yazid memberi izin kepada masyarakat untuk menemuinya, sementara kepala (al-Husein) berada di sisinya. Ia lalu memukuli mulut dari kepala tersebut, sembari mengucapkan syair.” [Lihat: Ibn Atsir, “Tarikh al-Kamil”, jilid 4, hal. 85].

Ibn Atsir mengatakan: “Ketika kepala al-Husein sampai ke hadapan Yazid, maka hal itu telah menggembirakan Yazid terhadap apa yang telah ia (Ibn Ziyad) lakukan. Hingga kemudian orang-orang masuk, menunjukkan kebencian kepadanya, melaknatnya, dan mencacinya. Karenanya, Yazid pun lalu menunjukkan penyesalan atas terbunuhnya al-Husein.” [Lihat: Ibn Atsir, “Tarikh al-Kamil”, jilid 4, hal. 87].

2. Ibn Katsir meriwayatkan dari Abu ‘Ubaidah Mua’mar bin al-Matsna, yang mengatakan: “Ketika Ibn Ziyad membunuh al-Husein dan orang-orang yang bersama beliau, ia lalu mengirimkan kepala-kepala tersebut kepada Yazid. Maka Yazid pun bergembira pada mulanya, dan menempatkan Ibn Ziyad di samping dirinya. Namun tak berapa lama kemudian, ia menunjukkan penyesalan.” [Lihat: Ibn Katsir, “Al-Bidayah wa al-Nihayah”, jilid 8, hal. 255].

3. Al-Qasim bin Abdurahman (salah seorang budak Yazid bin Mu’awiyah) berkata: “Tatkala kepala-kepala diletakkan di hadapan Yazid bin Mu’awiyah, yaitu kepala al-Husein, keluarga, dan para sahabat beliau. Ia (Yazid) berkata: “Sungguh kami telah membelah kepala seseorang dari para lelaki yang angkuh terhadap kami, yang mana mereka adalah orang-orang yang paling durhaka dan paling lalim.” [Lihat: Thabari, “Tarikh al-Umam wa al-Mulk”, jilid 6, hal. 391].

Al-Qasim bin Bukhait berkata: “Yazid lalu memberi izin orang-orang untuk masuk, sementara kepala (al-Husein) berada di hadapannya. Ia lalu memukul-mukul mulut dari kepala itu dengan tongkat seraya bersyair.” [Lihat: Thabari, “Tarikh al-Umam wa al-Mulk”, jilid 6, hal. 396-397].

Uwanah bin al-Hakam al-Kalbi berkata: “Ubaidillah lalu memanggil Muhaffiz bin Tsa’labah dan Syimr bin Dzil Jausyan dan berkata: “Berangkatlah dengan membawa perbekalan dan kepala untuk menghadap amirul mukminin Yazid bin Mu’awiyah.” Mereka lalu berangkat. Dan ketika sampai di istana Yazid, Muhaffiz berteriak dengan suara lantang: “Kami datang dengan membawa kepala manusia paling dungu dan keji.” Yazid pun berkata: “Ibu Muhaffiz tidak melahirkan seorang yang lebih keji dan lebih dungu darinya (al-Husein). Sedangkan ia (al-Husein) adalah seorang pemutus hubungan yang zalim.” Dan tatkala Yazid melihat kepala al-Husein, ia berkata: “Sungguh kami telah membelah kepala seseorang dari para lelaki yang angkuh terhadap kami, yang mana mereka adalah orang-orang yang paling durhaka dan paling lalim.” [Lihat: Thabari, “Tarikh al-Umam wa al-Mulk”, jilid 6, hal. 394-396; Ibn Atsir, “Tarikh al-Kamil”, jilid 4, hal. 84].

4. Para penulis sejarah ahlusunnah terkenal meriwayatkan: “Setelah diarak keliling kota, Ibn Ziyad (gubernur Kufah) mengirim kepala al-Husein as kepada Yazid bin Mu’awiyah di Syam (Damaskus). Saat itu bersama Yazid terdapat Abu Barzah al-Aslami. Lalu Yazid meletakkan kepala tersebut di hadapannya dan memukul-mukul mulut dari kepala itu dengan tongkat seraya bersyair. Abu Barzah lalu berkata: “Angkat tongkatmu! Demi Allah, aku kerap melihat Rasulullah mencium bibir itu.” [Lihat: Ibn Katsir, “Al-Bidayah wa al-Nihayah”, jilid 7, hal. 190; Al-Mas’udi, “Muruj al-Dzihab”, jilid 2, hal. 90-91; “Tarikh Thabari”, jilid 2, hal. 371; Ibn Atsir, “Tarikh al-Kamil”, jilid 4, hal. 85].



Dikumpulkan dari jawaban milis di http://groups.yahoo.com/group/Kajian_Islam/messages/352?o=1&xm=1&l=1

These icons link to social bookmarking sites where readers can share and discover new web pages.
  • Digg
  • Sphinn
  • del.icio.us
  • Facebook
  • Mixx
  • Google
  • Furl
  • Reddit
  • Spurl
  • StumbleUpon
  • Technorati

Buku-Buku Menarik

Buku Akhirnya kutemukan Kebenaran oleh Muhammad al-Tijani al-Samawi

Nahjul Balaghah Imam Ali as

Pendekatan Sunnah dan Syiah oleh Al-Marhum Al-Ustadz Husein Al-Habsyi

Buku Wafat Nabi dan Suksesi di Saqifah Oleh O.Hashem

Buku Dialog Sunnah-Syiah atao al-Murajaat, oleh Sharafuddin al-Musawi

KhulafaurRasyidin antara nas dan Ijtihad

Mengapa memilih Ahlu Bayt

Ahlu Bait menurut Hadith

Ahlu Bait menurut al-Qur'an

Kitab al-Kafi versi word

fikih Ringkasan untuk Sholat

Bocah Shi'i penghafal al-Qur'an (al-Qurannya juga sama). The Amazing Child

These icons link to social bookmarking sites where readers can share and discover new web pages.
  • Digg
  • Sphinn
  • del.icio.us
  • Facebook
  • Mixx
  • Google
  • Furl
  • Reddit
  • Spurl
  • StumbleUpon
  • Technorati

Meluruskan Peran Nashirudin al-Thusi

Nashirudin Al-Thusi (1200-1273 M), atau yang dikenal dengan Khawajah Nashir atau Khawajah al-Thusi, adalah salah seorang ulama besar syi’ah. Ia menulis banyak buku yang tidak hanya meliputi ilmu-ilmu agama, tetapi juga filsafat, matematika, dan astronomi. Karena kepandaiannya tersebut, akhirnya ia menjadi orang kepercayaan Hulagu Khan, penguasa Mongol yang berkuasa saat itu atas wilayah Iran dan sekitarnya.

Namun di kemudian hari, setelah peristiwa penaklukan Baghdad (10 Februari 1258 M/ 656 H) yang mengakhiri 500 tahun kekuasaan rezim dinasti Abbasiyah, muncul pernyataan bahwa al-Thusi berperan dalam peristiwa tersebut. Dan pendapat ini diwakili oleh tiga kelompok.

Kelompok pertama adalah kelompok non-syi’ah, yaitu pendapat Ibn Taimiyyah beserta para murid dan pengikutnya, seperti Ibn Qayyim al-Jauziyah, al-Subki, Khwand Mir, dan Ibn al-‘Imad. Ia mengatakan bahwa al-Thusi telah mendesak (menghasut) Hulagu untuk menaklukkan Baghdad. Bahkan kemudian ia mengecam al-Thusi dengan mengatakan bahwa ia tidak mengindahkan ajaran agama, menghina larangan syari’at, meninggalkan sholat, mengijinkan perzinaan, dan lain-lain[1]. Bahkan Ibn Qayyim menyebut Nashirudin al-Thusi sebagai “Nashir al-Syirk wa al-Kufr wa al-Ilhad” (penolong kesyirikan, kekufuran, dan ateisme), ia pun menuduhnya sebagai orang yang menolak sifat-sifat Allah, mempelajari ilmu sihir, menyembah berhala, dan lain-lain[2].

Kelompok Kedua, adalah kelompok orientalis Barat, seperti para penulis Cambridge History of Iran, Edward Browne, dan Arbery[3]. Mereka ini tentu saja terpengaruh oleh tuduhan Ibn Taimiyah dan murid-muridnya.

Kelompok Ketiga, adalah kelompok ulama syi’ah, yaitu al-Khwansari dan Qadi Nurullah al-Shustari. Mereka mendukung pendapat keterlibatan al-Thusi dan menyatakan bahwa tindakan al-Thusi adalah positif sebagai bentuk perlawanan atas penindasan rezim Abbasiyah[4].

Tetapi para peneliti sejarah syi’ah masa kini, seperti DR. Hairi dan Syaikh Rasul Ja’fariyan, menyangkal pendapat keterlibatan al-Thusi pada peristiwa jatuhnya Baghdad. Mereka menyatakan bahwa pendapat semua kelompok tersebut tidak disertai bukti-bukti dan argumen kuat, dengan kata lain pendapat-pendapat tersebut tidak berdasar. Pendapat Ibn Taimiyyah—yang hidup beberapa tahun setelah peristiwa itu—hanya didasarkan pada tendensi kebenciannya terhadap syi’ah. Sementara dukungan al-Khwansari dan al-Shustari—yang hidup 500 tahun setelah peristiwa itu—atas pendapat keterlibatan al-Thusi dikarenakan kebencian mereka terhadap rezim Abbasiyah[5].

Sementara itu, penyangkalan mereka (para peneliti) tersebut terhadap keterlibatan al-Thusi didasarkan pada bukti-bukti berikut:

1. Para saksi mata peristiwa penaklukan Baghdad tersebut dan para penulis sejarah yang hidup pada dekade setelahnya atau beberapa ratus tahun setelahnya tidak menyebut keterlibatan al-Thusi ketika menberitakan peristiwa penaklukan Baghdad tersebut. Bahkan ketika memberitakan sosok al-Thusi, hanya disinggung tentang kedalaman pengetahuannya atas beberapa bidang ilmu. Ini menunjukkan bahwa mereka menyangkal tuduhan keterlibatannya tersebut semenjak hal ini menjadi isu penting. Di antara mereka adalah: Minhaj Siraj (menulis bukunya tahun 1260 M), Ibn al-‘Ibn (w. 1286 M), Ibn Kazeruni (w. 1297), Ibn al-Fawti (menulis bukunya tahun 1259 M), Ibn al-Thiqthaqa (w. 1309 M), Ibn Syakir al-Qurtubi (w. 1362 M), al-Dzahabi (w. 1345 M), Suyuthi (w. 1505 M), dan lain-lain[6].

2. Sebagaimana yang telah disinggung sebelumnya, tuduhan Ibn Taimiyyah beserta para murid dan pengikutnya adalah tidak berdasar, karena tidak disertai dengan bukti-bukti dan argument kuat. Bahkan Ibn al-Imad al-Hanbali (salah seorang pengikut Ibn Taimiyyah) meragukan pendapat tersebut dengan menghalangi setiap penerimaan atas tuduhan mereka tentang keterlibatan al-Thusi[7]. Juga Ibn Katsir al-Hanbali (yang dianggap sebagai pengikut Ibn Taimiyyah) menentang tuduhan mereka tersebut, dengan mengatakan: “Khawajah memang berada dalam rombongan Hulagu selama peristiwa Baghdad. Beberapa orang menganggap bahwa Khawajah telah mendesak (menghasut) Hulagu untuk membunuh Khalifah. Namun, saya yakin bahwa tindakan seperti itu tidak akan dilakukan oleh seorang intelektual dan terpelajar”[8]. Ini membuktikan bahwa Ibn Katsir tidak mempercayai keterlibatan seorang intelektual dan terpelajar seperti al-Thusi dalam peristiwa penaklukan Baghdad tersebut.

3. Keberadaan al-Thusi dalam rombongan Hulagu ketika akan menaklukkan Baghdad, bukanlah bukti keterlibatan al-Thusi pada peristiwa tersebut. Melainkan ia khawatir akan keselamatan dirinya bila menolak ajakan Hulagu. Saat itu Hulagu sedang berada dalam puncak kemarahannya untuk menaklukkan Baghdad, sehingga ia tidak ingin ada yang menentangnya apapun alasannya, sebagaimana nasib Husam al-Din. Diberitakan oleh Rashid al-Din, bahwa Husam berusaha menghalangi Hulagu untuk menyerang Baghdad karena diperkirakan akan terjadi malapetaka yang akan menimpa Hulagu. Namun, Hulagu justru membunuhnya. Ini menandakan bahwa Hulagu tidak ingin dihalangi meskipun oleh orang terdekatnya sendiri (Husam), apapun alasannya. Sehingga kekhawatiran al-Thusi memang sangat beralasan[9]. Dan lagi mengapa yang dikecam hanya al-Thusi? Padahal dalam rombongan Hulagu juga terdapat banyak ulama sunni, seperti Syarafuddin Ibn al-Jauzi, yang merupakan orang kepercayaan khalifah[10]. Ini menandakan bahwa tuduhan terhadap al-Thusi tidak lain hanyalah karena kebencian terhadap syi’ah.

4. Baghdad, pada kenyataannya, telah menjadi target operasi Mongol sejak lama, jauh sebelum serangan Hulagu. Pada tahun 1237 M, Baghdad yang waktu itu diperintah oleh al-Muntasir Billah, telah diserang oleh Mongol yang dipimpin oleh Baychownian, tetapi gagal. Tahun 1245 M, Baghdad yang diperintah oleh al-Musta’shim, diserang oleh Mongol yang dipimpin oleh Bajaktai Yunior, namun gagal lagi. Dan pada tahun 1249 M, Baghdad diserang kembali oleh Mongol yang dipimpin oleh Khanaqin, namun gagal juga. Sehingga Mongke/Mengu (salah seorang penguasa Mongol saat itu) pada tahun 1251 M memanggil saudaranya, Hulagu Khan, untuk menyerang Baghdad[11]. Jelaslah, bahwa penaklukan Baghdad bukanlah rencana baru yang dibuat oleh Hulagu karena desakan (hasutan) al-Thusi, sebagaimana yang dituduhkan.

Faktor-faktor sebenarnya yang menjadi penyebab jatuhnya Baghdad adalah:

1. Jatuhnya Turkestan (Peristiwa Utrar)
Turkestan merupakan pagar masuknya Mongol ke Baghdad. Pada tahun 1219 M, Jengis Khan ingin membuka hubungan persahabatan dengan Turkestan, dengan cara mengirimkan utusan dan kafilah dagang. Namun, Gubernur Utrar, Inaljuk, malah membunuh mereka dan merampas dagangannya. Jengis Khan lalu mengirim surat, meminta kepada Sultan Ala’uddin Muhammad Khwarazmsyah (penguasa Turkestan) agar Gubernur Utrar tersebut diserahkan kepadanya. Namun dengan arogan Ala'uddin menolak, bahkan membunuh utusan yang membawa surat tersebut. Akhirnya Jengis Khan mengirmkan pasukan untuk menyerang Turkestan, dan berhasil menaklukannnya pada tahun 1220 M. Bahkan pasukan Mongol yang primitif itu juga membunuh wanita, anak-anak dan orang tua. Dan tahun tersebut merupakan awal masuknya Mongol ke dunia Islam. Tidak hanya itu, Mongol juga melebarkan serangannya dan berhasil menguasai Nishabur, Bukhara, Samarkand, Herat, dan Thus. Hingga meninggalnya Jengis Khan (1227 M), Mongol telah berhasil melebarkan kekuasaan hingga Rey, Qum, Kasyan, dan Saveh. Akibatnya lingkup Baghdad semakin sempit, karena wilayah-wilayah di sekitarnya telah jatuh ke tangan Mongol[12].

2. Pertentangan di antara Pengikut Mazhab Ahlusunnah
Kaum Mongol, sejak 627 H/1229 M, telah berulang-ulang menyerang Isfahan (atau Asbihan), namun selalu gagal, dengan korban yang tidak sedikit dari kedua belah pihak. Ibn Abil Hadid al-Mu’tazili memberitakan bahwa pada tahun 633 H/1235 M terjadi perselisihan antara pengikut mazhab Hanafi dengan pengikut mazhab Syafi’i, yang menyeret pada perang saudara yang berlarut-larut. Kemudian pengikut Syafi'i mendatangi pasukan Tartar (Mongol), yang waktu itu diperintah oleh Ko An, salah seorang putera Jengis Khan. Mereka meminta Ko An untuk menyerang pengikut Hanafi di Isfahan dan rela menyerahkan kota tersebut pada Mongol. Ko An lalu mengepung kota Isfahan dari segala penjuru, sementara di dalam kota telah berkecamuk pertempuran antara kedua pengikut mazhab Ahlusunnah tersebut. Lalu pengikut Syafi'i membukakan pintu kota bagi pasukan Tartar (Mongol) sesuai perjanjian, agar pasukan Tartar membasmi pengikut Hanafi. Namun yang terjadi justru pasukan Tartar membunuh keduanya, baik pengikut Hanafi maupun pengikut Syafi'i. Mereka (pasukan Tartar) menawan wanita, merobek perut wanita hamil, dan menjarah harta penduduk. Kemudian mereka membakar kota Isfahan hingga menjadi abu[13]. Akibatnya posisi Baghdad pun semakin goyah dan terkepung.

3. Hedonisme Para Penguasa Abbasiyah
Ibn al-Thiqthaqa (w. 1309 M), yang telah menyaksikan runtuhnya kekhalifahan Abbasiyah dan hancurnya Baghdad tahun 1258 M, menyatakan dalam kitabnya “Al-Fakhr fi al-Adab al-Sulthaniyyah” bahwa jatuhnya Baghdad disebabkan oleh gaya hidup khalifah al-Musta’shim. Ia menulis : “Khalifah terakhir Abbasiyah, al-Musta’shim, suka berfoya-foya dan berpesta-pesta. Majelisnya tidak pernah sepi dari kehidupan seperti itu. Para hulubalangnya juga serupa. Hanya rakyat yang sering mengingatkannya agar ia sadar. Orang pun membuat syair, seperti :

Tolong sampaikan pada khalifah ‘sadarlah’.
Kalau begini terus bencana tentu datang.
Baginda terlena buaian dunia pembawa musibah.
Bangkitlah dan gelorakan semangat juang.
Bencana dan perang pasti akan datang.
Begitu pula perpecahan, perkosaan, dan penawanan.
Pembunuhan, perampasan, dan perampokan.[14]

Rupanya kegagalan Mongol dalam menyerang Baghdad pada tahun 1245 M dan 1249 M telah membuat sang khalifah semakin lupa diri. Akibatnya pasukannya pun tidak terurus dan tidak terlatih.

Dan yang paling ironis adalah pada saat Hulagu mengirim utusan kepada Badrudin Lu’lu’ (penguasa kerajaan Mosul saat itu) untuk meminta senjata guna menyerang Baghdad, justru khalifah Musta’shim pada saat yang sama mengirim surat kepada Badrudin untuk meminta wanita penghibur. Sehingga Badruddin berkata: “Menangislah kalian, tangisilah Islam dan umatnya.”[15]

Dan al-Musta’shim juga dikenal dengan kekikirannya. sehingga banyak dari pasukannya—yang tidak diberi gaji—melarikan diri dan bergabung dengan kerajaan Syam[16].

4. Banjir Bandang
Baghdad dilanda banjir bandang yang terjadi berturut-turut pada tahun 1253 M, 1255 M, dan 1256 M. Banjir bandang ini telah mengakibatkan kerusakan cukup besar pada kota Baghdad. Karenanya, ini pun berperan melemahkan kondisi kota tersebut.[17]

Sementara itu, Hulagu telah mempersiapkan serangan ke Baghdad dengan sangat matang, kurang lebih selama tujuh tahun. Sehingga pasukannya pun menjadi kuat, apalagi didukung oleh sistem mata-mata yang baik. Langkah awal Hulagu adalah menaklukkan Asasin terlebih dahulu, di Alamut (Persia Barat Daya), tahun 1255 M. Ini membuka jalan baginya ke Baghdad.

Ketika Hulagu berhasil menaklukkan benteng kota Baghdad, ia mengirim utusan kepada khalifah untuk menyerah secara baik-baik (sebagaimana pesan Mongke kepadanya). Lalu khalifah berunding dengan wazirnya, dan wazirnya menyarankan untuk berdamai dan mengirimkan hadiah yang banyak kepadanya. Namun, karena hasutan sahabat-sahabatnya yang benci terhadap wazirnya itu, khalifah dengan arogan menolak tawaran Hulagu. Bahkan sejarawan Ibn Katsir juga menyesalkan sikap khalifah al-Musta’shim ini[18].

Akibatnya, perang pun tak dapat dihindari. Baghdad diserang oleh pasukan Hulagu, yang juga menjatuhkan ribuan korban di pihak rakyat sipil oleh kebiadaban tentara Tartar (Mongol). Dan al-Musta’shim pun terbunuh secara mengenaskan, tubuhnya dibungkus dan ditendang-tendang sampai mati[19].

Lalu mengapa al-Thusi bergabung dengan Hulagu dan bukan pada penguasa Abbasiyah?

Al-Thusi terpaksa bergabung dengan pemerintah Mongol sebagai bentuk taqiyyah, dikarenakan semata-mata demi menyelamatkan Islam dari kehancuran, serta demi menyelamatkan rakyat dari kesengsaraan dan kebodohan. Apalagi Hulagu tidak mempermasalahkan kesyi’ahannya. Sebaliknya, penguasa Abbasiyah justru memusuhi dan menindas syi’ah. Khalifah al-Musta’shim, yang berkuasa saat itu, telah melakukan pembunuhan terhadap sejumlah besar kaum syi’ah, termasuk juga terhadap golongan Bani Hasyim dan lainnya, menawan anak-anak perempuan mereka, dan mengarak mereka keliling pasar tanpa busana di atas kuda[20].

Sementara Khawajah al-Thusi telah dikenal sebagai salah seorang ulama syi’ah terkemuka. Sehingga mustahil baginya untuk bergabung dengan rezim Abbasiyah. Dan lagi al-Thusi menetap di Iran yang waktu itu dikuasai Hulagu, bukan di Baghdad (Irak).

Al-Thusi melihat bahaya besar bagi Islam dan kaum muslimin akibat masuknya dan berkuasanya Mongol di dunia Islam. Penguasa Mongol telah meruntuhkan kota-kota Islam di sepanjang jalan dan membasmi populasi muslimin. Semua warisan budaya, termasuk perpustakaan, dihancurkan tanpa ampun. Ia melihat tak ada yang bisa menghalangi hal ini, dan sejarah telah membuktikannya. Bila hal ini berlarut-larut, maka Mongol akan mengubah dunia Islam menjadi tak berbudaya dan tak beradab (barbar), dan kaum muslimin akan kembali ke masa jahiliyah.

Oleh karena itu, ia berpikir mumpung penguasa baru saat itu menunjukkan penghormatan kepada para ulama, maka ia bisa memanfaatkan ini untuk menyelamatkan Islam dan kaum muslimin. Selain itu, siapa tahu ada di antara mereka yang kemudian mau memeluk Islam. Karenanya, tidak ada cara lain kecuali bergabung dengan Mongol, yang saat itu diperintah oleh Hulagu Khan.

Dan terbukti di kemudian hari, dengan bergabungnya al-Thusi, ia dapat memberikan peranan besar dalam menyelamatkan Islam dan kaum muslimin. Peranan tersebut dalam bentuk:

Al-Thusi dipercaya untuk mengurus harta pemerintah. Dan ia memanfaatkan ini untuk membagikannya secara adil kepada kaum muslimin, terutama rakyat yang tertindas. Ia juga menggunakan harta tersebut untuk membangun observatorium “Easad Khanah”, dan menggaji para ulama yang bekerja di sana.

Al-Thusi membangun perpustakaan-perpustakaan, membangkitkan kembali ilmu pengetahuan Islam, dan membina para pelajar. Ia juga mampu mengkoleksi 400.000 buku di perpustakaan yang dibangunnya tersebut.

Al-Thusi juga telah menyelamatkan masyarakat dari tindakan pemusnahan (genocide) semasa kampanye kekuasaan Hulagu.

Al-Thusi berhasil menggalang simpati Hulagu sedemikian luas, sampai-sampai Hulagu tidak akan menunggang kuda dan melakukan perjalanan tanpa persetujuan al-Thusi. Dan ia memanfaatkan ini untuk melindungi para ulama Islam, yang telah membuat gusar penguasa Mongol, tanpa melihat mazhabnya. Seperti ketika ia menyelamatkan nyawa Ibn Abil Hadid al-Mu’tazili, Muwaffaq al-Dan, serta Ala’uddin al-Juwayni.

Al-Thusi juga berhasil meredakan watak barbar Hulagu. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Syaikh Syarif Tabrazi bahwa “para tiran tersebut telah menjadi lemah”.

Al-Thusi juga berhasil menarik simpati Abaqan, putera Hulagu yang berkuasa sepeninggal Hulagu. Hal ini ia gunakan untuk melindungi para pelajar. Akibatnya, Abaqan memberikan hadiah kepada hampir seratus pelajar yang pernah menjadi murid al-Thusi. Dan bahkan ia pun sempat menyeru dan mengingatkan Abaqan agar ia menyenangkan Allah SWT, berbuat adil, menyelesaikan permasalahan rakyat dengan cara yang baik dan luhur, tidak berbuat tiran terutama kepada orang-orang saleh dan rakyat tak-berdosa, serta menyuburkan tanah-tanah sehingga kekayaan bisa diperoleh tanpa penindasan dan penderitaan rakyat. Setelah al-Thusi wafat, hasil dari upayanya tersebut terlihat dengan makin populernya Islam di kalangan penguasa Mongol dan warga Mongol di Iran. Karenanya, matahari Islam bersinar dan kegelapan pun sirna[21].

Demikianlah sosok Khawajah Nashirudin al-Thusi yang sebenarnya. Karena itu, sepantasnyalah beliau dimuliakan dan dihormati.

Sumber Referensi:

[1] Ibn Taimiyyah, “Minhaj al-Sunnah”, jilid 2, hal. 199.
[2] Syaikh Rasul Ja’fariyan, “The Alleged Role of Khawajah Nasir al-Din al-Tusi in The Fall of Baghdad”, hal. 4, Jurnal al-Tawhid, vol. 8, no. 2.
[3] Ibid, hal. 5.
[4] Ibid.
[5] Ibid.
[6] Ibid, hal. 9-10.
[7] Ibid, hal. 10.
[8] Ibn Katsir, “Al-Bidayah wa al-Nihayah”, jilid 13, hal. 267-268.
[9] Syaikh Rasul Ja’fariyan, “The Alleged Role”, hal. 12-13, Jurnal al-Tawhid, vol. 8, no. 2.
[10] Ibid, hal. 3.
[11] Ibid, hal. 6-7; Ibn Abil Hadid al-Mu’tazili, “Syarh Nahjul Balaghah”, jilid 8, hal. 238-240; Encyclopaedia Brittanica, pada artikel “Musta’shim” dan “Hulegu”.
[12] Suyuthi, “Tarikh al-Khulafa”, hal . 469; Ibn Atsir, “al-Kamil”, jilid 12, hal. 363; Timothy May, “Genghis Khan”, The University of Wisconsin- Madison; Irangasht.com, “Mongol Invasion”; Syaikh Rasul Ja’fariyan, “The Alleged Role”, hal. 5-6, Jurnal al-Tawhid, vol. 8, no. 2; Encyclopaedia Brittanica, pada artikel “Ala’uddin”.
[13] Ibn Abil Hadid al-Mu’tazili, “Syarh Nahjul Balaghah”, jilid 8, hal. 237-238.
[14] Syaikh Rasul Ja’fariyan, “The Alleged Role”, hal. 8, Jurnal al-Tawhid, vol. 8, no. 2; O. Hashem, “Syi’ah Ditolak Syi’ah Dicari”, hal. 194 (yang mengutip dari kitab “Al-Fakhr fi al-Adab al-Sulthaniyah” karya Ibn al-Thiqthaqa, hal. 33).
[15] O. Hashem, “Syi’ah Ditolak Syi’ah Dicari”, hal. 194 (yang mengutip dari kitab “Al-Fakhr fi al-Adab al-Sulthaniyah” karya Ibn al-Thiqthaqa, hal. 33).
[16] O. Hashem, “Syi’ah Ditolak Syi’ah Dicari”, hal. 197 (yang mengutip dari kitab “Tarikh” karya Ibn al-Futha, hal. 261).
[17] Encyclopaedia Brittanica, pada artikel “Musta’shim” dan “Hulegu”.
[18] O. Hashem, “Syi’ah Ditolak Syi’ah Dicari”, hal. 197-198; Syaikh Rasul Ja’fariyan, “The Alleged Role”, hal. 7, Jurnal al-Tawhid, vol. 8, no. 2; The Applied History Research Group “The Il-Khanate”, The University of Calgary, tahun 1998.
[19] Syaikh Rasul Ja’fariyan, “The Alleged Role”, hal. 13, Jurnal al-Tawhid, vol. 8, no. 2.
[20] O. Hashem, “Syi’ah Ditolak Syi’ah Dicari”, hal. 199 (yang mengutip dari kitab “Raudhah al-Shafa”, jilid 5, hal. 239).
[21] A.H. Hairi, “Nasiruddin Tusi: His Alleged Role in the Fall of Baghdad”, hal. 255-266; Syaikh Rasul Ja’fariyan, “The Alleged Role”, hal. 14-19, Jurnal al-Tawhid, vol. 8, no. 2.


Wassalaam,

Muh. Anis


Source: http://groups.yahoo.com/group/Kajian_Islam/messages/362?o=1&xm=1&l=1

These icons link to social bookmarking sites where readers can share and discover new web pages.
  • Digg
  • Sphinn
  • del.icio.us
  • Facebook
  • Mixx
  • Google
  • Furl
  • Reddit
  • Spurl
  • StumbleUpon
  • Technorati

Riwayat Tiga dan Tiga Penyesalan Abu Bakar

Ibn Qutaibah atau Abu Muhammad Abdullah bin Muslim bin Qutaibah ad­Dainuri adalah salah seorang imam dalam sastra, sejarah dan bahasa Arab dilahirkan di Baghdad tahun 213 H/ 628 M dan tinggal di Kufah . Ia pindah dan jadi Kadi di kota Dainur, dan meninggal di Baghdad tahun 276 H/9 88 M. Di antara karangannya adalah Ta’wil Mukhtalafu’l Hadits, (Penjelasan Tentang Aneka Ragam Hadis), Adab al­Katib, (Etika Penul is), Ma’arif, (Pengenalan), Syir wa Syu’ara’, (Syair dan Para Penyair), dan Al­Imamah wa Siyasah, (Kepemimpinan dan Politik) yang terkenal juga sebagai Tarikh al­Khulafa’, (Sejarah Para Khalifah). Buku ini berisi tarikh sejak wafatnya Rasul sampai zaman khalifah Amin dan saudaranya khalifah Makmun. (Kairo, 1957)
Ia adalah seorang ahli sunah yang fanatik dan seorang nashibi, pembenci ahlu’lbait.
Ibnu Katsir, Maslamah bin Qasim dan Ibnu Hajar memujinya dan melukiskannya sebagai dapat dipercaya.
Mengenai Al­Imamah was Siyasah, ada yang meragukannya sebagai tulisan Ibn Qutaibah, kalau tidak seluruh, sebagiannya. Ada yang menganggap tulisan itu berasal dari tulisan­tulisan yang lebih lama. Mungkin karena buku ini menceriterakan pembangkangan Ali terhadap pembaiatan Abu Bakar, perdebatannya dengan Abu Bakar, percekcokan antara Abu Bakar dan Umar di satu pihak serta Fathimah di pihak lain. Tetapi alasan ini berlebihan, karena Ibn Qutaibah bukanlah satu­satunya sumber berita tersebut.
Lagi pula banyak ulama’ meyakini buku tersebut sebagai buku tulisan Ibn Qutaibah, seperti Ibn al­’Arabi (wafat 543 H/ 1148 M) dalam bukunya Al­’Awashim min al­Qawashim, mengatakan ‘shahih semua apa yang tertulis di dalamnya’. Begitu pula Nijamuddin Abi Qasim Umar bin Muhammad bin Muhammad al­Hasyimi al­Makki dalam bukunya ‘Ittihafu’l­Wara bi Akhbar Umm’l­Qura’ mengutip dari buku tersebut sebagai buku Ibn Qutaibah. Juga al­Qadhi Abu Abdullah at­Tanwizi yang terkenal dengan Ibn Syabbath mengutip darinya. Juga Ibn Hajar al­ Haitsami maupun Ibnu Khaldun . Juga penulis abad ini seperti Jarji Zaidan dalam Tarikh al­Adab al­Lughah al­’Arabiyah dan Farid Wajdi dalam bukunya Da’irah al­Maarif’ tidak meragukan keasliannya.
Berikut riwayatnya:
Dari ‘Abdurrahman bin ‘Auf yang berkata bahwa ia menghadap Abu Bakar ash­Shiddiq ra yang sedang sakit yang mengakibatkan ia meninggal dunia.
Abu Bakar memerintah dua tahun dan beberapa bulan, kemudian ia sakit yang mengakhiri hidupnya. Sahabat­sahabat Nabi saw menjenguknya, di antaranya ‘Abdurrahman bin ‘Auf yang berkata kepadanya: ‘Bagaimana keadaanmu wahai khalifah Rasulullah? Aku sungguh mengharapkan Anda lekas sembuh’ . Abu Bakar menjawab: ‘Anda mengharap demikian?’. ‘Abdurrahman bin ‘Auf: ‘Ya’. Abu Bakar: ‘Aku sakit berat…’
Selanjutnya Abu Bakar berkata: ‘Aku tidak menyesali sesuatu dari dunia ini, kecuali:
1. Tiga yang kulakukan, seharusnya tidak kulakukan (laitani kuntu taraktu hunna)
2. Tiga yang tidak kulakukan, seharusnya kulakukan (laitani kuntu fa’altu hunna)

Tiga yang kulakukan tapi seharusnya tidak kulakukan adalah:
1. Aku ingin agar aku tidak membuka tirai rumah Fathimah biarpun dengan demikian akan timbul peperangan.
2. Aku ingin agar tidak membakar Fuja’ah as­Silmi. Aku seharusnya segera membunuhnya dan menghabisinya.
3. Aku ingin pada peristiwa Saqifah Bani Sa’idah, aku memikulkan beban khalifah di pundak satu dari dua orang, ‘Umar atau Abu ‘Ubaidah dan aku jadi wazirnya.

Tiga yang tidak kulakukan dan ingin kulakuk an adalah:
1. Seharusnya kupenggal leher Asy’ats bin Qays dan tidak membiarkan ia hidup.
2. Sebaiknya kukirim Khalid bin Walid ke Syam dan ‘Umar bin Khaththab ke Irak.
3. Aku mestinya bertanya kepada Rasul, siapa seharusnya jadi khalifah, agar tidak akan berselisih dua orang. Kuingin bertanya apakah kaum Anshar juga berhak atas kekhalifahan ini, dan aku ingin tanyakan mengenai warisan terhadap putrinya.

Dari beberapa point di atas ada sebagian yang bertentangan dengan sejarah yang diimani Sunni dan Syiah. Apakah Abu Bakar, sahabat utama Nabi saw tidak yakin dengan sabda-sabda Nabi saw yang didengarnya, atau kita yang salah menafsirkan sejarah yang beredar?


Source: Wafat Rasulullah & Suksesi Sepeninggal Beliau di Saqifah, O. Hashem.

These icons link to social bookmarking sites where readers can share and discover new web pages.
  • Digg
  • Sphinn
  • del.icio.us
  • Facebook
  • Mixx
  • Google
  • Furl
  • Reddit
  • Spurl
  • StumbleUpon
  • Technorati

Mengkritik Mencela Para Sahabat Adalah Kufur?

Hampir sebagian besar kalangan Sunni menuduh golongan Syiah sebagai kaum Kafir karena mereka mengkritik, mencela, memaki, mengkafirkan para sahabat. Jika demikian?... terserah anda. Namun yang jadi masalah adalah apakah hukum ini berlaku juga bagi Nabi atau para sahabatnya sendiri? karena dalam kitab Hadith maupun tarikh terdapat pula kritikan, teguran, celaan, permusuhan antar sahabat bahkan membunuh sahabat lainnya. Apakah kita harus menghapus riwayat-riwayat yang mengandung kekerasan itu di seluruh kitab-kitab ataukah mengubah hukum dalam mengkritik atau mencela sahabat, mis celaan tersebut menjadi doa atau rahmat baginya, sebagai ijtihad yang salah, boleh mengkritik mencela para sahabat yang tidak sesuai atau ada jalan lain?...terserah anda, aku hanya menyebarkan riwayat sejarah yang ditulis pada zaman dulu.
Berikut ini adalah sebagian riwayat tersebut:

>> Rasulullah saw dengan sahabat Mu'awiyah
"Rasulullah pernah menyuruh Ibn Abbas, yang sedang bermain untuk memanggil Mu'awiyah bin Abi Sufyan. Pada panggilan pertama, Ibn Abbas melaporkan bahwa Mu'awiyah sedang makan dan tidak bisa memenuhi panggilan Rasulllah. Pada panggilan yang kedua kalinya, Mu'awiyah juga sedang makan. Kemudian waktu itu Rasulullah mendoakannya. Doa ini diriwayatkan oleh Muslim sebagai berikut, "Mudah-mudahan Allah tidak mengenyangkan perutnya".
Alhasil, doa, laknat Nabi atau apapun sebutannya itu pun diijabah Tuhan. Ketika Mu'awiyah menjadi penguasa, dia hampir tidak bisa berhenti makan. Bahkan ketika perutnya sudah besar dia masih terus ingin makan. Riwayat ini ada di Sahih Muslim kitab al-Birr wa al-Shilah.

>> Sahabat2 utama; Ali, Aisyah, Umar dengan Abu Hurairah
Ibnu Qutaibah menulis: ‘Dan mengherankan sikap mereka (para ahli hadis)? mereka menyebut Abu Hurairah sebagai pembohong tetapi mereka tidak menulis mengenai Abu Hurairah sesuai dengan kesepakatan para ahli hadis. Yahya bin Mu’in dan Ali Ibnu al­Madini dan orang­orang seperti mereka menolak Hadis Abu Hurairah, tapi anehnya orang tetap saja berhujah dengan hadis Abu Hurairah yang tidak akur dan serasi dengan seorang pun dari para sahabat dan telah dianggap sebagai pembohong oleh Umar, Utsman dan Aisyah.’
Ibnu Qutaibah melukiskan hubungan Aisyah dengan Abu Hurairah: ‘Engkau menyampaikan hadis yang tidak kudengar dari Nabi saw’. Demikianlah kata­kata Aisyah yang ditujukan kepada Abu Hurairah. Abu Hurairah menjawab dengan jawaban yang tidak beradab dan tanpa hormat, seperti diriwayatkan oleh Bukhari, Ibnu Sa’ad, Ibnu Katsir dan lain­lain: ‘Engkau (terlalu) sibuk dengan cermin dan tempat celak!’. Dan di bagian lain ia berkata kepada Aisyah: ‘Aku tidak disibukkan oleh cermin dan tempat celak serta pewarna, tetapi aku melihat Anda demikian’. Dan diriwayatkan oleh Dzahabi bahwa Aisyah berkata kepada Abu Hurairah: ‘Keterlaluan Abu Hurairah, berlebihan yang engkau sampaikan tentang Rasul Allah!’. Dan Abu Hurairah menjawab: ‘Aku tidak disibukkan oleh cermin dan tidak oleh tempat celak dan tidak juga dengan alat pemoles (yang menjauhkan aku dari Rasul Allah)!’
Dan Aisyah menjawab: ‘Engkaulah yang sibuk mengurus perutmu, dan kerakusanmu membuat engkau terbirit-­birit pergi dari Rasul Allah dan bergegas (bersembunyi) di belakang orang­orang, mengetuk rumah meminta­minta makanan untuk memenuhi perutmu yang lapar sehingga mereka lari dan menjauhimu. Kemudian engkau jatuh pingsan di depan kamarku dan orang mengira engkau gila dan mereka menginjak­injak lehermu.

Di samping itu Umar memecatnya dari kedudukannya sebagai gubernur Bahrain karena menuduhnya sebagai pencuri. Ibnu Abd Rabbih menulis pada bagian awal jilid pertama bukunya ‘Iqd al­Farid. “Umar kemudian memanggil Abu Hurairah dan berkata kepadanya: ‘Aku tahu tatkala aku mengangkatmu jadi gubernur di Bahrain, sandal pun engkau tidak punya. Kemudian sampai berita kepadaku bahwa engkau membeli kuda­kuda seharga seribu enam ratus dinar’. Abu Hurairah: ‘Kami memiliki kuda kemudian beranak-pinak dan aku mendapat hadiah beruntun’. Umar: ‘Aku telah perhitungkan penghasilanmu dan rizkimu dan kelebihan ini harus kau kembalikan!’. Abu Hurairah: ‘Kamu tidak berhak untuk mengambilnya!’. Umar: ‘Ya, demi Allah aku harus ambil! Dan aku akan pukul punggungmu!’ Kemudian ia mengambil pecut dan memukulnya sampai berdarah! “Kemudian Umar berkata: ‘Bawa kemari uang itu!’ Abu Hurairah: ‘Aku menganggap harta yang engkau ambil itu di jalan Allah!” Umar: ‘Ya, kalau engkau mengambil itu dari yang halal dan engkau laksanakan di jalan yang benar! Apakah engkau datang dari Bahrain mengambil pajak untuk dirimu dan bukan karena Allah dan bukan untuk kaum Muslimin? Kau tidak punya keahlian apa­apa kecuali mengangon unta!’ Di bagian lain Abu Hurairah meriwayatkan dalam buku yang sama: ‘Abu Hurairah menerangkan: ‘Ketika aku diberhentikan oleh Umar dari Bahrain, Umar berkata kepadaku: ‘Ya musuh Allah dan musuh Kitab­Nya, engkau mencuri harta Allah? Aku menjawab: ‘Aku bukan musuh Allah dan musuh KitabNya! Tapi aku adalah musuh yang memusuhimu! Dan aku tidak mencuri harta Allah!’ Umar: ‘Dari mana engkau kumpulkan uang yang sepuluh ribu?’ Abu Hurairah: ‘Kuda beranak pinak dan aku telah mendapat hadiah beruntun dan keuntungan susul menyusul, Umar menyitanya dariku! Dan setelah shalat subuh aku mintakan pengampunan untuk Amirul mukminin!’.

>> Ali dengan Mu'awiyah cs
Az­Zamakhsyari dalam Rabi’al­Abrar dan Suyuthi menceritakan: ‘Di zaman Umayyah lebih dari 70.000 mimbar digunakan untuk melaknat Ali bin Abi Thalib’. Mimbar­mimbar ini menyebar di seluruh wilayah dari ufuk Timur ke ufuk Barat. Al­Hamawi berkata: Ali bin Abi Thalib dilaknat di atas mimbar­mimbar masjid dari Timur sampai ke Barat kecuali masjid jami’ di Sijistan”. Di masjid ini hanya sekali terjadi khatib melaknat Ali. Tetapi pelaknatan di mimbar Haramain, Makkah dan Madinah, berjalan terus’.

Mughirah bin Syu’bah yang jadi gubernur di Kufah menyuruh jemaah masjid mengutuk Ali dengan kata­kata: ‘Wahai manusia, pemimpinmu menyuruh kepadaku untuk melaknat Ali, maka kamu laknatilah dia’. jemaah berteriak ‘Mudah­mudahan Allah melaknati dia!’. Tetapi dalam hati, yang mereka maksudkan dengan ‘dia’ adalah Mughirah. Pelaknatan Mughirah terhadap Imam Ali dilakukan terus menerus. Sekali ia mengatakan dalam khotbahnya: ‘Sesungguhnya Rasul Allah saw tidak menikahkan putrinya dengan Ali karena Rasul menyukai Ali, tetapi untuk memperbaiki hubungannya dengan keluarga Abu Thalib’. Pada suatu ketika ia ditegur sahabat Zaid bin Arqam: ‘Hai Mughirah, apakah engkau tidak tahu bahwa Rasul saw melarang mencerca orang yang sudah mati? Tidakkah engkau melaknat Ali dan ia sudah meninggal?

Amir bin Sa’ad bin Abi Waqqash yang berkata: Mu’awiyah berkata kepada Sa’d: ‘Apa yang menghalangimu melaknat Abu Turab?’. Sa’ad menjawab: ‘Ada tiga hal yang diucapkan RasulAllah saw sehingga aku tidak akan pernah mencacinya, karena bila saja aku mendapat satu dari tiga keutamaan itu aku lebih suka dari pada memiliki harta apa saja yang paling berharga. Kemudian ia menyebut hadis al-­Manzilah, ar-­Rayah (bendera) dan al-­Mubahalah.
Dalam lafal Thabari: ‘Tatkala Mu’awiyah naik haji, ia berthawaf bersama Sa’ad dan setelah selesai, Mu’awiyah pergi ke Dar an­Nadwah dan mengajak Sa’ad duduk bersama di ranjangnya (sarir) dan Mu’awiyah mulai memaki Ali, Sa’ad bangkit dan berkata: ‘Engkau mengajak aku duduk bersama di ranjangmu kemudian engkau memaki Ali, demi Allah bila aku dapat satu saja yang didapat Ali aku lebih suka dari apa yang dapat didatangkan matahari’? sampai ia selesai mengemukakan hadis dan Sa’ad bicara: ‘Demi Allah aku tidak akan memasuki rumahmu!’
Meskipun Sa’d bin Abi Waqqash tidak mau membaiat Ali, tetapi ia tidak dapat berdiam diri dan menegur Mu’awiyah. Bila ada Sa’ad, satu dari enam anggota Suyura, Muawiyah tidak berani melaknat Ali. Tatkala ia akan berkhotbah di masjid Nabi dan akan melaknat Ali, Sa’ad berkata: ‘Bila engkau melaknat Ali aku pasti keluar dari masjid’. Sa’ad bin Abi Waqqash, setelah meninggalnya Utsman, hidup menyendiri. Pertemuannya dengan Mu’awiyah hampir selalu terjadi di masjid. Ia memanggil Mu’awiyah sebagai raja dan bukan khalifah. Setelah Ali meninggal, hanya ia seorang diri lagi yang anggota syura dan selalu mengatakan kesalahannya tidak membaiat Ali. ‘Saya telah mengambil keputusan yang salah. Dan tatkala orang menyalahkannya karena tidak mau mendukungnya memerangi Ali ia berkata: ‘Saya menyesal tidak memerangi al­fi’ah al­bighiah, kelompok pemberontak (yaitu Mu’awiyah).
Demikian pula dengan Abdullah bin Umar, meski tidak membaiat kepada Ali pada akhirnya berkata: ‘Saya tidak pernah menyesal hidup di dunia, kecuali tidak berperang bersama Ali bin Abu Thalib melawan kelompok pemberontak sebagaimana diperintahkan Allah’.

Pada satu hari Muawiyah sedang duduk-duduk dengan teman-temannya. Ahnaf bin Qais juga hadir. sementara itu seorang Syria datang lalu berpidato. pada akhir pidatonya ia mencerca Ali. mendengar itu Ahnaf berkata kepada Muawiyah, tuan! bila orang ini mengetahui bahwa anda akan merasa senang bila para Nabi dikutuk maka ia pun akan mengutuk mereka. Takutlah kepada Allah dan janganlah mengusik-usik Ali lagi. Ia sudah menemui Tuhannya. ia sekarang sendirian di kuburnya dan hanya amalnya yang menyertainya. Saya bersumpah demi Allah bahwa pedangnya sangat suci dan pakaiannya pun sangat bersih dan rapi, tragedi yang menimpanya besar.
Muawiyah berkata, "Hai Ahnaf! engkau telah menaburkan debu ke mata saya dan berkata sesukamu. Demi Allah, engkau harus naik ke mimbar dan melaknat Ali. bila engkau tidak melaknatnya dengan sukarela maka engkau akan dipaksa melakukannya. Ahnaf menjawab, "Sebaiknya anda memaafkan saya dari melakukannya. namun meskipun anda memaksa saya, saya tetap tidak akan mengucapkajn kata-kata semacam itu. lalu Muawiyah menyuruhnya naik ke mimbar. Ahnaf berkata, Bila saya naik ke mimbar maka saya berlaku jujur. Muawiyah berkata, Bila engkau jujur, apa yang akan kau ucapkan? Ahnaf menjawab, "setelah naik ke mimbar maka saya akan memuji Allah lalu berkata begini, "Wahai manusia! Muawiyah telah menyuruh saya untuk mengutuk Ali. Tiada ragu bahwa Ali dan Muawiyah saling bermusuhan. Masing-masing mengaku bahwa pihaknya yang telah dizalimi. Oleh karena itu bila saya berdoa, hendaklah anda sekalian mengamininya" lalu saya akan berkata, "Ya Allah! Kutuklah salah satu dari kedua orang ini yang durhaka, dan biarkanlah para malaikat, nabi-nabi serta seluruh makhluk-Mu mengutuknya. Ya Allah! Limpahkanlah kutukan-Mu kepada kelompok pendurhaka. Wahai hadirin, ucapkanlah Amin. Wahai Muawiyah, saya tidak akan mengucapkan apa-apa selain kata-kata ini, walaupun saya harus kehilangan nyawa saya. Muawiyah menjawab, "Ya, kalau bbegitu aku memaafkanmu (dia naik ke mimbar dan mengutuk).

Mengenai alasan pelaknatan Ali bin Abi Thalib, dapat dijelaskan dengan riwayat dari Umar Bin Abd al-Aziz berikut ini: Pada waktu itu ayahku adalah gubernur di Makkah. Aku mendengar ayahku bicara lancar sampai pada saat ia melaknat Ali dan suaranya jadi tidak jelas, terbata­bata dan menyesakkan, hanya Allah yang tahu. Dan aku terheran­heran melihat yang demikian itu. Maka suatu hari aku bertanya kepadanya: ‘Wahai ayah, engkau berkhotbah begitu fasih dan lancar, belum pernah aku lihat engkau berkhotbah begitu baik, tetapi setelah engkau sampai pada melaknat lelaki itu engkau lalu tergagap-­gagap tidak karuan. ‘Ayahku menjawab: ‘Wahai anakku, andaikata orang Syam atau siapa saja yang berada di bawah mimbar mengetahui keutamaan lelaki ini seperti yang diketahui ayahmu ini, maka tiada seorang pun akan mengikuti kita”.

>>Amr bin Hamaq vs Mua'wiyah
Orang pertama yang dipenggal kepalanya oleh Mu’awiyah adalah Amr bin Hamaq sebagai Syi’ah Ali yang turut mengepung rumah Utsman dan dituduh membunuh Utsman dengan 9 tusukan. Ia melarikan diri ke Mada’in bersama Rifa’ah bin Syaddad dan terus ke Mosul. Ia ditangkap dan gubernur Mosul Abdurrahman bin Abdullah bin Utsman mengenalnya. Ia mengirim surat ke Mu’awiyah. Mu’awiyah menjawab seenaknya: “Ia membunuh Utsman dengan tusukan dengan goloknya (masyaqish) dan kita tidak akan bertindak lebih, tu suklah dia dengan sembilan tusu kan”. Setelah ditusuk ­baru tusukan pertama atau kedua, kelihatannya ia sudah mati­ kepalanya dipenggal dan dikirim ke Syam, diarak kemudian diserahkan kepada Mu ’awiyah dan Mu’awiyah mengirim kepala ini kepada istrinya Aminah binti al­Syarid yang sedang berada di penjara Mu’awiyah. Kepala itu dilemparkan ke pangkuan istrinya. Istrinya meletakkan tangannya di dahi kepala suaminya kemudian mencium bibirnya berkata:
Mereka hilangkan dia dariku amat lama,
Mereka bunuh dan sisakan untukku kepalanya,
Selamat datang, wahai hadiah,
Selamat datang, wahai wajah tanpa roma.
‘Amr bin Hamaq adalah orang pertama dalam sejarah Islam yang kepalanya dipenggal dan diarak dari kota ke kota, lihat Ibn Qutaibah, Al­Ma’ar if, hlm. 127; Al­Isti’ab, Jilid 2, hlm. 404; Al­Ishabah, jilid 2, hlm. 533; Ibn Katsir, Tarikh, jilid 8, hlm. 48.

>> Asy’ats bin Qais al­Kindi
Asy’ats bin Qais al­Kindi, yang dinamakan munafik tingkat tinggi nomor dua sesudah Abdullah bin Ubay bin Salut oleh Muhammad ‘Abdu. Ia menjadi murtad tatkala RasulAllah saw wafat, yaitu tatkala Abu Bakar jadi khalifah. Pemberontakan terjadi di kawasan Hadhramaut. Pemberontak akhirnya terkepung dalam benteng An­Nujair. Suatu malam secara sembunyi­sembunyi Asy’ats bin Qays keluar benteng menemui Ziyad dan Muhajir yang mengepung benteng itu, dan bersekongkol dengan mereka bahwa apabila mereka memberi perlindungan kepada sembilan orang keluarganya, maka ia akan membuka benteng itu. Mereka menerima ketentuan itu dan meminta ia menuliskan nama kesembilan anggota yang dimaksud. Ia khilaf dan tidak menuliskan namanya sendiri. Ia lalu menyelinap masuk ke dalam benteng dan mengatakan kepada penghuni benteng bahwa ia telah mendapatkan perlindungan bagi mereka dan supaya pintu benteng dibuka. Alangkah kaget teman­temannya tatkala Ziyad menunjukkan sembilan nama yang disepakati Asy’ats bin Qays. Asy’ats juga terkejut karena namanya tidak tercantum dalam daftar yang ia tulis. Asy’ats bin Qays tidak dibunuh. Ia minta bertemu Abu Bakar dan diluluskan. Sepanjang perjalanan ke Madinah, sekitar seribu kaum wanita yang juga dibelenggu mengutuknya sebagai pengkhianat dan penjerumus kaumnya. Sekitar delapan ratus orang dibunuh dalam benteng itu karena perbuatannya. Setelah tiba di Madinah, Abu Bakar bukan saja tidak membunuhnya malah mengawinkannya dengan adik perempuannya Umm Farwah binti Abi Quhafah yang kemudian melahirkan tiga orang anak, yaitu Muhammad , Ismail dan Ishaq. Asy’ats bin Qays ini juga yang bersekongkol dalam pembunuhan Imam Ali di kemudian hari. Putrinya, Ja’dah binti Asy’ats, membunuh Imam Hasan bin Ali bin Abi Thalib, suami nya sendiri. Mu’awiyah menjanjikan seratus ribu dinar dari Mu’awiyah dan akan dikawinkan dengan Yazid bila Ja’dah meracuni suaminya, yang kemudian dilakukannya. Puteranya dari Farwah binti Abi Quhafah di atas, yaitu Muhammad bin Asy’ats bin Qays terkenal karena mencurangi Muslim bin Aqil yang diutus Husain ke Kufah dan turut dalam pembunuhan Imam Husain di Karbala. Meskipun demikian ia termasuk di antara orang-­orang yang meriwayatkan hadis­hadis oleh Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa’i, dan Ibnu Majah.

>>Ali vs Abu Bakar, Umar cs
Kedua surat dibawah ini dimuat Nashr bin Muzahim dalam Kitabnya Waq’ah Shiffin dan Mas’udi dalam kitabnya Muruj adz­Dzahab dan telah diisyaratkan oleh Thabari dan Ibnu Atsir sebagai surat yang ditulis tahun 36 Hijriah, yaitu tatkala Muhammad bin Abu Bakar menjadi Gubernur di Mesir di zaman kekhalifahan Ali. Thabari melaporkan peristiwa ini dengan tidak menyebutkan isi surat dibawah ini dengan alasan "supaya orang banyak tidak resah mendengarkannya".
Yang menarik dari kedua surat ini adalah kritik Mu’awiyah terhadap pembaiatan Abu Bakar di Saqifah. Mu’awiyah berkeyakinan bahwa Abu Bakar dan Umar mengetahui betul tuntutan Ali. Di pihak lain yang membuat kedua surat ini lebih menarik adalah pernyataan Muhammad bin Abu Bakar tentang Ali sebagai pemegang wasiat dan pewaris Rasul yang tidak dibantah Mu’awiyah.
Berikut isi Surat tersebut:

Surat Muhammad bin Abu Bakar kepada Mu’awiyah:

Bismillahirrahmanirrahim.

Dari Muh ammad bin Abu Bakar.
Kepada si tersesat Mu’awiyah bin Shakhr.

Salam kepada penyerah diri dan yang taat kepada Allah!

Amma ba’du, sesungguhnya Allah SWT, dengan keagungan dan kekuasaan-Nya, mencipta makhluk­Nya tanpa main­main. Tiada celah kelemahan dalam kekuatan­Nya. Tidak berhajat Ia terhadap hamba­Nya. Ia mencipta mereka untuk mengabdi kepada­Nya.
Ia menjadikan mereka orang yang tersesat atau orang yang lurus, orang yang malang dan orang yang beruntung.
Kemudian, dari antara mereka, Ia Yang Mahatahu memilih dan mengkhususkan Muhammad saw dengan pengetahuan ­Nya. Ia jualah yang memilih Muhammad saw berdasarkan ilmu­Nya sendiri untuk menyampaikan risalah­Nya dan mengemban wahyu­Nya. Ia mengutusnya sebagai Rasul dan pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan.
Dan orang pertama yang menjawab dan mewakilinya, menaatinya, mengimaninya, membenarkannya, menyerahkan diri kepada Allah dan menerima Islam sebagai agamanya ­adalah saudaranya dan misannya Ali bin Abi Thalib­ yang membenarkan yang ghaib. Ali mengutamakannya dari semua kesayangannya, menjaganya pada setiap ketakutan, membantunya dengan dirinya sendiri pada saat­saat mengerikan, memerangi perangnya, berdamai demi perdamaiannya, melindungi Rasul dengan jiwa raganya siang maupun malam, menemaninya pada saat­saat yang menggetarkan, kelaparan serta dihinakan. Jelas tiada yang setara dengannya dalam berjihad, tiada yang dapat menandinginya di antara para pengikut dan tiada yang mendekatinya dalam amal perbuatannya.
Dan saya heran melihat engkau hendak menandinginya! Engkau adalah engkau! Sejak awal Ali unggul dalam setiap kebajikan, paling tulus dalam niat, keturunannya paling bagus, isterinya adalah wanita utama, dan pamannya (Ja’far) syahid di Perang Mu ’tah. Dan seorang pamannya lagi (Hamzah) adalah penghulu para syuhada perang Uhud, ayahnya adalah penyokong Rasul Allah saw dan isterinya.
Dan engkau adalah orang terlaknat, anak orang terkutuk. Tiada hentinya engkau dan ayahmu menghalangi jalan Rasul Allah saw. Kamu berdua berjihad untuk memadamkan nur Ilahi, dan kamu berdua melakukannya dengan menghasut dan menghimpun manusia, menggunakan kekayaan dan mempertengkarkan berbagai suku. Dalam keadaan demikian ayahmu mati. Dan engkau melanjutkan perbuatannya seperti itu pula.
Dan saksi­saksi perbuatan Anda adalah orang­orang yang meminta-­minta perlindungan Anda, yaitu dari kelompok musuh Rasul yang pemberontak, kelompok pemimpin­pemimpin yang munafik dan pemecah belah dalam melawan Rasul Allah saw.
Sebaliknya sebagai saksi bagi Ali dengan keutamaannya yang terang dan keterdahuluannya (dalam Islam) adalah penolong­penolongnya yang keutamaan mereka telah disebut dalam Al­ Qur’an, yaitu kaum Muhajirin dan Anshar. Dan mereka itu merupakan pasukan yang berada di sekitarnya dengan pedang­pedang mereka dan siap menumpahkan darah mereka untuknya. Mereka melihat keutamaan pada dirinya yang patut ditaati, dan malapetaka bila mengingkarinya.
Maka mengapa, hai ahli neraka, engkau menyamakan dirimu dengan Ali, sedang dia adalah pewaris (warits ) dan pelaksana wasiat (Washi) Rasul Allah saw, ayah anak­anak (Rasul), pengikut pertama dan yang terakhir menyaksikan Rasul, teman berbincang, penyimpan rahasia dan serikat Rasul dalam urusannya. Dan Rasul memberitahukan pekerjaan beliau kepadanya, sedang engkau adalah musuh dan anak dari musuh beliau.
Tiada peduli keuntungan apa pun yang kau peroleh dari kefasikanmu di dunia ini dan bahkan Ibnu ’l­Ash menghanyutkan engkau dalam kesesatanmu, akan tampak bahwa waktumu berakhir sudah dan kelicikanmu tidak akan ampuh lagi. Maka akan jadi jelas bagimu siapa yang akan memiliki masa depan yang mulia. Engkau tidak mempunyai harapan akan pertolongan Allah, yang tidak engkau pikirkan.
Kepada­Nya engkau berbuat licik. Allah menunggu untuk menghadangmu, tetapi kesombonganmu membuat engkau jauh dari Dia.

Salam bagi orang yang mengikuti petunjuk yang benar.

Jawaban Mu’awiyah kepada Muhammad bin Abu Bakar:

Dari Mu ’awiyah bin Abu Sufyan.

Kepada Pencerca ayahnya sendiri, Muhammad bin Abu Bakar .

Salam kepada yang taat kepada Allah.

Telah sampai kepadaku suratmu, yang menyebut Allah Yang Mahakuasa dan Nabi pilihan­Nya dengan kata­kata yang engkau rangkaikan. Pandanganmu lemah. Engkau mencerca ayahmu. Engkau menyebut hak Ibnu Abi Thalib dan keterdahuluan serta kekerabatannya dengan Nabi Allah saw dan bantuan serta pertolongannya kepada Nabi pada tiap keadaan genting.
Engkau juga berhujah dengan keutamaan orang lain dan bukan dengan keutamaanmu. Aneh, engkau malah mengalihkan keutamaanmu kepada orang lain.
Di zaman Nabi saw, kami dan ayahmu telah melihat dan tidak memungkiri hak Ibnu Abi Thalib. Keutamaannya jauh di atas kami.
Dan Allah SWT memilih dan mengutamakan Nabi sesuai janji­Nya. Dan melalui Nabi Ia menyampaikan dakwah­Nya dan memperoleh hujah­Nya. Kemudian Allah mengambil Nabi ke sisi­Nya.
Ayahmu dan Faruq­nya (Umar ) adalah orang­orang pertama yang merampas haknya (ibtazza). Hal ini diketahui umum.
Kemudian mereka mengajak Ali membaiat Abu Bakar tetapi Ali menunda dan memperlambatnya. Mereka marah sekali dan bertindak kasar. Hasrat mereka bertambah besar. Akhirnya Ali membaiat Abu Bakar dan berdamai dengan mereka berdua.
Mereka berdua tidak mengajak Ali dalam pemerintahan mereka. Tidak juga mereka menyampaikan kepadanya rahasia mereka, sampai mereka berdua meninggal dan berakhirlah kekuasaan mereka.
Kemudian bangkitlah orang ketiga, yaitu Utsman yang menuruti tuntunan mereka. Kau dan temanmu berbicara tentang kerusakan­kerusakan yang dilakukan Utsman agar orang­orang yang berdosa di propinsi­propinsi mengembangkan maksud­maksud buruk terhadapnya dan engkau bangkit melawannya. Engkau menunjukkan permusuhanmu kepadanya untuk mencapai keinginan-­keinginanmu sendiri.
Hai putra Abu Bakar, berhati­hatilah atas apa yang engkau lakukan. Jangan menempatkan dirimu melebihi apa yang dapat engkau urusi. Engkau tidak akan dapat menemukan seseorang yang mempunyai kesabaran yang lebih besar dari gunung, yang tidak pernah menyerah kepada suatu peristiwa. Tak ada yang dapat menyamainya.
Ayahmu bekerja sama dengan dia dan mengukuhkan kekuasaannya. Bila kaum katakan bahwa tindakanmu benar, (maka ketahuilah) ayahmulah yang mengambil alih kekuasaan ini dan kami menjadi sekutunya. Apabila ayahmu tidak melakukan hal ini, maka kami tidak akan sampai menentang anak Abu Thalib dan kami akan sudah menyerah kepadanya.
Tetapi kami melihat bahwa ayahmu memperlakuk an dia seperti ini di hadapan kami, dan kami pun mengikutinya; maka cacat apa pun yang akan kau dapatkan, arahkanlah itu kepada ayahmu sendiri, atau berhentilah dari turut campur.

Salam bagi dia yang kembali.

>> Abu Dzar dengan Muawiyah
Ketika Abu Dzar "disuruh" Uthman untuk ke Syria, ia malah melihat kegiatan Muawiyah lebih buruk dari Uthman dan Marwan. dan tak henti-hentinya ia berdakwah dan menegur ketidakberesan dalam pemerintahan Uthman. Ia pun dipanggil Muawiyah, Muawiyah berkata, Wahai musuh Allah! engkau menghasut orang menentang aku dan berbuat sesukamu. Apabila aku sampai membunuh sahabat nabi tanpa izin khalifah maka engkaulah orangnya." Abu Dzar pun menjawab, "Saya bukan musuh Allah atau nabi-Nya. Justru kau dan ayahmulah yang musuh Allah. Kamu berdua masuk Islam secara lahiriah, sementara kekafiran masih tersembunyi dalam hatimu." Ia tidak memperdulikan ancaman Muawiyah dan terus berdakwah kepada masyarakat Syria. Muawiyah lantas melaporkan kegiatan Abu Dzar pada Uthman.

>> Abu Dzar dengan Uthman
Tatkala Abu Dzar memprotes kemewahan hidup Muawiyah di Syria. Muawiyah lapor ke Uthman dan Uthman pun "memanggil" Abu Dzar ke Madinah disertai tentara dan menunggang unta yang pelananya tidak diberi alas. Ketika Uthman melihat Abu Dzar, ia langsung memprotes kegiatan sahabat nabi ini. Abu Dzar menjawab, Saya mengharapkan kebaikan bagi anda, tetapi anda malah menipu saya. begitu pula, saya mengharapkan kebaikan teman anda (Mu'awiyah) tetapi ia pun menipu saya.
Uthman berkata, engkau pembohong, engkau hendak menimbulkan kerusuhan. engkau menghasut seluruh rakyat Syria menentang kami.
Abu Dzar menjawab, Anda harus mengikuti langkah-langkah Abu Bakar dan Umar. apabila anda berbuat demikian tak akan ada orang yang mengatakan sesuatu terhadap anda.
Uthman menjawab, Semoga ibumu mati! Apa hubungan anda dengan urusan ini?
Abu Dzar menjawab, Sepanjang menyangkut diri saya, tak ada pilihan selain menyuruh manusia berbuat baik dan mencegah mereka dari kejahatan.
Tak bisa membendung amar makruf nahi munkar Abu Dzar, Uthman akhirnya kemudian membuang Abu Dzar ke Rabadzah, daerah tandus yang tidak dihuni manusia, hewan, maupun ditumbuhi tanaman. Ia juga melarang masyarakat menyaksikan kepergiannya. Orang tak berani mengantarnya, kecuali lima orang; Ali, Aqil, Hasan, Husein, serta Ammar bin Yasir.

>> Aisyah dengan Uthman
Dalam perjalanan pulang ke Madinah, Aisyah bertemu dengan Abd ibn Abi Salma, keluarga jauh dari pihak ibunya, yang menginformasikan kematian Uthman dan naiknya Ali sebagai Khalifah. Ibn Abi Salma menceritakan bahwa masyarakat Madinah telah menunggu selama delapan hari setelah kematian Uthman, sebelum mereka dengan bijak semua sepakat atas Ali bin Abi Thalib. Aisyah berseru, Langit akan runtuh ke bumi sebelum masalah ini diputuskan bagi sahabatmu (Ali). Bawa aku kembali ke Makkah! Ia kemudian menyatakan, Demi Allah, Uthman terbunuh secara tidak sah! Dan aku pasti akan menuntut balas atas darahnya. Ibn Abi Salma mengingatkannya bahwa Aisyahlah yang pertama menghasut masyarakat menentang Uthman dengan mengatakan, Bunuhlah Na'tsal (yaitu orang tua Yahudi berjenggot)itu, karena ia telah membuang iman / kafir. Aisyah menyatakan bahwa masyarakatlah, setelah membuat Uthman bertobat, yang kemudian membunuhnya secara tidak sah. Aku berbicara dan mereka berbicara, lanjutnya, tetapi ucapanku yang terakhir lebih baik daripada ucapanku yang pertama. lelaki itu menukas, Kamu memerintahkan kami membunuh imam dan kami menaatimu dan kami membunuhnya. namun, kami yakin bahwa pembunuhnya yang sebenarnya adalah orang yang memerintahkannya."

>> Abd Rahman bin Awf dengan Uthman
ketika terjadi penyelewengan dalam kekhalifahan Uthman, kaum muhajirin dan anshar dengan marah menuduh Abd Rahman bin Auf atas perilaku Uthman yang tidak dapat dipahami. kemudian Ibn Awf mencela Uthman dengan mengatakan, Aku mengutamakanmu dengan syarat bahwa kamu memperlakukan kami sesuai dengan praktik Abu Bakar dan Umar. namun, kamu berlawanan dengan keduanya, dan lebih menyukai keluarga dekatmu dan menempatkan mereka di leher kaum muslim. Uthman menjawab, Umar menjauhkan keluarga dekatnya demi ridha Tuhan, dan aku memberikan hadiah yang dermawan kepada keluarga dekatku juga demi ridha Tuhan. Abd Rahman menukas marah, Aku bersaksi kepada Allah bahwa aku tidak akan berbicara kepadamu setelah ini. Karena itulah, ketika Uthman menengoknya di ranjang kematiannya, ibn Awf memalingkan wajahnya ke tembok dan menolak berbicara dengan Uthman.

>> Abdullah bin Mas'ud dengan Uthman
Ketika terjadi ketidakberesan pada kekhalifahan Uthman bin Affan. Ia banyak mengeritik kebijakan Uthman. misalnya, ia pernah berkata, "Di mata Allah, Uthman tidak berharga walaupun sebesar bulu lalat." Walid bin Uqbah, Gubernur Kufah memberitahukan hal tersebut kepada Uthman, lalu Uthman memanggil Ibn Mas'ud ke Madinah. Ibn Mas'ud sampai di Madinah pada Jumat malam. ketika Uthman mengetahui kedatangannya, ia menyuruh rakyat berkumpul ke masjid lalu ia berkata, Lihatlah, sedang menuju kalian seekor binatang hina (kadal), yang menginjak-injak makanan, muntahan dan kotorannya. Ibn Mas'ud berkata, saya tidak seperti itu. Yang pasti saya adalah seorang sahabat Nabi saw. saya bersama beliau dalam perang Badar dan ikut serta dalam bayt Ridwan. Aisyah berteriak dengan keras dari rumahnya, Uthman! engkau mengucapkan kata-kata seperti itu kepada sahabat Nabi! Orang lain juga tidak menyukai kata-kata Uthman itu dan menyatakan kemarahannya. Atas perintah Uthman, para pegawainya dan budaknya mengusir Ibn Mas'ud keluar masjid dengan cara yang sangat kasar. mereka menyeretnya ke gerbang masjid dan melemparkannya ke tanah. lalu mereka memukulnya sehingga ia mengalami patah tulang, dan dari situ ia digotong ke rumahnya seperti orang yang sudah meninggal. selain itu Uthman juga menghentikan pemberian tunjangan yang biasa diterimanya dari baitul mal, memutus segala sumber rezekinya serta melarang orang menjenguknya. Pada saat akhirnya, Abdullah bin Mas'ud berpesan kepada Ammar supaya Uthman tidak melakukan solat jenazah ke atasnya nanti.

>> Ammar dengan Uthman
Diriwatakan bahwa ada kotak di baitul mal yang berisi perhiasan dan permata. Uthman mengambil perhiasan tersebut dari baitul mal dan memberikannya kepada salah seorang istrinya. masyarakat merasa keberatan atas tindakan Uthman itu dan mengeritiknya dengan keras sehingga Uthman menjadi berang. Kepada jamaah ia berkata di atas mimbar, Saya akan mengambil apa saja yang saya sukai dari harta rampasan perang dan saya tidak peduli bila ada yang tidak menyukainya. Atasnya Ali berkata, kalau begitu, anda akan dicegah dari berbuat begitu dan sebuah dinding akan didirikan antara anda dan baitul mal. Ammar berkata, Ya Allah saksikanlah bahwa saya adalah orang pertama yang tidak menyukai penyelewengan ini. Kemudian uthman berkata, hai Ammar, alangkah beraninya engkau berbicara melawan saya! tangkap dia!
Tiba-tiba Marwan berdiri seraya berkata kepada Uthman, Wahai Amirul Mukminin! Budak ini telah menghasut rakyat menentang anda. bila anda membunuhnya maka orang lain akan mendapat pelajaran. Ammar kemudian dipukuli ramai-ramai oleh tongkat Uthman dan anggota Bani Umayyah kemudian melemparkannya ke jalan saat tengah hujan lebat.

>> Thalhah bin Ubaidillah dengan Uthman
pada suatu kesempatan Ali mendatangi Thalhah dan melihat sekumpulan pemberontak berkumpul di sekelilingnya. Ia merasa bahwa Thalhah memegang peranan penting dalam pengepungan rumah Uthman dan berniat membunuhnya. Ali menegurnya, Wahai Thalhah! Apa yang anda lakukan kepada Uthman. Ali juga berusaha mencegah Thalhah melakukan kegiatannya namun Thalhah menolak nasihatnya. Ali kemudian pergi ke baitul mal hendak membukanya, tetapi tidak ada kuncinya. maka pintu baitul mal itu dibongkar atas perintahnya lalu ia membagi-bagikan semua uang yang ada disana kepada orang-orang yang dikumpulkan Thalhah untuk membunuh Uthman. Tatkala Uthman mengetahui peristiwa ini dia sangat senang dan menyadari bahwa tak seorang pun yang setulus, sesimpatik dan semahir Ali dalam menyelesaikan permasalahan muslimin.
Kemudian Thalhah mendatangi Uthman dan meminta maaf, lalu berkata, "Saya bertobat di hadapan Allah. Saya telah bertekad melakukan sesuatu tetapi Allah menggagalkannya". Uthman berkata, "Anda datang ke sini bukan sebagai orang yang bertobat, melainkan sebagai orang yang menjadi tak berdaya. semoga Allah menghukum anda!."

>> Abd Rahman bin Abu Bakar dengan Marwan bin Hakam
Ketika Marwan menjadi gubernur Muawiyah di Hijaz, ia meminta rakyat untuk membaiat Yazid. Abd Rahman bin Abu Bakar memprotes Marwan sambil berkata, Kalian menginginkan kekuasaan ini seperti kekuasaan Heraclius! Marwan marah dan menyuruh orang menangkap Abd Rahman. Ia lari ke kamar Aisyah, saudaranya. Marwan berkata, ayat al-Qur'an alladzi qala liwalidayhi uffin lakum turun tentang Abd Rahman. Mendengar tersebut, Aisyah berkata di balik hijab menolak asbab nuzul ayat tersebut.
(riwayat ini disebutkan di sahih Bukhari dengan mengaburkan perkataan Abd Rahman ke Marwan dalam kitab al-Tafsir bab alladzi qala liwalidayhi uff (surah al-Ahqaf))

>> Aisyah, Thalhah, Zubair dengan Usman bin Hunaif
Ketika Aisyah dengan pasukan jamalnya memaksa masuk Basrah pada suatu malam. mereka membunh banyak orang di masjid. kemudian mereka masuk ke rumah Usman bin Hunaif (gubernur Basrah) dan memperlakukannya dengan sangat buruk.
Thalhah dan Zubair sangat menyesali perlakuan pasukannya kepada Usman bin Hunaif karena dia pun salah seorang sahabat Nabi saw. Mereka menghadap Aisyah dan menyatakan kesedihan mereka atas kejadian tersebut. Sebagai jawabnya, Aisyah menginstruksikan supaya Usman bin Hunaif dibunuh. Tatkala perintah tersebut hampir dilaksanakan, seorang wanita berteriak histeris, Wahai ummu al-Mukminin! Demi Allah, kasihanilah anak Hunaif. hormatilah kedudukannya sebagai sahabat Nabi. Aisyah berpikir sejenak lalu berkata, "Baiklah, jangan bunuh dia, tetapi jadikan dia tawanan."
Namun salah seorang tentara Aisyah berkata, Pukullah dia keras-keras dan cabutlah janggutnya. para tentara kemudian memukulnya tanpa belas kasihan, mencabut rambut kepalanya, janggutnya, bulu matanya dan alisnya lalu memenjarakannya.

>> Khalid bin Walid dengan Umar
Singkat cerita Khalid membunuh Malik bin Nuwairi untuk memperoleh harta rampasan dan melecehkan kehormatan istrinya yang sangat cantik. tatkala kabar tersebut sampai kepada Abu Bakar, khalifah waktu itu merasa sedih dan mengucapkan, "Harta rampasan perang telah membuat orang-orang Arab serakah dan Khalid telah melanggar perintah saya."
Ketika Khalid menghadap Abu Bakar, ia membawa tiga anak panah di serbannya. Ketika Umar melihatnya, ia berkata, "wahai Musuh Allah! semua perbuatanmu ini adalah perbuatan munafik. Demi Allah, bila aku menguasaimu maka aku akan merajammu sampai mati. Ia lalu merenggut anak panah yang ada di serban Khalid lalu mematahkannya. Khalid tidak berani bicara apa-apa karena ia mengira bahwa Umar bertindak sesuai dengan perintah Abu Bakar.
Kemudian Khalid menemui Abu Bakar dan mengajukan dalih kepadanya. Abu Bakar percaya dan menerima alsan Khalid. Ketika mendengar berita ini, ia mendorong Abu Bakar untuk menghukum Khalid atas pembunuhan Malik. Abu Bakar berkata, "Wahai Umar! sebaiknya anda diam. Khalid bukan orang pertama yang melakukan kesalahan dalam masalah hukum."

dan banyak lagi riwayat lainnya, terutama sejak masa kekhalifahan Uthman. Semoga Tuhan merahmati kita semua.



Source: Wafat Rasulullah & Suksesi Sepeninggal Beliau di Saqifah, karya O. Hashem; The Crisis of Muslim History karya Mahmoud M. Ayoub; Suara Keadilan karya George Jordac; khulafa' rasyidin di antara nas dan ijtihad. di buku-buku tersebut anda akan menemukan rujukan primernya.

These icons link to social bookmarking sites where readers can share and discover new web pages.
  • Digg
  • Sphinn
  • del.icio.us
  • Facebook
  • Mixx
  • Google
  • Furl
  • Reddit
  • Spurl
  • StumbleUpon
  • Technorati

Para Sahabat di Ambang Kematian

Cukuplah mati sebagai pelajaran, demikian sabda yang pernah diucapkan Rasulullah saw. Berikut ini beberapa riwayat yang menceritakan akhir hidup para sahabat yang mencerminkan karakter "unik" masing-masing. Semoga kita semua dapat mengambil pelajaran, hikmah dari kematian. Amin

Hasan bin Ali
Raqabah bin Mushaqalah berkata, "Pada saat menjelang wafat, al-Hasan bin Ali berkata, "Keluarkanlah aku ke padang pasir, agar aku bisa melihat kerajaan langit. ketika telah dikeluarkan di padang pasir, ia berkata, "Ya Allah, sesungguhnya aku hanya mengharapkan balasan untuk diriku dari sisi-Mu."

Salman al-Farisi
al-Sya'bi berkata, al-Khazal bercerita kepadaku dari Baqirah, istri Salman, katanya, "Menjelang wafatnya, Salman memanggilku, ketika itu ia berada di kamar atas yang memiliki emapt pintu. Ia berkata, "Bukalah pintu-pintu ini wahai Baqirah! karena hari ini aku akan kedatangan tamu yang aku tidak tahu dari manakah mereka akan masuk menemuiku".
Kemudian ia meminta misik (minyak wangi) miliknya. Ia berkata, "Campur dan larutkanlah dalam bejana kecil!" maka saya pun melakukannya. kemudian ia berkata, "Percikkanlah di sekitar kasurku. Kemudian turunlah barang sebentar. setelah itu, tengok dan lihatlah aku di atas ranjangku ini! Akupun menuruti permintaannya untuk turun. kemudian kembali ke atas untuk menengoknya. Ternyata saat itu ia telah meninggal, seakan-akan ia sedang tidur di atas kasurnya."
Dalam riwayat lain, Rasulullah memberikan keistimewaan kepada Salman bahwa sebelum ia meninggal dunia, ia akan diberi kesempatan untuk berjumpa dengan orang-orang di alam barzakh. Maka menjelang hari kematiannya, ia meminta dibungkus dengan kain kafan, dibawa di atas keranda kemudian dibaringkan di kuburannya. Dan ketika ia berbaring di kuburan itu, Salman kemudian memanggil para penghuni kubur, “Rasulullah pernah berwasiat kepadaku bahwa ada di antara kalian yang akan berkata kepadaku pada saat-saat aku akan meninggalkan dunia ini.” Dan datanglah penghuni kubur. Terjadi dialog antara Salman dengan penghuni kubur. Dan katanya ada semacam takhayul di kalangan para ulama, kalau riwayat itu dibacakan di hadapan umum, itu yang membaca riwayat itu tidak lama sesudah membacanya akan meninggal dunia. (bagi yang tahu emailkan ke ghoelam1984@gmail.com, jika takut cukup sebutkan sumbernya saja biar aku cari sendiri)

Ammar bin Yasir
Abu Sinan ad-Duali berkata, "Saya melihat Ammar bin Yasir meminta minum. maka didatangkanlah kepadanya segelas susu. Lantas ia meminumnya dan berkata, "Sungguh benarlah Allah dan rasul-Nya. Pada hari ini aku akan menemui kekasih-kekasihku, Muhammad dan para pengikutnya. Sungguh Rasulullah pernah berkata kepadaku, "Sesungguhnya sesuatu yang terakhir kali akan engkau ambil dari dunia ini adalah minuman susu." Demi Allah sekiranya musuh mampu mengalahkan kita, kita tetap yakin bahwa kita berada di atas kebenaran sedangkan mereka berada di atas kebatilan."
Selain itu ada sabda terkenal Nabi saw tentang Ammar, yaitu "Ammar, engkau akan dibunuh oleh golongan pendurhaka". Kemudian dalam perang Shiffin, ia menjadi syahid dalam memerangi pasukan Mu'awiyah.

Bilal bin Rabah
Sa'id bin Abdul Aziz berkata, "Pada saat menjelang wafat, Bilal berkata, Besok kami akan berjumpa dengan para kekasih, yaitu Muhammad dan para pengikutnya". Isterinya berkata, "Oh, Bilal!" Sedangkan Bilal berkata, "Bergembiralah!"

Hudzaifah bin Yaman
Ziyad, maula ibn Abbas berkata, "Saya mendapat cerita dari orang yang mengunjungi Hudzaifah tatkala ia sakit yang membawanya pada kematian. Hudzaifah berkata, "Jika aku tidak melihat bahwa hari ini adalah hari terakhir dari hidupku di dunia dan hari pertama hidupku di akhirat, niscaya aku tidak berbicara tentangnya. Ya Allah, sesungguhnya engkau mengetahui bahwa aku lebih mencintai kefakiran daripada kekayaan, lebih mencintai keterhinaan daripada keterhormatan, dan lebih mencintai kematian daripada kehidupan. Yang mencintai datang dalam kefakiran. Orang yang menyesal tidak akan memperoleh apa yang dicarinya."
Asad bin Wada'ah berkata, "Ketika Hudzaifah mengalami sakit yanng membawanya pada kematian, ia ditanya, "Apa yang engkau inginkan? Ia menjawab, "Aku menginginkan Surga." Mereka bertanya, "Apakah yang engkau keluhkan? Ia menjawab, "Tabib telah membuatku sakit. aku telah hidup di tengah-tengah kalian dengan tiga watak, yaitu kefakiran pada kalian lebih kucintai daripada kekayaan, kerendahan pada kalian lebih kucintai daripada kemuliaan, dan sesungguhnya orang yang memujiku maupun yang mencelaku dalam kebenaran bagiku adalah sama." Kemudian ia berkata, "Apakah kita telah masuk waktu pagi? Mereka menjawab, "Ya" Ia berkata, "Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari waktu pagi di neraka. orang yang menyesal tidak akan memperoleh apa yang dicarinya."

Abu Dzar al-Ghifari
Ia wafat di pengasingan karena sering mengeritik kebijakan Kekhalifahan Utman bin Affan. al-Asytar berkata dari Ummu Dzar, "Pada saat Abu Dzar sakit menjelang wafatnya, istrinya menangis. Maka Abu Dzar bertanya, "Mengapa engkau menangis? Istrinya menjawab, "Aku menangis karena tidak ada yang membantuku mengafanimu. padahal aku tidak mempunyai pakaian yang cukup untuk mengafanimu dan engkau pun tidak mempunayi pakaian untuk itu". Abu Dzar berkata, 'kalau begitu janganlah menangis. sesungguhnya aku pernah mendengar Rasulullah saw bersabda kepada sekelompok orang yang aku berada di antara mereka. "Sungguh, salah seorang dari kalian akan mati di padang sahara dengan disaksikan oleh sekelompok orang Mukmin". Semua yang mendengar sabda Nabi itu telah wafat di suatu desa atau dihadapan masyarakat muslim, kecuali aku. Akulah yang dimaksud, yang akan mati di padang sahara. Demi Tuhan, aku tidak berbohong dan tidak pula dibohongi. maka lihatlah ke jalan! isterinya bertanya, "Buat apa? Bukankah sudah tidak ada lagi orang yang berhaji?"
Isterinya segera menuju ke sebuah bukit pasir, berdiri di atasnya dan memandang. beberapa saat kemudian ia kembali kepada Abu Dzar untuk merawatnya. selang beberapa saat ia kembali lagi ke bukit pasir. Tiba-tiba di kejauhan tampak bayangan orang yang berjalan di atas kendaraan mereka, seolah-olah seperti burung rakham. Istri Abu Dzar melambai-lambaikan kain. maka mereka mendatangi dan berdiri di hadapannya. mereka bertanya, "Ada apakah dengan dirimu? ia balik bertaanya, "Maukah kalian mengafani seseorang dari kaum muslimin? Mereka bertanya "siapakah dia? ia menjawab "Abu Dzar"
Mereka segera memberangkatkan unta mereka dan melecutkan ce,meti ke lehernya. mereka berpacu mendatangi Abu Dzar. Abu Dzar berkata, "Bergembiralah!" Kemudian Abu Dzar bercerita kepada mereka, "Sesungguhnya saya pernah mendengar Rasulullah saw bersabda kepada sejumlah orang yang aku berada di antara mereka. "Sungguh, salah seorang dari kalian akan mati di padang sahara dengan disaksikan oleh sekelompok orang Mukmin". semua yang mendengar sabda Nabi itu telah wafat di suatu desa atau dihadapan masyarakat muslim, kecuali aku. Apakah kalian bisa mendengar? Sungguh seandainya aku atau isteriku mempunyai kain yang cukup untuk mengkafaniku, niscaya aku tidak akan menggunakannya sebagai kafanku selain kainku atau kain isteriku ini. Apakah kalian bisa mendengar? Sungguh aku menyumpah kalian dengan nama Allah dan Islam, jangan sampai salah seorang dari kalian mengkafaniku sedangkan ia pernah menjadi amir, syarif/pemimpin, naqib, atau kurir. Maka tidak ada di antara orang tersebut yang tidak pernah menjadi salah satu dari apa yang disebutkan. "Aku akan mengkafanimu dengan selendang yang kukenakan ini, dan dengan dua kain lagi yang berada di dalam tas kulitku yang dipintal dan ditenun ibuku sendiri untuk diriku." Akhirnya, pemuda itulah yang mengkafaninya dengan disaksikan sejumlah orang tersebut, di antara mereka adalah Hajar bin Adbar, Malik bin Asytar dan sejumlah orang yang semuanya dari Yaman.

Hujr bin Adi al-Kindi
Ia ditangkap pada masa Mu'awiyah dengan tuduhan melakukan kerusuhan, mengeritik kebijakan2 yang tidak sesuai yang dilakukan pada masa Uthman maupun dinasti Umayyah. Disebutkan bahwa ketika akan dibunuh, ia berkata, "Biarlah aku wudhu" mereka menjawab, Berwudhulah. kemudian ia berkata, Biarkanlah aku melaksanakan shalat dua rakaat. Maka ia pun melaksanakan shalat dua rakaat pendek. Kemudian ia berkata, "Sekiranya aku tidak khawatir mereka akan mengatakan bahwa aku cemas karena akan mati, niscaya aku memanjangkan kedua rakaat shalat tersebut. Ia melanjutkan, Kedua rakaat tersebut telah didahului banyak shalat.
kemudian mereka menggiringnya untuk dibunuh. mereka telah menggali kubur dan meyipakan kafan untuknya dan untuk sahabat-sahabatnya yang ditangkap dengan tuduhan sama. kemudian dikatakaan kepadanya, "engkau telah berkata bahwa engkau tidak gentar". Hujr menjawab, "Aku tidak akan gentar walaupun telah kulihat kubur yang telah tergali, kafan yang telah terbentang, dan pedang yang telah terhunus!"
Kemudian algojo maju ke hadapannya dan berkata, ulurkan lehermu! Ia menjawab, Aku tidak akan membantu pembunuhan terhadap diriku. maka algojo itu memenggal dan membunuhnya.

Sa'ad bin Abi Waqqash
Al-Zuhri berkata, ketika menjelang wafat, Saad bin Abi Waqqash minta untuk diambilkan sebuah jubah wol usang. Ia berkata, kafanilah aku dengannya, karena sesungguhnya aku menggunakannya ketika menghadapi orang-orang musyrik di Badar. Makanya, ia kusimpan untuk hari ini."
Mush'ab bin Saad berkata, Kepala ayahku berada di pangkuanku ketika ia hampir wafat. maka mengucurlah air dari kedua mataku. ia melihatku lalu berkata, Mengapa engkau menangis anakku? Aku menjawab, karena keadaan ayah dan apa yang kulihat pada diri ayah. Ia berkata, janganlah menangisiku. Sungguh Allah tidak akan mengazabku sama sekali, aku akan termasuk ahli surga. Sesungguhnya Allah akan membalas kebaikan-kebaikan orang-orang mukmin, selama mereka beramal karena Allah.
Sa'ad berkata, "Adapun orang-orang kafir, mereka mendapaatkan keringanan azab karena kebaikan-kebaikan mereka. Bila kebaikan-kebaikan mereka telah habis, Allah berfirman, "Hendaklah masing-masing orang yang beramal meminta pahala dari siapa yang menjadi tujuannya dalam beramal."

Sa'd bin Ubadah
Dan dalam Usdu ‘I­Ghabah:
“Sa’d tidak membaiat Abu Bakar dan Umar. Ia pergi ke Syam dan tinggal di Hauran sampai meninggal tahun 15 Hijriah. Tidak diragukan lagi ia meninggal di tempat mandinya. Tubuhnya telah menghijau dan orang tidak mengetahui bahwa ia telah meninggal sampai mereka mendengar suara orang yang tidak kelihatan berasal dari sumber air.
Ahli-­ahli sejarah mengatakan bahwa jinlah yang membunuh Sa’d: “Jin-­jin yang beriman tidak menyukai Sa’d bin ‘Ubadah melawan Abu Bakar, maka jin­-jin itu pun membunuhnya.” Namun sebagian riwayat menyebutkan ia dibunuh utusan Khalifah karena tidak membaiat pada Khalifah Abu Bakar dan Khalifah Umar.

Aisyah, Ummu al-Mukminin
Diriwayatkan bahwa ketika menjelang wafat, Aisyah merasa gelisah. maka ada yang bertanya kepadanya, "Mengapa engkau gelisah, wahai Ummu al-Mukminin, sedangkan engkau adalah istri Rasulullah saw, ibu bagi kaum mukminin, dan puteri dari Abu Bakar al-Shidiq?
Aisyah menjawab, "Sesungguhnya hari perang Jamal 'melintang di kerongkonganku' ... duh alangkah baiknya jika aku menjadi barang yang tak berarti lagi dilupakan."
Ibn Sa'ad juga telah meriwayatkan di dalam Tabaqatnya, VIII, hlm. 51, dengan sanadnya dari Ismail bin Qais bahawa dia berkata:"Aisyah ketika wafatnya berkata: Sesungguhnya aku telah melakukan bid'ah-bid'ah (Ahdathtu) selepas Rasulullah SAW, maka kebumikanlah aku bersama-sama isteri Nabi SAW." yang dimaksudkan olehnya mungkin "Jangan kalian mengkebumikan aku bersama Rasulullah SAW karena aku telah melakukan bid'ah-bid'ah selepasnya.

Abdullah bin Umar
Said bin Zubair berkata, Ketika menjelang wafat, Ibnu Umar berkata, "Aku tidak merasa sedih terhadap dunia kecuali tiga hal saja: kehausan di tengah hari, kepayahan di malam hari, dan diriku belum memerangi kelompok yang berbuat aniaya (Muawiyah)."

Abdurrahman bin Auf
Abu Umar berkata, pada saat menjelang wafat, Abdurrahman bin Auf menangis keras. Maka ia ditanya mengapa sampai menangis. Ia menjawab, "Sesunguhnya Mus'ab bin Umair dahulu lebih baik daripada aku. Ia wafat di masa Rasulullah saw, sedangkan ia tidak mempunyai kain yang bisa untuk mengafani dirinya. Hamzah bin Abdul Muthalib juga lebih baik daripadaku. Ia wafat di masa Nabi saw, sedangkan ia tidak mempunyai kain kafan. Aku khawatir kalau aku ini termasuk orang yang disegerakan kebaikannya di dunia. Aku khawatir ditahan dari sahabat-sahabatku (di Akhirat) dikarenakan banyaknya hartaku."

Abu Darda
Ummu Darda berkata, Ketika Abu Darda menjelang wafat, ia berkata, Siapakah yang beramal untuk menghadapi seperti hariku ini? Siapakah yang beramal untuk menghadapi saat-saat seperti ini? Siapakah yang beramal untuk menghadapi tidur seperti yang kualami ini? Kemudian ia mengucapkan,
"Dan Allah memalingkan hati dan penglihatan mereka seperti mereka belum pernah beriman kepadanya pada permulaannya, dan Kami biarkan mereka bergelimang kesesatan yang sangat." (al-An'am: 110)

Thalhah bin Ubaidillah
Ketika perang Jamal antara Ali dengan Aisyah, Thalhah, Zubair terus berkecamuk, Konon Marwan bin Hakam, yang ketika itu berada di sana, membidikkan anak panah ke Thalhah. Ia berteriak, Demi Allah, aku tidak akan menuntut darah Uthman setelah hari ini!. Sedang Thalhah sendiri ketika roboh, berkata, "Aku tidak pernah melihat kehidupan seorang pemuka Quraisy berakhir begitu sia-sia seperti kehidupanku. Karena, Demi Allah, aku tidak pernah mengambil suatu pendirian atas sesuatu sebelumnya kecuali aku tahu tempat berpijaknya, kecuali pendirian saat ini."

Zubair bin Awwam
Tatkala ia meninggalkan perang Jamal yang berlangsung, Zubair diburu dan dibunuh oleh seorang suku Tamim atas suruhan Al-Ahnaf bin Qais, seorang pemuka Anshar dan salah seorang pendukung Ali, yang mengecam Zubair dengan mengatakan, "Aku tidak pernah melihat orang seperti ini! Ia menyeret Istri Rasulullah yang tak boleh diganggu keluar dari perlindungannya, melanggar kesucian tabir yang diletakkan Rasulullah di seputar istrinya di rumah beliau, kemudian ia menelantarkannya dan kabur begitu saja. Tidak adakah orang yang akan menghukumnya dengan murka Tuhan?

Khalid bin Walid
Abu Zinad berkata, "Ketika menjelang wafat, Khalid menangis. ia berkata, Aku telah menjumpai begini dan begini dalam peperangan padahal tidak sedikitpun dari bagian tubuhku terdapat goresan pedang atau tembakan panah. lihatlah, sekarang aku mati di atas ranjangku seperti kematian keledai. takkan terpejam mata orang-orang pengecut."
Abu Wail berkata, "Ketika menjelang wafat, Khalid berkata, "Aku telah berusaha mati terbunuh di medan laga, tetapi ternyata aku ditakdirkan mati di atas ranjang. tak satupun dari amalku setelah tauhid yang lebih kuharapkan, kecuali sebuah malam yang kujalani dengan berjaga-jaga, bersama langit yang menerangiku dengan bulan sabit, menunggu pagi untuk menyerang musuh."

Mu'awiyah bin Sufyan
Abu Amru bin 'Ala berkata, ketika menjelang wafat, Mu'awiyah ditanya, "Tidakkah engkau berwasiat? ia berkata, "Ya Allah, hapuskanlah kesalahan, maafkanlah kekeliruan, dan ampunilah dengan sifat santun-Mu kebodohan orang yang tidak berharap kepada selain-Mu ini, karena tiada tempat kembali kecuali Engkau."
Ia berkata, "Dialah kematian, tiada tempat untuk menyelamatkan diri darinya, dan yang akan kita jumpai setelah mati lebih dahsyat dan mengerikan."
Abdul Malik bin Umair berkata, "Ketika Mu'awiyah dalam keadaan kritis, ia berkata, "berilah celak pada mataku dan perbanyaklah minyak pada kepalaku". Maka mereka melakukannya dan merias wajahnya dengan minyak. ia diterlentangkan, lalu didudukkan dan disandarkan.
Kemudian ada seseorang yang masuk dan berkata, "Dia (Mu'awiyah) merasa bahwa ia saat ini adalah orang yang paling benar." ketika mereka telah keluar, Mu'awiyah berkata, "Kutunjukkan ketabahanku kepada orang-orang yang bergembira dengan bencana yang menimpaku. Aku tidak menyerah pada perubahan masa bila kematian telah mencengkeramkan kuku-kukunya. kau dapati semua jimat tiada berguna."

Abu Hurairah
Salim bin Basyar bin Juhal berkata, Abu Hurairah menangis menjelang wafat. maka ada yang bertanya, Mengapakah engkau menangis? ia menjawab, "Sessungguhnya aku menangis karena jauhnya perjalananku, sementara bekalku sedikit. Sungguh aku akan melalui jalan yang berujung ke surga atau neraka. Aku tidak tahu, manakah di antara keduanya yang akan diberikan kepadaku."

Amr bin Ash
al-Hasan berkata, saya mendengar bahwa menjelang wafatnya, Amr bin Ash memanggil para pengawalnya, lalu berkata, "Lindungilah aku dari kematian!" Mereka bertanya, "Kami tidak menyangka engkau berkata seperti itu!" Amr berkata, Aku mengatakannya dengan kesadaran penuh. Wahai berbahagialah putera Abu Thalib, ketika ia berkata, Seseorang itu dikawal oleh ajalnya.
Kemudian ia berkata, Ya Allah, aku tidak bisa beralasan untuk melepaskan diri dari kesalahan, tidak ada satu pun yang perkasa untuk kumintai pertolongan. dan jika rahmat-Mu tidak Kau limpahkan kepadaku, pastilah aku termasuk orang-orang yang celaka.
Amr bin Ash berkata kepada puteranya, jika aku mati, mandikanlah aku dengan air, lalu keringkan tubuhku. Kemudian mandikanlah aku yang kedua kali dengan air yang dicampur dengan kapur barus, kemudian keringkanlah. bungkuslah aku dengan beberapa kafan, lalu ikatkanlah. sebab aku akan dimintai pertanggungjawaban! Bila engkau telah menaruhku di atas keranda, bawalah aku berjalan di antara dua orang. Ambil posisi di belakang jenazah, karena bagian mukanya untuk malaikat dan bagian belakangnya adalah untuk anak Adam. Jika engkau telah meletakkanku di atas kubur, taburilah aku dengan tanah!
Kemudian ia berkata, Ya Allah, sesungguhnya Engkau telah memerintah kami, tapi kami melalaikannya, Engkau telah melarang kami, tapi kami melanggarnya, maka tidak ada alasan bagiku untuk membela diri dan tidak ada yang perkasa yang bisa kumintai pertolongan, dan tidak ada Tuhan melainkan Allah. Ia terus menerus mengucapkannya hingga wafat.


Source: Tokoh-tokoh di Ranjang Kematian, karya Yusuf Ali Budawi; The Crisis of Muslim History, karya Mahmoud M. Ayoub; http://www.jalal-center.com; Khulafa' rasyidin di antara Nas dan ijtihad.

These icons link to social bookmarking sites where readers can share and discover new web pages.
  • Digg
  • Sphinn
  • del.icio.us
  • Facebook
  • Mixx
  • Google
  • Furl
  • Reddit
  • Spurl
  • StumbleUpon
  • Technorati

Mengapa Ali ditolak sebagai Khalifah oleh para sahabat lainnya

Dalam beberapa literatur tarikh disebutkan bahwa ada beberapa alasan yang diajukan para sahabat untuk menolak pengangkatan Ali _yang disebut dalam sabda Nabi bahwa hanya orang munafiklah yang membencinya_sebagai khalifah, dimulai saat perpecahan di Saqifah sampai pada konfik Ali dengan Muawiyah.

Abu Ubaidah, Umar beralasan bahwa Ali terlalu muda untuk jabatan yang begitu mulia dan tidak berpengalaman dan berilmu seperti mereka dalam pemerintahan. ingat, padahal sebelum kewafatan Nabi, beliau mengangkat Usamah bin Zaid (17 Th) sebagai panglima perang bagi kaum muslim, termasuk di dalamnya Abu Bakar, Umar dan semua tokoh utama dalam Saqifah ke Mu'tah, sedangkan Ali dipertahankan di Madinah. Mengapa begitu? anda pasti tahu jawabannya.

Umar beralasan Quraish tidak menginginkan kenabian dan kekhalifahan berkumpul sekaligus di tangan Bani Hasyim, karena khawatir kalian akan menjadi sombong dan angkuh; maka kaum Quraish telah memilih sendiri khalifah, dan tindakan mereka, menurut Umar hal ini sungguh tepat dan benar.
Alasan ini dijawab Ibn Abbas, bahwa kaum Quraisy telah memilih sendiri seorang khalifah, dan bahwa itu adalah pilihan yang tepat dan benar, maka sebenarnya yang lebih tepat dan benar ialah apabila mereka mengikuti apa yang telah dipilih Allah. Dengan mengikuti pilihan Allah, mereka akan menguasai kebenaran, dan tidak akan terlepas, dan tidak ada kedengkian terhadap pilihan Allah. Sedang bahwa mereka tidak senang akan terkumpulnya kenabian dan kekhalifahan pada keluarga kami, maka sesungguhnya Allah SWT telah berfirman di dalam al­Qur’an:
"Yang demikian itu karena mereka benci akan apa yang Allah turunkan, maka (Allah) menjadikan sia­sia amal perbuatan mereka."

Alasan kecemburuan dan dendam, Salah satu istri Nabi saw cemburu kepada Ali, suami Fathimah putri khadijah. Khadijah sendiri adalah istri nabi yang sangat dihormati baik sewaktu masih hidup maupun wafat melebihi semua istri lainnya. Alasan lainnya ia dendam kepada Ali karena saran Ali kepada Nabi ketika terjadi peristiwa Ifk (tuduhan bohong) yang menimpanya. Di waktu itu Ali pernah berkata kepada Nabi yang sedih kebingungan, "Wahai Nabi, tak kurang wanita bagi anda. Anda bisa menikah dengan perempuan lain selain ia."

Alasan lainnya yang dipilih oleh para sahabat, terutama yang berontak melawan Ali untuk menolak kekhalifahan Ali, pada masa keKhalifahan Ali adalah karena keinginannya untuk menjadi Khalifah muslim yang mengalami kemajuan, dendam pribadi, bingung/tidak tegas, dan atau karena Ali tidak akan memberikan kekuasaan dan wewenang kepada mereka yang sudah terbiasa, dan tidak akan membiarkan mereka memakai cara yang haram.


Source: The Crisis of Muslim History karya Mahmoud M. Ayoub; Suara Keadilan karya George Jordac, etc

These icons link to social bookmarking sites where readers can share and discover new web pages.
  • Digg
  • Sphinn
  • del.icio.us
  • Facebook
  • Mixx
  • Google
  • Furl
  • Reddit
  • Spurl
  • StumbleUpon
  • Technorati

Karakter Konflik Sahabat Ali dan Sahabat Mu'awiyah

Anda orang Islam? anda pasti pernah mendengar cerita konflik antar para sahabat, bahkan sampai menjerumus ke peperangan yang membunuh ribuan muslim. salah satunya adalah konflik antara Ali dan Mu'awiyah. siapa sebenarnya yang benar dalam hal ini, apakah Ali ataukah Muawiyah? berikut ini ada satu riwayat yang mungkin dapat menunjukkan siapa yang benar dalam konflik ini. ketika konflik terus berlangsung antara Ali dan Mu'awiyah. Mu'awiyah membujuk 'Amr bin Ash untuk menjadi sekutunya dalam melawan Ali.
Konon, Amr bin Ash tidak dapat menentukan sikapnya. Akhirnya ia meminta nasihat kepada dua putranya. Abd Allah bin Amr bin Ash, seorang sahabat yang saleh dan ahli hadits, berkata: "Aku melihat Nabi wafat dan ridha kepadamu, demikian pula dua khalifah sesudah beliau (Abu Bakar dan Umar). Terlebih lagi, Uthman terbunuh saat anda jauh darinya. Karena itu, tinggallah di rumah, karena anda tidak akan terpilih menjadi khalifah. Juga, janganlah menjadi sekutu Mu'awiyah demi bagian kecil dari dunia ini, yang mungkin menjadi sebab kemalangan dan kehancuran anda".
Sedang Muhammad bin Amr bin Ash, putranya yang lebih muda dan berorientasi duniawi, menasihati ayahnya agar bergabung dengan masyarakat Suriah dalam menuntut balas atas darah Uthman, sehingga ia dapat menjadi "kepala ketimbang sekadar ekor" dalam segala upaya penyelesaian masalah. Amr bin Ash mengamati, "Kau, Abd Allah, telah menasihatiku agar melakukan apa yang terbaik bagiku di akhirat. Adapun kamu, Muhammad, kamu telah menasihatiku agar melakukan apa yang terbaik bagiku di dunia ini."
Esoknya tatkala mau berangkat, masih belum dapat memutuskan pendiriannya, Amr pertama-tama memerintahkan Wardan, seorang pembantunya yang saleh dan cerdas, untuk berangkat, namun kemudian memerintahkannya agar berhenti dan menurunkan barang bawaannya. Melihat kebingungan tuannya, Wardan, berkomentar: "Dunia ini dan akhirat sedang berperang dalam hati anda dan anda bingung di antara keduanya. Anda mengatakan bahwa bersama Ali terdapat Akhirat, tetapi bukan dunia ini, melainkan akhirat dapat memberikan ganti yang lebih besar daripada kehilangan harta di dunia ini. Di sisi lain, bersama Mu'awiyah terdapat dunia ini, tetapi ini bukanlah ganti Akhirat." Wardan kemudian menasihati tuannya agar tidak pergi. "Karena", tegasnya, "Jika kaum beragama menang, anda akan hidup dalam ampunan iman mereka. namun, jika orang-orang duniawi menang, mereka pasti akan meminta nasihatmu".
Namun apa yang dipilih Amr bin Ash ... Anda pasti tahu jawabnya! dan apakah dua pilihan tersebut benar semua ataukah salah satunya benar dan satunya salah.

Source: The Crisis of Muslim history karya Mahmoud M. Ayoub

These icons link to social bookmarking sites where readers can share and discover new web pages.
  • Digg
  • Sphinn
  • del.icio.us
  • Facebook
  • Mixx
  • Google
  • Furl
  • Reddit
  • Spurl
  • StumbleUpon
  • Technorati