Archives

Kilas Balik Seminar Mencerca Syiah

23 Januari 1988
Seminar Mencerca Syiah

ADA yang "gerah" di Hotel Indonesia 14 Januari lalu. Bukan hanya lantaran di Madura Room yang sejuk ber-AC itu dipenuhi 200 peserta seminar "Aqidah Islamiyah" yang dijaga ketat oleh aparat keamanan. Seminar sehari yang diselenggarakan oleh Alumni Timur Tengah Cabang Jakarta itu sarat dengan pernyataan yang mengutuk kaum Syii. Padahal, katanya, untuk membantu meredakan perang Iran-Irak.

Ada tiga pembawa makalah yang tampil. Prof. Dr. H.M. Rasjidi, Ketua Rabithah Alam Islami di Jakarta (tanpa judul), Prof. K.H. Ibrahim Hosen L.M.L., Rektor Institut Ilmu al-Quran dan Ketua Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia Pusat (Syiah Sebagai Gerakan yang Membahayakan Eksistensi Islam), dan Dr. Fuad Muhammad Fachruddin, pendiri Akademi Da'wah dan Bahasa Arab (Hakikat Syiah Dalam Segala Pandangan Hidupnya). Tlga alumni Timur Tengah, Dhofir Hamam, Irfan Zidny, dan A. Masyhuri, tampil sebagai pembanding. Di antara hadirin, hanya Alwi Shihab dan Nurcholish Madjid yang muncul sebagai pembahas. Mereka hanya dijatah waktu masing-masing lima menit. Yang jelas, seminar yang lazimnya ilmiah itu berubah bagai ajang "mengganyang" Iran dan Syiah. Ketiga pembicara utama itu sependapat bahwa akidah Syiah merupakan penyebab utama perang Iran-Irak yang tak kunjung selesai itu.

Rasjidi, 72 tahun, antara lain menegaskan, perbedaan yang sangat besar antara kaum Syii dan Suni ialah teori imamah. "Teori yang hanya mengenal perintah imam yang tidak dapat keliru, yang ma'shum, sedang teori politik Islam adalah syura, yakni musyawarah," ucap Rasjidi. "Yang saya tulis dalam makalah itu pandangan saya pribadi, tanggung-jawab saya 100%," kata Rasjidi di luar seminar. "Syiah itu berbahaya bagi kita bangsa Indonesia. Konstitusi mereka menyebut akan mengekspor revolusi ke negara lain. Dan imam mereka adalah kepala negara bagi seluruh umat Islam. Jadi, berarti kita harus tunduk kepada Khomeini," tambahnya. Bagi Rasjidi, ini soal besar. Sedang yang lain-lain, yang menyangkut akidah, justru dianggap "soal kecil" oleh Rasjidi.

Pendapat Ibrahim Hosen, 71 tahun, setali iga uang. Dalam salah satu kesimpulan makalahnya ia menegaskan, Syiah, sebagai gerakan yang bertopeng agama (Islam), membahayakan eksistensi Islam. Bahkan ia lebih tandas lagi mengatakan, "Dalam hal ini mereka akan sama dengan komunis yang menghadapkan lawan-lawannya pada satu-satunya pilihan, harus mati atau mengikuti pendapat mereka." Di luar seminar, Ibrahim menyatakan bahwa nada makalahnya itu tidak keras. "Saya menyampaikan seperti apa adanya. Syiah itu memang berbahaya," katanya.

Semakin siang suasana seminar semakin panas. Bukan hanya kaum Syii saja yang diserang. Bahkan Sayyidina Ali 'alaihi alshalah wa al-salam, juga dicerca. Dalam makalahnya, Fuad Fachruddin, 70 tahun menilai bahwa dalam Perang Onta (36 Hijri, 656 M), Ali bersekongkol mengejar ambisi pribadi. "Di sini dapat kita katakan sementara, tindakan Ali tidak Islami. Apalagi beliau menerima satu kelompok yang pertama sekali memisahkan diri dari kesatuan umat Islam," tulis Fuad dalam makalahnya.

Di antara ketiga pembanding, hanya seorang yang mendukung pendapat ketiga pembicara utama itu. Yaitu A. Masyhuri. Sedang dua pembanding lainnya, Dhofir Hamam dan Irfan Zidny, menyatakan tidak setuju jika seminar "menghukum" Syiah secara sepihak. "Untuk meninjau kelemahan Syiah, kita patut merujuk pendapat mereka," kata Irfan Aidny, M.A., yang pernah tinggal di Iran dan Irak selama 17 tahun. Kesan sepihak itu memang tampak. Misalnya, setiap peserta mendapat satu paket buku yang mencerca Syiah dan Khomeini. Khomeinisme: Aqidah dan Sikap yang Aneh, karya Said Hawwa, Beberapa Kekeliruan Akidah Syiah, oleh Muhammad Abdul Sattar al-Tunsawi, Mengenal Pokok-Pokok Ajaran Syiah Imamiyah, karangan Muhibuddin al-Khatib, Syiah dan Sunnah, tulisan Ihsan Ilahi Zhahir.

Terhadap pendapat Fuad Fachruddin, yang menilai Sayyidina Ali sebagai tidak Islami, tak seorang pun bereaksi. Kecuali Alwi Syihab, yang tampil minta waktu. "Jika Ali dianggap tidak Islami, lalu kita ini siapa?" kata sarjana lulusan Universitas al-Azhar, yang sedang menyelesaikan tesis doktor di Universitas Ayn Syam, Kairo. "Penilaian itu keterlaluan. Kalau mengecam Syiah, janganlah mengecam Sayyldina Ali, yang oleh kita sebagai ahl alsunnah wa al-jamaah diakui sebagai khalifah. Beliau juga guru dari semua aliran tarekat. Kalau Ali dianggap tidak Islami, maka gugurlah semua tarekat," katanya tandas. Alwi ganti menuduh Fuad sebagai seorang Khawarij - kaum yang dalam sejarah menyalahkan Ali, menantu Nabi, maupun Aisyah, istri Nabi.

Terhadap pendapat Ibrahim Hosen, yang menyatakan bahwa Quran di tangan kaum Syii berbeda dengan Quran yang dipegang kaum Suni, Nurcholish Madjid maju ke mimbar. Ia memperlihatkan Quran resmi yang diterbitkan oleh pemerintahan Khomeini saat ini. Sambil memperlihatkannya kepada semua hadirin, ia menyatakan, Quran yang terbit di Iran saat ini tak beda dengan Quran yang dikenal oleh umat Islam di Indonesia. Quran yang diperlihatkan Nurcholish ditulis oleh Usman Thaha, penulis kaligrafi Damaskus, terbitan Syafaq, Qum (Iran), juga berdasarkan mushaf Khalifah Usman. Hanya bedanya: pada kulit (dalam) tertera lambang Republik Islam Iran (lihat boks). "Saya prihatin. Tujuan seminar sebenarnya mulia, yaitu peran kita dalam usaha perdamaian antara Iran dan Irak. Tapi kemudian seminar dibawa ke soal keagamaan, sementara ketiga makalah utamanya mengutuk kaum Syii. Jadi, bukan perdamaian, tapi justru perpecahan yang timbul," kata Nurcholish, di luar seminar. "Jika perdamaian yang diinginkan, mestinya bukan mengutuk salah satu aliran yang jadi panutan bangsa Iran atau Irak. Tapi mencari titik temunya," tambahnya. Mengenai anggapan bahwa akidah Syiah merupakan penyebab utama berlarut-larutnya perang Iran-Irak, Nurcholish tidak sependapat. "Perbedaan akidah antara Syiah dan Sunah itu sudah ada amat jauh sekali, sebelum perang Iran-Irak pecah,' katanya. Kalaupun yang dikutuk oleh seminar ialah Syiah yang resmi jadi panutan bangsa Iran saat ini, Nurcholish mengingatkan: paham Syiah itu tak cuma satu. Ada yang ekstrem, ada pula yang moderat. Kelompok yang ekstrem, dan kini tak diakui di Iran, di antaranya ada yang telah punah. Misalnya Gharabiyah, Kisaniyah, Khitabiyah, Hakimiyah, Nusairiyah, Bathiniyah, Nizariyah, Musta'liyah, Muqanna'ah. Kaum Gharabiyah yakin bahwa Allah "telah salah alamat" menurunkan wahyu kepada Muhammad, mestinya ke Ali. Sedang Kisaniyah meyakini reinkarnasi Allah menjelma dalam diri seorang imam-dan itu dikecam oleh Rasjidi. Mayoritas umat Islam di Iran menganut paham Syiah Imamiyah, ada yang Zaidiyah dan Ismailiyah. Sementara itu, dalam soal imamah, Nurcholish sependapat dengan Rasjidi. "Konsep bahwa imam itu ma'shum (bebas dosa), melahirkan sistem otoriter bertentangan dengan demokrasi," ujarnya. Yang memprihatinkan Nurcholish ialah suara-suara keras dalam seminar di Hotel Indonesia yang mengutuk Syiah. "Itu seakan-akan memutus benang merah sejarah dialog Sunah-Syiah yang sudah dirintis sejak dulu. Para alumni Timur Tengah yang mengutuk Syiah tampaknya telah tercerabut dari akarnya. Beberapa ulama Timur Tengah sejak dulu justru bersikap lain dari suara yang terdengar dalam seminar sehari itu," katanya. Misalnya Salim al-Bisri, Rektor Universitas al-Azhar, Kairo, di awal abad ke-20, selama setahun berkorespondensi dengan Abdul Husayn Syarafuddin al-Musawi, tokoh Syii di Irak. Dialog tuntas itu dibukukan dengan judul al-Muraja'at, yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris. Dalam edisi Indonesia, berjudul Dialog Sunnah dan Syiah. Dalam surat terakhir, Salim antara lain menulis: "Dalam hal pokok dan cabang agama, saya mengakui Anda berlandaskan pada imam-imam keluarga Rasul. Sebelum ini saya meragukan Anda, akibat isu-isu yang tersebar." Lalu Mahmud Syaltut, yang juga pernah jadi rektor Universitas al-Azhar, mendambakan titik-temu. Pada 1960, yang barusan, ia berujar kepada salah seorang tokoh Syii, Abu al-Wafa al-Mu'tamidi Kurdistani, "Terbaginya Islam dalam Syiah dan Sunah hanyalah penamaan belaka. Semua kaum muslimin adalah ahl al-sunnah wa al-jamaah." Bahkan ia pernah berfatwa "Mazhab Ja'fariyah, yang dikenal sebagai paham Syiah Imamiyah Dua Belas, adalah mazhab yang menurut syara' boleh dianut dalam menjalankan ibadat, sama seperti mazhab ahl al-sunnah yang lain." Ada lagi Abdulhalim Mahmud. Dalam kitab al-Tafkir al-Falsafifi al-Islam (Pemikiran Filsafat Islam), ulama Timur Tengah yang terkemuka itu antara lain menulis: "Perbedaan antara Sunah dan Syiah hanya menyangkut soal politik, bukan agama." Pendapat seperti itu juga dianut oleh Dr. Ahmad Amin. Dalam kitabnya Tarikh al-Quran al-Karim (Sejarah Quran Mulia), ia menulis: "Jika tidak lantaran soal politik, pasti perbedaan antara Syiah dan Sunah telah sirna. Mereka pasti sudah akrab bersaudara, masing-masing saling memahami, seperti penganut Hanafi memahami penganut Maliki atau Syafii. Sikap itu merupakan revisi dari kecamannya dalam kitab Fajr al-Islam (Fajar Islam), "Syiah itu kelompok untuk merongrong Islam dan keutuhan umat." Revisi itu muncul setelah Ahmad Amin, bersama murid-muridnya, bertandang menemui Muhammad Husayn Alu Kasyif al-Ghitha', ulama Syii di Nejf, di bulan Ramadhan 1349 Hijri. Di situ terjadi dialog dan titik temu. Ahmad Amin mengakui bahwa ia tak banyak membaca buku-buku Syiah. "Kami kekurangan rujukan," katanya. Sebaliknya, para ulama Syiah banyak membaca karya ulama Suni. Di sebuah perpustakaan besar di Nejf (terkenal sebagai "Kota Syiah") tersimpan tak kurang dari 5.000 buku karya ulama Suni. Sementara itu, kitab-kitab Syiah hanya ada beberapa di perpustakaan Kairo--yang juga disebut Kota Ulama Suni. "Aneh, banyak mahasiswa Irak tak tahu soal Syiah, padahal mereka dekat dengan Nejf," tulis Kasyif al-Ghitha' dalam kitabnya Ashl al-Syiah wa Ushuluha (Muasal Syiah dan Ajaran Pokoknya). Hasan al-Banna, tokoh Ikhwanul Muslimin Mesir, juga menggandrungi titik temu antara Syiah dan Sunah. Ketika ditanya mengenai perbedaan antara Syiah dan Sunah oleh Umar al-Tilmisani, muridnya yang belakangan juga jadi tokoh Ikhwan, Hasan, tak mau menjawab. Setelah didesak, baru ia bicara. "Sunah dan Syiah itu muslim semua. Mereka sama-sama mengucap syahadatain, yang merupakan pokok akidah. Pada titik ini, mereka sama dan bertemu. Mereka hanya beda dalam hal-hal yang sebenarnya dapat didekatkan," kata Hasan al-Banna.

Menurut Dr. Quraisy Shihab, antara Sunah dan Syiah tak ada masalah lagi. Menurut dosen tafsir Quran pada Fakultas Pasca-Sarjana IAIN Jakarta itu, di Mesir ada sebuah ensiklopedi fiqh Islam yang beredar di zaman Presiden Jamal Abdul Nasser. Yaitu al-Mawsu'ah al-Fiqhiyyah li Jamal 'Abd al-Nashr. Di situ tercantum fiqh dari mazhab-mazhab Maliki, Syafi'i, Hanafi, Hambali, juga fiqh dari mazhab Syiah Imamiyah dan Zaidiyah. "Ini baru yang namanya ensiklopedi fiqh Islam," kata Shihab. Dan tentang Syiah saat ini, tambah Shihab, ialah Syiah Imamiyah, Zaidiyah, dan Ismailiyah. Ia tidak setuju terhadap suara keras yang "menghukum" Syiah. Begitu juga ia tak sependapat dengan suara pihak Syii yang memaki-maki kaum Suni. Misalnya yang dilakukan Muhsin Al-Amini dalam kitabnya al-Ghadir.

Suara Abdurrahman Wahid, Ia yang hadir sebentar dalam seminar, dalam wawancara dengan TEMPO, Ketua Umum PBNU itu menandaskan, itu bukan seminar, tapi pembantaian Syiah. "Kalau ngomong soal Syiah, sebaiknya belajar dulu pada orang Syii yang betul-betul ahlinya," katanya lagi. "Ada suatu kaidah dalam studi sekte-sekte Islam bahwa pendapat dusta tentang lawan, itu tidak dianggap. Semuanya gugur," katanya. "Kalau orang bicara soal akidah Syiah, itu akidah yang mana?" tanyanya. Sebab, akidah Syiah itu pada 490 Hijri mengalami transformasi. Pada awalnya, akidah Syiah dan Sunah itu hampir sama. Kemudian, Syiah juga beriman kepada imam-imam. Dalam seminar di IAIN Jakarta, Desember lalu, tokoh NU itu antara lain menyatakan, secara kultural ibadat kaum NU dan Perti sama dengan Syiah. Misalnya dalam membaca shalawat atau acara maulid yang menyanjung Nabi dan keluarganya.

Jalaluddin Rahmat, dosen Unpad dan ITB yang mengaku sebagai orang Suni (tapi banyak tahu soal Syiah) menyatakan, banyak karangan ulama Syiah yang jadi pegangan para santri kita. Misalnya, Nayl al-Awthar (Pencapaian Hasrat) karangan Imam al-Syaukani. Dan mereka tidak merasa "berdosa" sedikit pun.

Budiman S. Hartoyo, Ahmadie Thaha, Tri Budianto Soekarno (Jakarta), Hedy Susanto (Bandung)

http://majalah.tempointeraktif.com/

Menuduh al-Quran yang Beda
"SYIAH adalah gerakan yang membahayakan eksistensi Islam," ujar Prof. K.H. Ibrahim Hosen. Dua pembicara lain dalam seminar di Hotel Indonesia itu, Prof. Dr. H.M. Rasjidi dan Dr. Fuad Mohamad Fachruddin, setuju pula dengan Hosen - yang kemudian terkenal karena mendukung Porkas itu. Alasannya banyak. Misalnya karena Syiah, menurut mereka, punya Quran yang berbeda dengan kelompok mayoritas Sunni, selain alasan konsep imamah yang khas Syiah itu. Bahkan Rasjidi cenderung berpendapat, meskipun Syiah beranggapan bahwa Quran mereka lebih lengkap, "Sebetulnya orang Syiah tidak punya Quran." Dan Fuad menambahkan," Menurut orang Syiah, Quran kita itu tidak asli lagi. Karena sudah diubah oleh Abubakar, Umar dan Usman. Dan Quran mereka tiga kali iebih lengkap daripada Quran kita."

Tidak semua peserta seminar sependapat dengan mereka. Nurcholish Madjid, misalnya, menyatakan bahwa, "Quran mereka sama dengan yang di kita." Sebagai bukti, Nurcholish membawa sebuah kitab Quran resmi Iran, dan memperlihatkannya kepada peserta. Dubes Republik Islam Iran, Seyyed Hossein Mirfakhar, mengatakan kepada TEMPO, dengan 114 surat, Quran terbitan Qum di Iran itu, ditulis berdasar mushaf Usman oleh kaligrafer Damaskus, Usman Thaha." Kalau memang ada yang berbeda, coba buktikan sendiri," ujar Mirfakhar. Menanggapi seminar yang mencerca Syiah di HI itu, Mirfakhar akan menyusul dengan protes kepada penyelenggara. "Mereka hanya ingin memecah belah umat," katanya. "Seminar itu bisa dijadikan propaganda Irak. Kami yakin pemerintah Indonesia tak sudi cara kajian antarmazhab seperti itu. Seminar tersebut tidak imbang," tambahnya lagi.

Yang sama dengan Nurcholish adalah Dr. Quraisy Shihab. Ahli tafsir Quran lulusan Al-Azhar, Mesir, ini bahkan menyatakan, orang yang berkata demikian itu mestinya hidup di lima atau enam abad lampau. "Malah bisa dikatakan tak percaya pada Quran, karena ia tidak percaya bahwa Allah memelihara Quran dari kesalahan," ujar Quraisy. Quraisy Shihab menunjuk pada kitab tafsir Majma ' al-Bayan (Ontologi Keterangan), karya Syeikh Abu Ali al-Fadl ibn Hasan al-Thabarsi - ulama Syiah Imamiyah abad 6 Hijri. Dalam Majma'--yang juga dijadikan referensi di kalangan Sunni - Al-Thabarsi menulis, antaranya, "Ada yang beranggapan bahwa ayat Quran berlebih atau berkurang. Namun, Syiah aliran kami tidak mengakui. Barangkali yang disebut "syiah" dalam seminar memang bukan Syiah Imamiyah, yang dikenal pula sebagai Syiah Ja'fariah, atau Syiah Dua belas Imam Itsna'asyariyah. Sejarah mencatat munculnya beberapa sempalan ekstrem yang juga membawa nama Syiah. Misalnya Ghullat atau "Syiah Ekstrem" yang sebagian dari mereka menuhankan Ali - menantu Rasulullah. Tapi sempalan-sempalan ini, dan beberapa yang lain, justru di kalangan Syiah sendiri dianggap kafir dan sulit dibuktikan kehadirannya sekarang. Barangkali ini mirip "Islam Jamaah" atau "Inkar Sunah" yang juga dicerca orang Ahlus-Sunnah. Sempalan itu mungkin diciptakan untuk menginfiltrasi Syiah, menimbulkan fitnah dan perpecahan di kalangan kaum muslim. "Memang ada infiltran-infiltran yang menjadikan kecintaan kepada Ali sebagai perisai untuk membela diri, lalu dibilang Syiah," ujar Quraisy.

Lalu tuduhan Quran yang berbeda itu? Rupanya memang ada hadis-hadis yang sering dipakai untuk memojokkan Syiah, yang menyatakan adanya beberapa bagian Quran yang hilang. Misalnya tentang surat Al-Wilayah. "Tapi hadis tadi oleh orang Syiah sendiri digolongkan hadis maudhu palsu. Artinya, tidak dipakai," ujar Jalaluddin Rahmat, dosen ITB, Unpad, dan IAIN Bandung, kepada Hedy Susanto dari TEMPO. Sebaliknya, menurut Rahmat, di kalangan Sunni ada juga beberapa hadis yang menerangkan penambahan atau pengurangan ayat Quran. Misalnya, apa yang ditulis Bukhari ~(mengutip Huzaifah, sahabat Nabi saw.) dalam kitab Shahih-nya, yang menyatakan, "Dahulu di zaman Rasulullah, surat Al-Ahzab itu panjangnya sama dengan Al-Baqarah. Pada surat Al-Ahzab sekarang ini hilang 70 ayat. "Di pesantren kita ada juga buku teks Al-Itqan karya Jalaluddin as-Suyuti, yang menerangkan kekurangan Quran Sunni sekarang ini," Dan itu dipercaya kalangan kita, Ahlus-Sunah," katanya. Menurut Rahmat, orang Syiah tak pernah menuduh Quran yang Sunni itu palsu. Sebab, yang paling logis tentu karena "ketidakpercayaan" terhadap kemurnian hadis sumber hukum kedua dalam Islam -- yang kadang kala mudah diperdebatkan. Dalam kitab hadis standar Syiah Al-Kafi sendiri, menurut Hasyim Ma'ruf al-Hasani, terdapat juga ribuan hadis yang tidak sahih alias benar. Itu agaknya termasuk keterangan Al-Kulayni (penulis Al-Kafi) tentang adanya penyimpangan dalam Quran. "Dari 16 ribuan hadis dalam Al-Kafi, kata Hasyim, cuma lima ribuan yang sahih," tutur Rahmat. Artinya, hadis dalam Al-Kafi itu tak seluruhnya dipercaya oleh orang Syiah sendiri. "Kita tidak bisa menuduh adanya penambahan atau pengurangan baik pada Quran Sunni ataupun Syiah. Toh, Allah sendiri menjamin terpeliharanya Quran dari tangan-tangan jail," ujarnya lagi. Sebetulnya, seminar atau dialog antarmazhab sudah sering dilakukan, tidak saja di Indonesia, juga di pelbagai negara muslim. Sebuah buku dialog di antara mereka telah ~dibuat, berisikan surat-menyurat antara ulama Sunni Mesir, Syaikh Bisyri al-Maliki, dan ulama Syiah, Sayyid Syarafuddin al-Musawi. Syaltut, Rektor Al-Azhar, pada tahun 50-an telah mengeluarkan fatwa untuk melepaskan umat dari fanatisme mazhab tertentu. Kendati begitu, masih ada yang tidak sependapat. Ihsan Ilahi Zhahir, penulis yang mengecam. Syiah, menyatakan bahwa Syaltut itu "orang tua Mesir yang terkecoh Syiah".

http://majalah.tempointeraktif.com

These icons link to social bookmarking sites where readers can share and discover new web pages.
  • Digg
  • Sphinn
  • del.icio.us
  • Facebook
  • Mixx
  • Google
  • Furl
  • Reddit
  • Spurl
  • StumbleUpon
  • Technorati

Jejak Syiah dan Tradisi Asyura di Aceh

ADAKAH pemeluk Syiah di Aceh? Ini perlu dipertanyakan ketika banyak sekali simbol-simbol “Syiah” ditemukan, dan sangat menonjol di kehidupan sehari hari masyarakat Aceh.

Sejarah mula kedatangan Islam ke Aceh, pemimpinnya dikenal bernama Shir, seperti Shir Poli, Shir Nuwi, Shir Duli. Dalam hikayat-hikayat Aceh lama, kata gelar Shir sering pula disebut Syahir. Misal, Shir Nuwi dibaca Syahir Nuwi, Shir Poli dibaca Syahir Poli dan seterusnya. Kata Syahir ini lebih kurang setara dengan kata Ampon Tuwanku dalam tradisi melayu di Malaysia.

Asal kata shir, datangnya dari keluarga bangsawan di kawasan Persia, dan sekitanya. Maka putri Raja Persia yang setelah negerinya ditaklukkan Umar Ibnul-Khatab, ditawan dan dibawa ke Madinah, mulanya bernama Shir Banu. Setelah dibebaskan oleh Ali bin Abi Thaleb, Shir Banu menikah dengan putra Ali bernama Husen. Sementara dua saudara Shir Banu lainnya menjadi menantu Abubakar dan menantu Umar Ibnul Khattab. Belakangan nama menantu Ali itu berubah menjadi Syahira Banu, dan dalam lafal di Hikayat Hasan Husen, nama itu dipanggil Syari Banon, yang menjadi isteri Sayyidina Husen bin Ali. Husen syahid dibunuh Yazid bin Muawiyah di Karbala pada 10 Muharam. Shir Banu atau Syari Banon menjanda sambil membesarkan anaknya Ali Zainal Abidin, yang sering dipanggil Imam as-Sajad, karena selalu suka bersujud (shalat).

Dalam hikayat Hasan Husen, nama Syari Banon disebut berulang ulang karena beliau ini mendampingi suami dengan sangat setianya, hingga ke kemah terakhir di Karbala, mengantar Husen menuju kesyahidan. Banon bersama putra kesayangannya Ali Zainal Abidin yang masih sangat belia, menyaksikan sendiri tragedy yang jadi sejarah hitam umat Islam, karena darah titisan Rasul saw tumpah di bumi Kufah oleh tangan orang yang mengatasnamakan dirinya khalifah kaum muslimin. Peristiwa Karbala ini, di Aceh diperingati dengan khanduri Asyura secara turun temurun. Adakalanya diiringi dengan membaca hikayat Hasan Husen, dan para wanita Aceh mempersiapkan penganan sebagai khanduri keu pangulee. Acapkali pula, para pendengar hikayat ini mencucurkan airmata tatkala cerita sampai kepada pembantaian anak cucu Rasulullah saw itu.

Rafli, penyanyi Aceh kontemporer mendendangkan peristiwa itu dengan lirik:

//”Lheuh syahid Hasan ji prang lom Husen/ Ji neuk poh bandum cuco Sayyidina/ Dum na pasukan bandum di yue tron/ Lengkap ban ban dum alat senjata”// ( Dah syahid Hasan, Husen pun digempur/ Nak dihabisi cucu Sayyidina (Rasulullah)/ Seluruh pasukan disuruh turun/ Lengkap semua dengan senjata.)

Semangat mencintai ahlul bait, keluarga Rasulullah saw itu muncul pula di Aceh dalam bentuk tari tarian. Di antaranya yang terkenal adalah Saman Aceh. Ragam gerak, lirik lagu dan ratoh dipenuhi symbol symbol Karbala . “Tumbok Tumbok Droe”(memukul mukul dada sendiri) dilakukan oleh para pemain Saman Aceh (juga dalam seudati) sebagai symbol penyesalan Karbala . Seluruh gerak tari Saman itu diilhami oleh kepedihan, penyesalan, dan ratap tangis atas syahidnya Sayyidina Husen, yang terperangkap oleh tipu daya penduduk Kufah yang mendukung Yazid bin Muawiyah.

Di Iran, dan beberapa kawasan sekitar benua Persia itu, amat lazim dijumpai perempuan dan laki laki memukul mukul dada hingga ada yang berdarah untuk mengenang peristiwa Karbala di hari Asyura, setiap tahunnya. Dalam naskah hikayat Muhammad Nafiah, yang mengisahkan peran adik laki laki Hasen bin Ali dari lain ibu, yasng menuntut bela atas syahidnya Husen di Karbala, jelas sekali dilukiskan bagaimana pengikut Yazid “dikafirkan” oleh sang penulis hikayat itu. Tatkala Muhammad Nafiah ingin mengeksekusi mati seorang lagi perempuan hamil yang masih hidup, sementara yang lain sudah dibunuh semua, maka turunlah suara dari manyang (langit).

//”Sep ka wahe Muhammad Nafiah, bek le tapoh kaphe ulu/ Bah tinggai keu bijeh, agar uroe dudoe mangat na asoe neuraka”// ( “Cukup sudah wahai Muhammad Nafiah, jangan lagi dibunuh kafir hamil itu/ agar dia beranak pinak lagi untuk isi nereka kelak”)

Karensa Muhammad Nafiah ingin mengabaikan perintah penghentian pembantaian itu, maka tiba tiba dia dan kudanya diperangkap oleh kekuatan sghaib. Lalu terkurunglah dia bersama kudanya dalam sebuahgua batu. //Muhammad Nafiah lam guha bate/ Sinan meu teuentee dua ngen guda// (Muhammad Nafiah dalam gua batu/ Terkurung disitu bersama kudanya).

Dalam bagian lain, dikisahkan bahwa pada suatu hari, ketika Muhammad Nafiah masih kecil, Ali bin Abi Thaleb membawa pulang ke Madinah anak laki lakinya itu dan duduk-duduk bercengkerama bersama Rasul dan dua kakaknya lain ibu, Hasan dan Husen. Rasulullah saw mendudukkan Hasan dan Husen di pangkuan sebelah kiri, sementara Muhammad Nafiah duduk di atas paha kanan Rasulullah. Tatkala Fatimah, ibunnya Hasan dan Husen melintas, dia bermasam muka karena melihat justru putra Ali yang bukan berasal dari rahim Fatimah mendapat tempat di sebelah kanan Rasulullah, sementara putra-putranya, Hasan dan Husen duduk di paha kiri Rasul.

Rasul memandang wajah masam Fatimah az-Zahra, putri kesayangannya itu. Lalu Rasul memanggil Fatimah, dan bersabda:

“Wahai anakku, janganlah bermasam muka. Yang ini, sambil menunjuk Hasan dan Husen, akan menemui ajal kelak ketika kita sudah tiada, karena dibunuh orang. Yang inilah, sambil menunjuk Muhammad Nafiah, yang akan menuntut bela atas kematian kedua mereka ini, maksudnya Hasan dan Husen. Jibrail telah menyampaikann hal itu kepadaku wahai Fatimah”

Mendengar ucapan Rasul waktu itu, barulah wajah Fatimah kembali berseri seperti sediakala. Ada pesan Jibrail kepada Rasulullah atas peristiwa yang bakal terjadi atas anak cucunya setelah Rasul dan Fatimah tiada kelak. Begitu mulianya kedudukan Muhammad Nafiah, putra Ali dari isteri lain, (mungkin hasil perkawinan mut‘ah dalam peperangan yang lama).

Hikayat itu telah menjadi bacaan sehari-hari kaum muslimin di Aceh. Dalam benak orang Aceh, kafir perempuan yang hamil tua itu, meskipun dia adalah pemeluk agama Islam, namun dipandang sebagai kafir karena dia pengikut Yazid bin Muawiyah. Dan inilah cikal bakal kafir sekarang ini yang akan menjadi pengisi neraka kelak. Wallahu ’aklamu bis-shawab!

Jika dibandingkan dengan cerita tentang kehebatan Amerika dalam film-film perang mereka dengan Vietnam umpamanya, muncul kesan publik bahwa Amerik-lah yang paling jagoan, meskipun semua orang tahu pada akhirnya dia harus angkat kaki dari negara bekas jajahan Perancis itu, meskipun orang Vietnam melawan dengan bambu runcing. Tak ada catatan sejarah yang akurat tentang Muhammad Nafiah yang menghabiskan seluruh pasukan Yazid di Kufah, namun hikayat itu justru mengisahkan yang tinggal hanya seorang “kaphe ulu” (maaf: hamil) yang anak turunannya menjadi cikal bakal penghuni neraka kelak.

Saya bisa memahami bagaimana kepedihan kaum muslimin katika Husen syahid, dan perasaan itu dihibur dengan pembelaan yang gemilang oleh cerita kemenangan Muhammad Nafiah bin Sayyidina Ali, setelah Husen dan pengikutnya syahid di Karbala. Ini juga menjadi bukti terhadap apa yang diriwayatkan, tentang cerita Fatimah bermasam muka, karena Hasan Husen diletakkah di atas paha kiri Rasulullah, ketika mereka masih kecil dulu dan Muhammad Nafiah justru di paha kanan Rasul.

Dalam tradisi Aceh, hikayat berbentuk hiburan yang selalu mengandung pesan, nasihat, sumber pengetahuan, sejarah serta agama. Hikayat Hasan Husen, Nubuwat Nabi, Fatimah Wafat, Muhammad Nafiah dan lain-lain merupakann bacaan rakyat yang utama disamping hikayat-hikayat lain seperti Putroe Gumbak Meuh, Peurakoison, Nun Farisi, Indra Budiman, Indra Bangsawan, Baya Siribee dan lain-lain. Kala itu memang belum ada novel Lasjkar Pelangi, atau Sang Pemimpi, atau Ayat-ayat Cinta dan sebagainya. Sinetron pun belum dikenal oleh masyarakat Aceh lama. Maka cerita dalam hikayatlah yang menjadi referensi perilaku, sumber nasehat, dan pengetahunan sejarah bagi masyarakat luas.

Di kawasan pantai barat Aceh, termasuk utamanya Aceh Selatan, berkembang kesenian tradisional “Pho” Tari pho dimainkan oleh sejumlah anak anak gadis remaja, dengan mendendangkan syair penuh nuansa sendu, seumpama orang meratapi kematian. Dalam format khusus, gadis remaja menyusun format berkeliling melingkar, dan meratapi sesuatu, bagaikan meratapi kematian. Ingatlah bagaimana masyarakat Aceh memperingati “Asyura” dengan nyanyian dan hikayat Hasan Husen, semua dilantunkan dalam irama pilu penuh duka lara.

Di komunitas lain di Pidie, agak menarik disimak rentetan nama-nama anggota keluarga Sayed (Habib). Sebut saja berawal dari Nama Sayed Idris alias Teungku Syik di Keude, memiliki tiga anak laki laki dan dua anak perempuan. Yang laki laki bernama Sayed Hasyem, Sayed Husen, Sayed Abidin (Zainal Abidin), sementara anak perempuannya bernama Cutwan Dhien dan Cutwan Samalanga (nama aslinya tidak dikenal lagi). Sayed Husen berputrakan Sayed Abubakar, Sayed Puteh, dan Sayed Bunthok, sementara yang perempuan bernama Cutwan Syarifah, Cutwan Manyak dan Cutwan Fatimah.

Sayed Zainal Abidin mempunyai seorang putri tunggal bernama Ummi Kalsum (Cutwan Kasum) Dari perkawinannya dengan saudara sepupu, Sayed Abubakar, Cutwan Kasum memiliki saeorang putri tunggal diberi nama Cutwan Fatimah, yang menikah dengan Sayed Ali bin Sayed Abdullah Bambi. Sayed Abdullah Bambi menikah dengan Cutwan Khadijah binti Habib Husen Az-Zahir. Sementara kakak Cutwan Khadijah bernama Habib Hasan dan Habib Ahmad Sabil. Khadijah sendiri berputrakan selain Sayed Ali adalah Sayed Muihammad, dan Aja Rohani.

Sementara Habib Hasyem alias Habib Peureumbeue, mempunyai beberapa orang putra, antara lain Sayed Ahmad (Pak Mukim) Sayed Abdullah, dan yang perempuan bernama Cutwan Khadijah pula. Cutwan Khadijah menikah dengan Habib Ahmad Mon Keulayu, dan berputrakan antara lain Sayed Hasan, Sayed Husen, Sayed Aabdurrahman, Sayed Alwi, Sayed Ali dan Sayed Jamaluddin. Simaklah putaran nama-nama itu, semuanya berkisar sekitar nama keluarga Rasulullah, mulai dari Hasyem, Abdullah, Khadijah, Ahmad (Muhammad) Ali, Fatimah, Hasan, Husen, Umi Kalsum, Zainal Abidin, Abubakar, dan seterusnya. Sementara masyarakat umum yang bukan keturunan Sayed, selalu memberikan nama anak-anak mereka dengan nama-nama Abbas, Hamzah, Aminah, Thaleb, Zainab, Rukaiyah, disamping nama-nama seperti yang saya sebutkan itu.

Apakah fenomena ini dapat dijadikan indikasi bahwa para pemilik nama-nama itu merupakah pengikut Syiah Aceh? Apakah nama-nama demikian karena menasabkan diri pada keturunan Rasulullah? Atau telah terjadi pertalian dua kepentingan, petama menasabkan diri pada darah nabi, dan kedua melestarikan nama-nama yang dikenal sebagai nama ahlul bait yang utama? Tentu hal ini memerlukan penelitian lebih lanjut.

Simak pula, kisah yang selalu dilantunkan pada bulan Muharram (bulan dimana syahidnya Sayyidina Husen di Karbala):

//”Bak siploh uroe buleueun Muharram/ Kesudahan Husen Jamaloe (Jamalul/ Peu na mudah ta khanduri / Po Tallah bri pahla dudoe”// ( “Sepuluh hari bulan Muharram/ Kesudahan Husen Jamalul/ Jika ada kemudahan agar ber khanduri/ Allah memberi pahla nantinya”)

Bagaimanan jika disimak praktek ritual ibadah wajib seperti shalat lima waktu, puasa, zakat dan haji? Orang Aceh semuanya mengikuti praktek ibadah kaum Sunni, sebagaimana lazimnya kaum muslimin di tempat-tempat lain di Indonesia. Namun bacaan shalawat kepada Nabi dan keluarganya, selalu diucapkan dengan menambahkan kata Sayyidina di depan nama Muhammad, dan Ibrahim. “Allahumma shalli ala Sayyidina Muhammad, wa ’ala ali Sayyidina Muhammad, kama shallaita ala Sayyidina Ibrahim, wa ala ali Sayyina Ibrahim, dan seterusnya”. Hal ini amat ditentang oleh pengikut Wahabi yang sangat anti terhadap praktek ibadah seperti memuja nama Rasul itu dengan meletakkan nama Sayyidina di depan nama-nama mereka.

Saya hampir sampai pada kesimpulan bahwa orang Aceh itu pencinta Ahlul Bait yang sangat setia, kalaupun mereka tidak pernah mengaku sebagai pengukut syi‘ah. Bukankah pada masa tertentu dalam sejarah Islam, kaum syi‘ah meperkenalkan istilah taqiyah (bersembunyi) dan dari itu lahirlah ungkapan, bahwa orang yang mengaku dirinya syi‘ah bukanlah syi‘ah lagi”

Simaklah sebuah cerita lucu tapi mengharukan, yang berlaku dalam satu keluarga miskin dan buta huruf di sebuah desa di Aceh pada tahun 1950-an. Tersebutlah nama Waki Saad Gapui, yang menikah dengan perempuan desa buta huruf, Maimunah namanya. Mereka berputrakan beberapa orang dan semua laki-laki. Saad adalah penggemar hikayat Hasan Husen, seperti juga penduduk kampung lainnya. Maka dalam hikayat itu dikisahkan begini:

“Hasan dan Husen cuco di Nabi/ Aneuek tuan Siti Fatimah Dora/ Tuan teu Husen Syahid dalam Prang / Tuan teu Hasan syahid ji tuba/ Syahid di Husen ka keunong beusoe/ Di Hasan sidroe keunong bencana (racun)/ Tuan teu Husen syahid dalam Prang/ Tuan teu Hasan di rumoh tangga”//

Terkesima dengan keagungan nama yang disebut dalam bait hikayat itu, Saad sepakat memberikan nama-nama anaknya seperti nama-nama cucunda Nabi. Yang tertua diberi nama Hasan (Keuchik Hasan) yang kedua diberi nama Dan (Apa Dan) dan yang ketiga diberi nama Husen (meninggal waktu kecil). Maka kalau dibaca dalam satu nafas menjadi Hasan Dan Husen dilanjutkan dengan Cuco di Nabi. Padahal kata sambung itu bukan nama orang. Saad tidak peduli, dan nama anak keduanya tetap saja DAN, meskipun ketika dewasa nama itu menjadi Mad Dan, karena kesulitan menulis nama dalam KTP. Lalu adik-adiknya diberi nama Sulaiman (nama Nabi), Ibrahim (nama Nabi), Zainal Abidin (nama putra Husen) dan Abdul Hamid. Apa yang terjadi dalam kehidupan kejiwaan Saad? Meskipun buta huruf dan petani biasa, Saad merasa sangat dekat dengan kehidupan Rasulullah, sehingga kumandang nama Ahlul Bait selalu terdengar dalam keluarga mereka. Saya merasa yakin, seandainya Saad memiliki anak perempuan, pasti akan diberi nama Khadijah, Fatimah atau Aminah!

Pertanyaannya kini adalah, apakah, sekali lagi, hal ini dapat dijadikan indikator bahwa orang Aceh baik keturunan Sayyed, atau orang biasa dapat disebut pengukut Syi‘ah? Atau dengan sebutan lain, apakah mereka ini bisa dipanggil dengan sebutan Syi‘ah Aceh? Saya sendiri cenderung berfikir demikian. Namun agar praduga ini cukup memiliki hujjah yang kuat, perlu dilakukan penelitian yang lebih dalam tentang fenomena yang saya uraikan dalam tulisan ini. Ini perlu dilakukan untuk memastikan bahwa Islam yang mula-mula masuk ke Aceh justru berasal dari para Ahlul Bait yang hijrah karena tekanan politik dinasti Ummayah (turunan Muawiyah bin Abu Sofyan) terhadap keturunan Sayyidina Ali yang belakangan dikenal dengan kaum Alawiyin, pengikut Ali yang sepupu dan menantu Rasulullah.

Ingatlah pula bahwa pada saat haji wadak, Rasul pernah berkata di hadapan jama‘ah yang bergerak kembali ke Madinah setelah selesai berhaji. Rasul sawa sambil mengangkat tangan Ali, Rasul bersabda, “Wahai saudaraku kaum muslimin, aku dengan dia (sambil menunjuk Ali) bagaikan Musa dengan Harun, jika sesudah ku masih ada nabi, maka dialah orangnya. Namun karena tak ada nabi sesudahku, maka dialah penerusku. Kau saksikankah ucapanku ini wahai sekalian manusia?” kata Rasul dibukit Ghadir Khum itu. Maka dari turunan Sayyidina Ali itulah, kaum Alawiyin membangsakan diri. Wallahu a‘lamu bis-shawab.

[Ditulis oleh Oleh: Dr. Hasballah M Saad, pemerhati sejarah dan kebudayaan, pegiatan Aceh Cultur Institut (ACI)]

http://konspirasi.com/peristiwa/jejak-syiah-dan-tradisi-asyura-di-aceh/

These icons link to social bookmarking sites where readers can share and discover new web pages.
  • Digg
  • Sphinn
  • del.icio.us
  • Facebook
  • Mixx
  • Google
  • Furl
  • Reddit
  • Spurl
  • StumbleUpon
  • Technorati

Asyura dan Karakter Islam Nusantara

Berikut ini sebuah artikel yang ditulis oleh intelektual muda NU, Ahmad Baso, tentang Asyura.

Salah satu kekuatan tradisi Syi’ah maupun Sunni di Nusantara adalah kemampuannya membentuk Islam berkarakter moderat, toleran dan akomodatif terhadap kebudayaan lokal. Seperti ditunjukkan pada kemunculan kesultanan Islam pertama di Indonesia, Pasai, yang berkultur Syi’ah, hingga kehadiran Walisongo di Jawa. Tidak berlebihan kalau Abdurrahman Wahid dalam satu tulisannya di Warta NU (1995) menyebut penyebaran Islam di Nusantara dimungkinkan karena Islam Sunni di Jawa lebih berkarakter “Syi’ah kultural”. Mengapa demikian?

Karena wajah yang seperti itulah yang menjadikan Islam begitu mudah diterima oleh berbagai etnis yang ada di Nusantara. Hal ini terjadi karena ada kesesuaian antara agama baru (Islam) dengan kepercayaan lama mereka. Setidaknya kehadiran Islam tidak mengusik kepercayaan lama, tetapi sebaliknya kepercayaan tersebut diapresiasi dan kemudian diintegrasikan ke dalam doktrin dan budaya Islam. Karena kemampuan berdialog dan melakukan tawar-menawar dengan kebudayaan setempat itulah yang menyebabkan agama Islam secara umum bisa berkembang dengan pesat tanpa menemukan benturan yang berarti dengan kepercayaan, tradisi dan budaya yang ditemui.

Hal inilah yang dilakukan misalnya oleh Syekh Burhanuddin Ulakan yang memperkenalkan tradisi “tabut” (perayaan Asyura) dan “basapa” (berjalan safar) di pesisir barat Sumatera abad 17. Sementara Syekh Jalaluddin al-Aidid memperkenalkan tradisi “maudu lompoa” (Maulid Nabi yang Agung) di daerah Makasar (kini di Cikoang, Takalar) pada abad 17. Perayaan “tabut”, “basapa” dan “maudu lompoa” semuanya menunjukkan karakter Islam Syi’ah. Tradisi ini diperkenalkan sebagai instrumen penyebaran agama Islam di Nusantara. Syekh Burhanuddin Ulakan dikenal sebagai penyebar Islam pertama di daerah Minangkabau dan Bengkulu, sementara Syekh Jalaluddin al-Aidid salah seorang tokoh penyebar Islam di daerah Sulawesi Selatan.

Meski disanggah oleh Hamka dan sejumlah penulis lainnya, pengaruh Syi’ah di daerah pesisir Sumatera seperti di Minangkabau dan Bengkulu cukuplah kuat. Seperti ditunjukkan pada perayaan Hoyak Tabuik (Tabut) atau Hoyak Husain, yang dirayakan untuk mengenang syahidnya Imam Husain, salah seorang cucu Nabi Muhammad SAW. Upacara Hoyak Tabuik atau mengarak usungan (tabut) yang dilambangkan sebagai keranda jenazah Imam Husain yang gugur di Padang Karbala. Perayaan ini dimulai pada hari pertama bulan Muharram hingga hari kesepuluh.

Di Pariaman, Sumatera Barat, pada tanggal 1 Muharram, perayaan dimulai dengan mengambil lumpur dari sungai di tengah malam. Para pengambil lumpur harus berpakaian putih. Lumpur dikumpulkan ke dalam periuk yang ditutup kain putih, kemudian dibawa ke sebuah tempat yang disebut Daraga yang besamya 3 x 3 meter yang juga ditutup kain putih.

Pengambilan lumpur melambangkan pengumpulan bagian-bagian tubuh Imam Husain yang terpotong. Daraga melambangkan makam suci Imam Husain, sedangkan kain putih adalah perlambang kesucian Imam Husain. Pada tangga 15 Muharram mereka menebang batang pisang dengan pedang yang sangat tajam. Batang pisang itu harus tumbang sekali tebas. Penebangan batang pisang ini melambangkan kehebatan putra Imam Husain, Qasim, yang bertempur bersenjatakan pedang di tanah Karbala. Pada tanggal 7 Muharram, persis di tengah hari, panja atau potongan jari-jari Imam Husain yang sudah dibuat sebelumnya dibawa ke jalan-jalan dalam sebuah belanga bersama dengan Daraga.

Biasanya orang menangis penuh kesedihan karena teringat tragedi Karbala yang mengenaskan. Pada hari kesembilan Muharram sorban atau penutup kepala wama putih yang melambangkan serban Imam Husain diarak di jalan-jalan untuk menunjukkan betapa hebatnya Imam Husain dalam membela Islam. Dan pada tanggal 10 Muharram ritual Tabuik mencapai puncaknya. Di pagi hari Tabut yang sudah dipersiapkan sebelumnya, Daraga, Panja dan serban diarak keliling kota dalam suatu pawai besar yang disaksikan oleh ribuan bahkan puluhan ribu penonton yang datang dari berbagai penjuru. Orang-orang pun berkabung dan berteriak Hoyak Tabuik, Hoyak Husain. Sore hari menjelang matahari terbenam saat arak-arakan selesai, semua benda-benda di atas diarak ke laut kemudian dibuang di tengah laut, lalu mereka pulang sambil melantunkan seruan “Ali Bidaya… Ali Bidaya, Ya Ali, Ya Ali, dan Ya Husain”.

Sementara di Bengkulu, perayaan Asyura ini dinamakan “Tabot” dan sering juga dikenal dengan nama “Tabut”. Istilah “Tabot” berasal dari kata Arab (tabut) yang secara harfiah berarti “kotak kayu” atau “peti”. Perayaan ini berlangsung selama sepuluh hari. Pada hari terakhir, pada 10 Muharram, digelar tabot tebuang (tabot terbuang). Seluruh tabot berkumpul di lapangan diarak menuju Padang Jati, dan berakhir di kompleks pemakaman umum Karabela. Tempat ini menjadi lokasi acara ritual tabot tebuang karena di sini dimakamkan Imam Senggolo (sebutan untuk Syekh Burhanuddin Ulakan), perintis upacara tabot di Bengkulu. Kemudian bangunan tabot dibuang ke rawa-rawa yang berdampingan dengan makam, yang menandai berakhirnya segenap rangkaian upacara tabot.

Dalam perayaan tabot ini, adat dan kultur benar-benar memiliki ruh Islam atau bersendi syara’. Dalam kerangka ini, Islamisasi telah berhasil dijalankan dengan merata di hampir seluruh daerah pesisir dan pedalaman Sumatera. Bukan hanya melalui perayaan dan upacara, tapi juga melalui lembaga adat dan pemangku adat. Syekh Burhanuddin wafat pada tahun 1680, dan dimakamkan di Ulakan, Pariaman. Dan ada pula yang menyebutnya di Bengkulu. Peran beliau dilanjutkan oleh putera angkatnya, Syekh Abdurrahman dan Syekh Jalaluddin. Semuanya berperan dalam membentuk karakter Islam Nusantara, yang moderat dan akomodatif terhadap kebudayaan setempat.[Ahmad Baso (LTN-PBNU Jakarta)]

http://konspirasi.com/peristiwa/asyura-dan-karakter-islam-nusantara/

These icons link to social bookmarking sites where readers can share and discover new web pages.
  • Digg
  • Sphinn
  • del.icio.us
  • Facebook
  • Mixx
  • Google
  • Furl
  • Reddit
  • Spurl
  • StumbleUpon
  • Technorati

Ketua MUI: Syiah Sah sebagai Mazhab Islam

Di tengah gencarnya isu yang menyudutkan syiah sebagai mazhab sesat dan dinilai bukan bagian dari Islam, Ketua Majelis Ulama Indonesia menyebut syiah sebagai mazhab yang sah dan benar dalam Islam. Di hadapan lebih dari seratus pelajar Indonesia yang belajar di Iran, Ketua MUI, Prof.Dr. KH. Umar Shihab mengatakan, "Sunni dan Syiah bersaudara, sama-sama umat Islam, itulah prinsip yang dipegang oleh MUI. Jika ada yang memperselisihkan dan menabrakkan keduanya, mereka adalah penghasut dan pemecah belah umat, mereka berhadapan dengan Allah swt yang menghendaki umat ini bersatu."

Sebagaimana dilaporkan Kantor Berita ABNA, dalam kunjungannya ke Iran atas undangan Forum Internasional Pendekatan Mazhab Islam, Umar Shihab beserta beberapa anggota rombongan menyempatkan mengadakan tatap muka dan pertemuan dengan pelajar Indonesia yang sedang menuntut ilmu di kota suci Qom, Iran.

Rombongan MUI terdiri dari ketua pusat, beberapa ketua harian dan ketua komisi, namun beberapa dari rombongan telah bertolak ke tanah air sehingga tidak sempat mengikuti pertemuan dengan para pelajar Indonesia tersebut. "Dalam kunjungan ini kami telah melakukan beberapa hal, diantaranya, atas nama ketua MUI. KH. Prof. DR. Umar Shihab dan atas nama Majma Taghrib bainal Mazahib Ayatullah Ali Tashkiri, telah dilakukan penandatanganan MOU kesepakatan bersama. Di antara poinnya adalah kesepakatan untuk melakukan kerjasama antara MUI dengan Majma Taghrib bainal Mazahib dan pengakuan bahwa Syiah adalah termasuk mazhab yang sah dan benar dalam Islam. " Jelas Wakil Ketua Komisi Ukhuwah Islamiyah, DR. Khalid Walid.

Lebih lanjut beliau menjelaskan,"Diantara bentuk kerjasama yang disepakati adalah pengiriman para peneliti dan ulama Indonesia ke Iran untuk mengikuti pertemuan dan pendidikan khusus mengenai beberapa hal yang beragam di Iran begitu juga sebaliknya, ulama-ulama dan peneliti Iran akan berkunjung ke Indonesia. Di samping itu juga kita telah bertemu dengan Menteri Luar Negeri Iran, Departemen Pengurusan Haji dan juga berkunjung ke Kamar Dagang Industri Iran untuk bekerjasama dalam produk halal. Insya Allah, jalinan kerjasama ini diharapkan dengan tujuan mengeratkan hubungan antara Republik Islam Iran dengan masyarakat muslim Indonesia."

"Semoga dengan adanya kesepakatan dan kerjasama tersebut ukhuwah Islamiyah dapat terjalin dengan baik dan kedua belah pihak bisa saling memahami." Harapnya.

Perpecahan dan Kebodohan, Ujian bagi Umat Islam

KH. Prof. DR. Umar Shihab menyampaikan nasehatnya di hadapan seratus lebih pelajar Indonesia yang hadir. Beliau menyatakan bahwa hidup di dunia ini penuh dengan tantangan, ujian dan kesulitan-kesulitan. Lebih lanjut menjelaskan, "Masyarakat Indonesia saat ini diuji dengan perpecahan. Dalam internal umat Islam sendiri terdapat berbagai macam kelompok yang mengarah kepada perpecahan, ada yang menyatakan diri sebagai kelompok liberal, kelompok anti agama, kelompok anti Syiah dan lain-lain. Keberadaan kelompok-kelompok ini sangat mengancam persatuan umat Islam."

Menurut beliau ada dua kelompok pemecah umat Islam. Pertama kelompok pemecah dari luar umat Islam, yakni dari kalangan Yahudi dan Nasrani. Sebagaimana yang dijelaskan Al-Qur'an keduanya tidak akan senang sampai umat Islam mengikuti agama dan kelompok mereka. Mereka melakukan berbagai macam cara dengan giat utuk memecah belah umat, melalui buku-buku, selebaran dan memanfaatkan tekhnologi yang mereka miliki. Mereka menipu dan menghasut umat misalnya melalui pemahaman pluralisme yang menyatakan semua agama sama. Ini adalah pemahaman yang sesat bahkan mengarah kepada kekafiran. Karena itu MUI telah mengeluarkan fatwa bahwa pernyataan dan keyakinan semua agama sama adalah pernyataan yang tidak bisa dibenarkan dan MUI telah mengharamkannya.

Kedua, kelompok pemecah dari kalangan umat Islam sendiri. Tidak sedikit dari kelompok umat Islam yang justru memecah belah umat. Mereka mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang memicu perpecahan umat, mereka misalnya menyebut maulid itu bid'ah, mengucapkan shalawat di setiap kegiatan itu bid'ah sehingga dengan pemahaman yang seperti itu mereka menyesatkan dan memusuhi kelompok Islam yang mengamalkannya.

Di bagian lain ceramahnya, Ketua MUI Pusat ini menyebut ujian kedua Umat islam adalah kebodohan. "Pelajari dan tuntutlah ilmu agama ini dengan benar dan dari sumbernya yang asli. Al-Qur'an menyebutkan, yang manakah lebih layak kamu ikuti, orang yang memiliki pengetahuan atau orang yang tidak memiliki pengetahuan?. Dan Nabi Muhammad saww dalam haditsnya menyebutkan, Aku adalah kota ilmu, dan Ali adalah pintunya. Dari riwayat Nabi ini, jelas disebutkan bahwa Sayyidina Ali lebih layak diikuti setelah Nabi. Karenanya tuntutlah ilmu yang berasal langsung dari sumbernya. Sayangnya kebanyakan kaum muslimin menyingkirkan dan melupakan hadits-hadits yang bersumber dari Sayyidina Ali, keluarga, sahabat utama dan terdekat dengan Nabi, dan lebih banyak mengamalkan dan menerima hadits dari selain beliau,"tegas Umar Shihab.

Di penghujung ceramah beliau, Ketua MUI Pusat Prof. DR. Umar Shihab kembali mempertegas pesan Al-Qur'an, Innamal mu'minuna ikhwa, orang-orang yang beriman itu bersaudara. "Saudara-saudara belajarlah yang bersungguh-sungguh, dan ketika kembali ke tanah air, sampaikanlah ajaran Islam yang benar. Saya tidak menyatakan yang benar itu Syiah atau Sunni, tetapi keduanya."tegas beliau.

Prinsip MUI: Sunni dan Syiah Bersaudara

Setelah Prof. Umar Shihab menyampaikan nasehatnya, dilanjutkan dengan sesi tanya jawab. Beberapa pelajar kemudian mengajukan pertanyaan. Diantara pertanyaan yang diajukan, bisakah MUI wilayah di daerah mengeluarkan fatwa yang bertentangan dengan fatwa yang dikeluarkan oleh MUI Pusat?.

Prof Umar Shihab memberikan jawaban, MUI wilayah jika berkaitan khusus dengan persoalan umat di daerahnya dibenarkan untuk mengeluarkan fatwa sendiri, namun jika berkaitan dengan kepentingan nasional, maka yang berhak mengeluarkan fatwa hanya MUI Pusat yang harus diikuti oleh MUI-MUI di daerah. Dan MUI di daerah tidak memiliki wewenang untuk menganulir fatwa yang telah dikeluarkan MUI Pusat.

"Misalnya ada MUI Daerah yang mengeluarkan fatwa Syiah itu sesat -namun Alhamdulillah syukurnya belum ada MUI Daerah yang mengeluarkan fatwa seperti itu- maka fatwa tersebut tidak sah secara konstitusi, sebab MUI Pusat menyatakan Syiah itu sah sebagai mazhab Islam dan tidak sesat. Jika ada petinggi MUI yang mengatakan seperti itu, itu adalah pendapat pribadi dan bukan keputusan MUI sebagai sebuah organisasi." Jelas beliau.

Ketika ditanyakan langkah-langkah MUI Pusat yang akan dilakukan untuk mewujudkan persatuan umat dan menyelesaikan perselisihan Sunni-Syiah, Prof. Umar Shihab menjelaskan bahwa MUI akan menjadi penyelenggara seminar Internasional Persaudaraan umat Islam di bulan Desember akhir tahun ini. "MUI akan mengundang ulama-ulama dari berbagai Negara, dari Mesir, Iran bahkan dari Arab Saudi termasuk Syaikh Yusuf Qhardawi untuk hadir sebagai pembicara. Indonesia insya Allah akan menjadi perintis persatuan umat Islam khususnya antara Sunni dan Syiah, semoga Allah membantu usaha-usaha kita." Jelas beliau.

Setelah memasuki waktu maghrib, dilakukan shalat maghrib berjama'ah yang diimami oleh Sayyid Faris, dan Prof. Umar Shihab menjadi jama'ah di shaf pertama.

Acara pertemuan tersebut diakhiri dengan makan malam bersama, dan do'a bersama dipenghujung acara dipimpin oleh KH. Prof. DR. Umar Shihab. Pertemuan Ketua MUI Pusat Prof. DR. Umar Shihab dengan pelajar Indonesia yang sedang berada di Qom Iran ini adalah pertemuan yang kedua kalinya, setelah sebelumnya dua tahun lalu diadakan pertemuan di tempat yang sama. (IRIB/ABNA)

Menteri Luar Negeri Iran Dr. Salehi bertemu dengan delegasi MUI

Perbedaan Paham Keagamaan Tak Menghalangi Indonesia dan Iran Bekerja Sama

Laporan: Zul Hidayat Siregar

Indonesia dan Iran diharapkan dapat kembali membangkitkan kejayaan Islam. Karena itu, hubungan persahabatan dan kerjasama antara kedua negara berpenduduk mayoritas Islam itu harus terus ditingkatkan untuk mengejar berbagai ketertinggalan dari negara-negara lain.

Salah satu bentuk kerjasama yang paling dibutuhkan adalah kerjasama antara para ulama Indonesia dan para ulama Iran. Melalui forum para ulama inilah diharapkan tercipta kesalingpahaman (al-tafahum) dan saling mencintai (al-mahabbah) antara masyarakat Muslim di kedua negara.

Demikian ditakan Ayatollah Muhammad Ali Tashkiri pada saat menyambut rombongan Majelis Ulama Indonesia di kantor pusat organisasi internasional Majma’ al-‘alami li al-taqrib bain al-mazahib al-Islamiyyah (Forum Internasional Pendekatan Antar Mazhab Islam), Teheran, Minggu (24/4).

"Paham keagamaan yang berbeda antara masyarakat Muslim Indonesia (sunni) dan Muslim Iran (syiah) sudah sepatutnya tidak menjadi penghalang. Perbedaan itu harus dijadikan sebagai rahmat dalam menjaga persatuan dan kesatuan umat Islam dunia," imbaunya.

Umat Islam di seluruh penjuru dunia, katanya menekankan, tidak boleh saling memusuhi. Karena umat Islam telah diikat dengan satu aqidah yang sama.

"Kini saatnya umat Islam mewarnai peradaban dunia dengan peningkatan ilmu pengetahuan, teknologi, dan sosial budaya. Andaikata umat Islam bersatu, maka Islam akan menjadi satu kekuatan baru yang diperhitungkan di pentas global,” Tashkiri menambahkan.

Menanggapi pernyataan tersebut, Ketua Komisi Hubungan dan Kerjasama Luar Negeri MUI, Saleh Partaonan Daulay, menyebutkan bahwa ungkapan tulus Ayotallah Tashkiri itu perlu mendapat apresiasi dari seluruh umat Islam. Umat Islam diminta untuk segera meningkatkan komunikasi dan silaturrahim antara semua komponen umat Islam dari seluruh penjuru dunia.

"Perpecahan dan saling curiga di antara umat Islam kadang-kadang dipicu oleh ketidakpahaman di antara sesama mereka. Banyak kelompok umat Islam yang tidak mau membuka diri untuk mempelajari dan memahami ajaran kelompok umat Islam yang lain," terang Saleh.

Dalam konteks itulah, Saleh melanjutkan, MUI merasa perlu melaksanakan muhibbah dan silaturrahim ke Iran untuk melihat lebih dekat praktik keagamaan di tengah-tengah masyarakat Muslim Iran.

Kunjungan ini dilaksanakan selama sepekan mulai dari 21-27 April. Kunjungan ini diisi dengan berbagai kegiatan antara lain MUI bertemu Menlu Iran, Menteri Urusan Haji, Penasehat Presiden Ahmad Dinejad, Penasehat Wali al-Faqih, Lembaga-lembaga pendidikan Islam Iran, berkunjung ke Mashhad dan Qom, serta bertemu dengan para ulama-ulama senior Iran.

Delegasi Indonesia berjumlah delapan orang yang dipimpin Ketua MUI Pusat, Prof. Dr. Umar Syihab.

Menlu Iran Sedih Banyak Umat Tak Paham dengan Mazhab-mazhab Islam

Kunjungan Ketua Umum Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah ke Iran sebagai ketua Delegasi MUI Pusat

RMOL. Selain berbicara tentang pentingnya menjalin kerjasama bilateral antara Indonesia dan Iran, Menteri Luar Negeri Iran, Ali Akbar Salehi, juga menegaskan pentingnya merajut kerjasama dalam bidang kesepahaman antarpengikut mazhab di antara umat Islam di kedua negara.

Di sela-sela acara penerimaan tamu delegasi Majelis Ulama Indonesia, Salehi menceritakan kisah sedih terkait perbedaan mazhab yang menimpanya ketika berkunjung ke Mesir.

Diceritakannya, suatu hari dia berkunjung ke salah satu masjid di kota Kairo. Pada saat itu, sayup-sayup terdengar kumandang syair-syair yang biasa dilantunkan para ulama Iran. Oleh karena suara dan cara membaca yang cukup bagus, Salehi mendekati sumber suara.

Setelah bertemu dan bertatap muka, ia lalu memuji bacaan yang bagus dan suara yang indah dari sang pembaca syair. Mendapat pujian tersebut, sang pembaca syair bertanya, "Darimana Anda?" Dengan tidak ragu-ragu Salehi pun menjawab, "Saya dari Iran." Tiba-tiba orang tersebut tersentak seraya berteriak, "Anda sesat, Anda Kafir, Anda bukan Muslim."

Mendengar itu, Salehi mengucapkan istighfar serta mengucapkan mohon maaf bila dia dianggap mengganggu. Hal itu terjadi kebanyakan Mesir beraliran Sunni.

Kepada para delegasi MUI, Menlu Iran mengatakan, apa yang dialaminya itu adalah merupakan kisah yang kerap dijumpai, meski dengan model berbeda, di tengah-tengah umat Islam.

"Bayangkan, syair-syair yang dibaca adalah syair-syair para ulama Iran. Namun oleh karena ketidaktahuannya, sang pembaca syair menganggap saya bukan orang Islam karena saya dari Iran. Saya yakin bahwa mereka yang juga mengeritik mazhab Ja’fari (mayoritas mazhab Syiah) bukan karena tidak suka, tetapi mungkin karena tidak tahu dan belum paham. Itulah sebabnya mengapa kita perlu bertukar informasi dan bertukar pengetahuan soal faham keagamaan yang ada di tengah-tengah kita," demikian Salehi mengakhiri ceritanya.

MUI yang terdiri dari delapan orang berkunjung ke Iran mulai Kamis (21/4) hingga Rabu (27/4). Ketua Komisi Hubungan Luar Negeri Saleh Partonan Daulay, seorang dari delapan delegasi MUI, menceritakan apa yang disampaikan Menlu Iran itu kepada Rakyat Merdeka Online melalui surat elektronik kemarin. [zul/rakyatmerdekaonline]

http://www.taghrib.ir/indonesia/index.php?option=com_content&view=article&id=761:ketua-mui-syiah-sah-sebagai-mazhab-islam&catid=42:gozaresh&Itemid=98

These icons link to social bookmarking sites where readers can share and discover new web pages.
  • Digg
  • Sphinn
  • del.icio.us
  • Facebook
  • Mixx
  • Google
  • Furl
  • Reddit
  • Spurl
  • StumbleUpon
  • Technorati