Archives

Abu Thalib Seorang Mu’min

Segala Puja dan Puji bagi Allah, sebanyak tetesan air hujan, sebanyak butiran biji-bijian, sebanyak makhluk-Nya dilangit, dibumi dan diantara keduanya.

Segala Puja dan Puji yang banyak dan tak berkesudahan untuk Allah, meskipun puja segala pemuji selalu kurang dari sewajarnya.

Segala Puja dan Puji untuk Allah seagung pujian-Nya terhadap diri-Nya.

Shalawat dan Salam yang tiada pernah terputus dan tiada pernah terhenti terus-menerus, sambung-menyambung sampai ke akhir zaman untuk Nabi yang dicintai dan dikasihi oleh ruh, jiwa dan jasad kami, Muhammad hamba Allah dan Rasul-Nya, juga untuk keluarganya yang telah disucikan dari segala noda dan nista, serta para sahabat yang berjihad bersamanya dan setia padanya sepanjang hayatnya.

Dalam berbagai kesempatan alfagir hamba Allah penulis risalah ini sering mendengar dalam khutbah-khutbah, diskusi-diskusi, maupun dialog-dialog bahwa Abu Thalib paman tercinta Rasulullah SAAW dikatakan kafir. Beberapa rekan sering bertanya tentang masalah ini, akhirnya alfagir harapkan risalah ini sebagai jawaban atas semuanya itu, sebaga pembelaan terhadap Abu Thalib dan terhadap Nabi SAAW, semoga beliau SAAW meridhainya Amin.

“Sesungguhnya orang-orang yang menyakiti Allah dan Rasul-Nya, Allah akan melaknatinya (mengutuknya) didunia dan diakhirat, dan menyediakan baginya siksa yang menghinakan (Q.S. 33:57)”.

“Dan orang-orang yang menyakiti Rasulullah itu,bagi mereka azab yang pedih(Q.S. 9:61)”

Diriwayatkan dari Al-Thabrani dan AL- Thabrani dan Al-Baihaqi, bahwa anak perempuan Abu Lahab (saudara sepupu Nabi saaw ) yang bernama Subai’ah yang telah masuk Islam datang ke Madinah sebagai salah seorang Muhajirin, seseorang berkata kepadanya : “Tidak cukup hijrahmu ini kesini, sedangkan kamu anak perempuan kayu bakar neraka” (menunjuk surat Allahab). Maka ia sakait mendengar kat-kat tersebut dan melaporkannya pada Rasulullah saaw. Demi mendengar laporan semacam itu beliau saaw jadi murka, kemudian beliau naik mimbar dan bersabda :

“Apa urusan suatu kaum menyakitiku, baik dalam nasabku (silsilahku) maupun sanak kerabatku. Barang siapa menyakiti nasabku serta sanak kerabatku, maka telah menyakitiku dan barang siapa yang menyakitiku, maka dia menyakiti Allah SWT.

Sa’ad bin Manshur dalam kitab Sunannya meriwayatkan dari Sa’id bin Jubair tentang Firman Allah SWT (Q.S; 42,23) : “Katakanlah (wahai Muhammad): Aku tidak meinta dari kalian sesuatu upahpun atas seruanku kecuali kasih sayang terhadap keluarga (Ahlul Bait)”.

Ia berkatyang dimaksud keluarga dalam ayat itu adalah keluarga Rasulullah saaw, (Hadits ini disebutkan juga oleh Al-Muhib Al-Thabari dalam Dzkhair Al-Uqbah ha.9 Ia mengatakan hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Al-Sirri, dikutib pula oleh Al-Imam Al-Hafid Jalaluddin Abdurrahman bin Abi Bakar Al-Suyuthi dalam kitab Ihyaul Maiyit Bifadhailil Ahlil Bait hadits nomer 1 dan dalam kitab tafsir Al-Dur Al-Mantsur ketika menafsirkan ayat Al-Mawaddah :42,43)

Imam Ahmad dalam kitab Musnadnya Juz 4 hal.210 hadits no.177 meriwayatkan:

Abbas paman Nabi SAAW masuk menemui rasulullah saaw, lalu berkata: “Wahai rasulullah, sesungguhnya kita (bani hasyim) keluar dan melihat orang-orang quraisy berbincang-bincang lalu jika mereka melihat kita mereka diam”. Mendengar hal itu rasulullah saaw marah dan meneteskan airmata kemudian bersabda : “Demi Allah tiada masuk keimanan ke hati seseorang sehingga mereka mencintai kalian (keluarga nabi saaw) karena Allah dan demi hubungan keluarga denganku”. (hadits serupa diriwayatkan pula oleh Al-Turmudzi, Al-Suyuthi, Al-Muttaqi Al-Hindi, Al-Nasa’i, Al-Hakim dan Al-Tabrizi).

Ibnu Adi dalam kitab Al-Kamil meriwayatkan dari Abu Sa’id Al-Khudri ia berkata bahwa Rasulullah saaw bersabda: “Barang siapa yang membenci kami Ahlul Bayt (Nabi dan keluarganya) maka ia adalah munafiq”. (At-Athabrani dalam Dzakair, Ahmad dalam Al-Manaqib, Al-Syuthi dalam Al-Dur Al-Mantsur dan dalam Ihyaul Mayyit).

Al-Thabrani dalam kitab Al-Awsath dari Ibnu Umar, ia berkata: Akhir ucapan rasulullah saaw sebelum wafat adalah: “Perlakukan aku sepeninggalku dengan bersikap baik kepada Ahlul Baitku.” (Ibnu Hajar dalam Al-Shawaiq). Al-Khatib dalam tarikhnya meriwayatkan dari Ali bersabda : “Syafa’at (pertolongan diakhirat kelak) ku (hanya) teruntuk orang yang mencintai Ahlul Baytku. (Imam Jalaluddin Al-Syuthi dalam Ihyaul Maiyit) .

Al-Dailami meriwayatkan dari Abu Sa’id ia berkata bahwa Rasulullah saaw bersabda :” Keras kemurkaan Allah terhadap orang yang menggaguku dengan menggangu itrahku”. (Al-Suyuthi dalam Ihyaul Maiyit, dikutib juga oleh Al-Manawi dalam Faidh Al-Qadir, dan juga oleh Abu Nu’aim).

Ibnu Asakir meriwayatkan dari Imam Ali a.s. bahwasanya Rasulullah bersabda : “Barang siapa yang menyakiti seujung rambut dariku maka ia telahmenyakitiku dan barang siapa yang menyakitiku berarti ia telah menyakiti Allah SWT”. Dengan demikian jelaslah bahwa siapa yang menyakiti Abu Thalib berarti menyakiti Rasulullah beserta cucu-cucu beliau pada setiap masa. Rasulullah bersabda :” Janganlah kalian menyakiti orang yang masih hidup dengan mencela orang yang telah mati”.

Sebenarnya pandangan tentang kafirnya Abu Thalib adalah hasil rekayasa politik Bany Umaiyah di bawah kendali Abu Sufyan seseorang yang memusuhi Nabi saaw sepanjang hidupnya, memeluk Islam karena terpaksa dalam pembebasan Makkah, kemudian dilanjutkan oleh putranya Muawiyah, seorang yang diberi gelar oleh Nabi saaw sebagai kelompok angkara murka, yang neracuni cucu Nabi saaw, Imam Hasan ibn Ali a.s. Dalam kitab Wafiyat Al-A’yan Ibnu Khalliqan menuturkan cerit Imam Nasa-i (penyusun kitab hadits sunna Al-Nasa-i), bahwasanya sewaktu Nasa-i memasuki kota Damaskus, ia didesak orang untuk meriwayatkan keutamaan Muawiyah, kata Nasa-i: “ Aku tidak menemukan keutamaan Muawiyah kecuali sabda Rasul tentang dirinya – semoga Allah tidak mengenyangkan perutnya”. Selanjutnya dilanjutkan oleh Yazid anak Muawiyah si pembunuh Husein ibn Ali cucu Nabi Muhammad saaw di padang Karbala bersama 72 keluarga dan sahabatnya. Muawiyah yang sebagian Ulama dikatagorikan sebagai sahabat Nabi saaw , telah memerintahkan pelaknatan terhadap Imam Ali bin Abi Thalib hampir 70.000 mimbar umat Islam dan dilanjutkan oleh anak cucu-cucuBany Umaiyah selam 90 tahun sampai masa Umar bin Abdul Azizi. Ibnu Abil Hadid menyebutkan Muawiyah membentuk sebuah lembaga yan bertugas mencetak hadits-hadits palsu dalam berbagai segi terutama yang menyangkut keluarga Nabi saaw, lembaga tersebut beranggotakan beberapa orang sahabat dan Tabi’in (sahabtnya sahabat) diantaranya “Amr ibn Al-ash, Mughirah ibn Syu’bah dan Urwah ibn Zubair).

Sebagai contoh Ibnu Abil Hadid menebutkan hadits produksi lembaga tersebut :

“Diriwayatkan oleh Al-Zuhri bahwa : Urwah ibn Zubair menyampaikan sebuah hadits dari Aisyah bibinya ia berkata : Ketika aku bersama Nabi saaw, maka datanglah Abbas (paman Nabi saaw) dan Ali bin Abi Thalib dan Nabi saaw berkata padaku :”Wahai Aisyah kedua orang itu akan mati tidak atas dasar agamaku (kafir)”.

Inil adalah kebohongan besar tak mungkin Rasul saaw bersabda seperti itu yang benar Rasul saaw bersabda seprti yang termaktub dalam kitab : Ahlul Bayt wa Huququhum hal.123, disitu diterangkan: Dari Jami’ ibn Umar seorang wanita bertanya pada Aisyah tentang Imam Ali, lalu Aisyah menjawab : “Anda bertanya kepadaku tentang seorang yang demi Allah SWT, aku sendiri belum pernah mengetahui ada orang yang paling dicintai Rasulullah saaw selin Ali,dan di bumi ini tidak ada wanita yang paling dicintai putri Nabi saaw, yakni ( Sayyidah Fatimah Az-Zahra a.s istri Imam Ali a.s). Al-Hakim dalam kitab Al-Mustadrak, Al-Suyuthi dalam kitab Al-Jami Ash-Shaghir dan juga Al-Thabrani dalam kitab Al-Kabir dari Ibnu Abbas, Rasulullah saaw bersabda :” Aku adalah kota ilmu dan Ali adalah pintunya, Maka barangsiapa ingin mendapat Ilmu, hendaknya ia mendatangi pintunya”. Imam Ahmad bin Muhammad Ash-Shadiq Al-Maghribi berdasarkan hadits ini telah membuat kitab khusus yang diberi judul :”Fathul Malik al’Aliy bishihati hadits Babul Madinatil Ilmi Ali” yang membuktikan ke shahihan hadits tersebut.

Tidak mungkin kami menyebutkan hadits-hadits keutamaan Imam Ali satu persatu karena jumlahnya sangat banyak , cukuplah yang dikatakan Imam Ahmad (pendiri mazhab sunni Hambali) seperti yang diriwayatkan oleh putranya Abdullah ibn Ahmad sbb: “Tidak ada seorang pun diantara para sahabat yang memiliki Fadha’il (keutamaan) dengan sanad-sanad yang shahih seperti Ali bin Abi Thalib”. Bany Umaiyah tidak cukup dengan menciptakan hadits-hadits palsu bahkan mengadakan program kekerasan bagi siap yang berani mengungkap hadits-hadits yang menyebutkan keutamaan keluarga Nabi saaw. Mereka meracuni dan mempengaruhi pikiran umat Islam bahwa orang yang mengungkap keutamaan keluarga Nabi saaw adalah para pengacau, musuh Islam dan mereka adalah orang-orang zindiq.

Maka tidak sedikit Ulama’ Islam yang menjadi korban karena mereka berani secara tegas menyebarkan hadits-hadits tersebut. Dimana Bany Umaiyah kemudian dimasa Bany Abbasiyah, Keluarga Nabi saaw dan anak, cucunya terus menerus menjadi korban intimidasi yang tidak henti-hentinya, mengalami pengejaran, pembunuhan, seperti pembantaian Karbala, pembantaian Imam Ali Zainal Abidin, Annafsuzzakia , peracuni Imam Al-Baqir, Ash-shodiq, Al-Khadzim, Ar-Ridha dll, sampai seorang sejarawan terkenal Abul Faraj yang diberi judul “Maqatilut – Thalabiyin”.

Mungkin ada yang bertanya, mengapa mereka berlaku demikian itu dan apa yang mendasarinya?, jawabannya tiada lain hanyalah kaena dengki dan irihati terhadap nikmat yang dikaruniakan Allah kepada keluarga Nabi saaw. “Ataukah mereka dengki kepada (sebagian ) manusia (=Muhammad dan keluarganya) lantaran karunia-karunia yang Allah SWT, telah limpahkan kepadanya...?” (QS; 4,54) Al-Hafid Ibnu Hajar dalam kitabnya As-Sawaiq meriwayatkan dari Ibnu Mughazili Asy-Syafi’i bahwasanya Imam Muhammad Al-Bagir berkata: “Kamilah Ahlul Bayt adalah orang yang kepada mereka sebagian manusia menunjukkan rasa iri dan dengki”.

Para pengutbah dan penceramah tentunya telah mengetahui semua hadits-hadits yang mengkafirkan Abu Thalib yang jumlahnya kurang lebih 9 hadits, oleh karena itu hamba AllahSWT tidak akan menyebutkan lagi disini. Dengan menggunakan Ilmu hadits dan memeriksa Rijal (orang-orang yang meriwayatkan hadits-hadits tersebut. Tidak mungkin merinci komentar para ahli Jarh (kritik hadits) disini, sebagai contoh ; salah seorang perawi hadits dari kalangan sahabat bernama Abi Hurairah, disepakati oleh para ahli sejarah bahwa dia masuk Islam pada perang Khaibar, tahun ke-7 Hijriyah, sedangkan Abu Thalib meninggal satu dua tahun sebelum Hijrah. Apakah dia berhadits ?.

Anehnya beberapa periwayat hadits tersebut menyebutkan beberapa Asbabul Nuzul (sebab-sebab turunya ayat dalam Al-Quran) dihubungkan untuk mengkafirkan Abu Thalib, sebagai contoh; Surah Al-Tawbah 113 dan Al-Qashash 56, surah Al-Tawbah ayat 113 menurut para ahli tafsir termaasuk surah yang terakhir turun di Madinah, sedang Al-Qashash ayat;56 turun pada waktu perang Uhud (sesudah Hijrah), jadi baik antara kedua surah itu ada jarak yang bertahun-tahun juga antara kedua surah tersebut dengan kewafatan Abu Thalib ada jarak yang bertahun-tahun pula. Sekarang kita telah menolak hadits yang mengkafirkan Abu Thalib dan akan mengetengahkan hadits-hadits yang menyebut beliau (semoga Allah meridhainya) sebagai seorang muslim, namun sebelumnya akan kami ketengahkan terlebih dahulu siapakah Abu Thalib itu?

Beliau Abu Thalib nama aslinya adalah Abdu Manaf, sedang nama Abu Thalib adalah nama Kauniyah (panggilan) yang berasal dari putra pertamanya yaitu Thalib, Abu berarti Bapak. Abu Thalib adalah paman dan ayah asuh Rasulullah saaw, dia membela Nabi saaw dengan jiwa raganya. Ketika Nabi saaw berdakwah dan mendapat rintangan Abu Thalib dengan tegar berkata: “Kalian tidak akan dapat menyentuh Muhammad sebelum kalian menguburkanku”. Ketika Nabi saaw dan pengikutnya di baikot di sebuah lembah, Abu Thalib mendampingi Nabi saaw dengan setia. Ketika dia melihat Ali shalat di belakang Rasulullah saaw. Ketika mau meninggal dunia berwasiat kepada keluarganya untuk selalu berada di belakang Nabi saaw dan membelanya untuk menenangkan dakwahnya.

Beliau telah menerima amanat dari ayahnya Abdul Mutthalib untuk mengasuh Nabi saaw dan telah dilaksanakan amanat tersebut. Nabi saaw adalah sebaik-baik asuhan dan Abu Thalib adalah sebaik-baik pengasuh. Beliau mengetahu akan kenaibian Muhammad saaw jauh sebelum Nabi saaw diutus oleh Allah SWT, sebagai Rasul di atas dunia ini. Dia menyebutkan hal tersebut ketika berpidato dalam pernikahan Nabi saaw dengan Sayyidah Khadijah a.s. Abu Thalib berkata : “ Segala Puji bagi Allah yang telah menjadikan kita sekalian sebagian anak cucu Ibrohim dan Ismail, menjadikan kita sekalian berpangkal dari Bany Ma’ad dan Mudhar menjadikan kita penanggung jawab rumah-Nya (ka’bah) sebagai tempat haji serta tanah haram yang permai, menjadikan kita semua sebagai pemimpin-pemimpin manusia. Kemudian ketahuilah bahwa kemponakan saya ini adalah Muhammad ibn Abdullah yang tidak bisa dibandingkan dengan laki-laki manapun kecuali ia lebih tinggi kemuliaannya, keutamaan dan akalnya. Dia (Muhammad ), demi Allah setelah ini akan datang dengan sesuatu kabar besar dan akan mengahadapi tantangan yang berat”.

Kata-kata beliau ini, adalah hasil kesimpulan apa yang beliau lihat tentang pribadi Nabi saaw sejak kecil, atau sebuah ilham dan dari kaca mata sufi adalah sesuatu yang diperoleh dari Ilmu Mukasyafah atau beliau seorang Kasyaf.

Pada saat Abu Thalib berekspidisi ke Syiria (Syam), pada waktu itu Nabi saaw masih berusia 9 tahun dan diajak oleh Abu Thalib, ketika itu bertemu dengan seorang rahib Nasrani bernama Buhairah yang mengetahui tanda-tanda kenabian yang terdapat pada Nabi saaw dan memberitahukan pada Abu Thalib kemudian menyuruhnya membawa pulang kembali ke Mekkah karena takut akan gangguan orang Yahudi.Maka Abu Thalib tanpa melihat resiko perdagangannya dengan serta merta membawa Nabi saaw pulang ke Mekkah.

Jika Abu Thalib hendak makan bersama keluarganya, beliau selalu berkata: Tetaplah kalian menunggu hingga Muhammad datang, kemudian Nabi saaw datang serta makan bersama mereka hingga mereka menjadi kenyang, berbeda seandainya mereka makan tanpa keikut sertaan Nabi saaw, biasa hidangannya adlah susu, maka Nabi saaw dipersilahkan lebih dahulu, baru bergiliran mereka. Abu Thalib berkata kepada Nabi saaw: “Sesungguhnya Engkau adalah orang yang di berkati Tuhan”.

Setiap Nabi akan tidur Abu Thalib membentangkan selimutnya dimana beliau saaw biasa tidur. Beberapa saat setelah beliau saaw tertidur, dia membangunkan beliau saaw lagi dan kemudian memerintahkan sebagian ank-anaknya untuk tidur ditempat Rasulullah saaw tidur, sementara Rasulullah dibentangkan selimut ditempat lain agar Nabi saaw tidur disana. Semua ini dilakukkan oleh Abu Thalib demi keselamatan Nabi saaw.

Ya Allah, Engkaulah yang dituduh oleh sebagian umat Nabi-Mu , tidak mau memberi hidayah Islam kepada seseorang yang mencintai Nabi saaw yang tiada melebihinya dan Nabi saaw mencintainya dengan teramat sangat.

Ya Allah, sungguh prasangkaku baik kepada-Mu, tak mungkin engkau tidak memberi iman kepadanya. Ya Allah Yang Maha Pemurah dan Engkau terjauh dari perasangka buruk. Ya Allah, apakah mungkin umat Nabi-Mu akan menerima Syafa’at dari padanya, sedang lidah-lidah mereka tiada kering dari mengkafirkan paman kesayangannya. Ya Allah Engkau adalah Tuhan Yang Maha Adil dan Engkau akan mengukum siapa saja yang menyakiti Nabi-Mu dan keluarganya. Dalam salah satu sya’irnya Imam Syafi’i berkata : Wahai Keluarga Rasulullah

Kecintaan kepadamu

Allah wajibkan atas kami

Dalam Al-Quran yang diturunkan

Cukuplah tanda kebesaranmu

Tidak sah shalat tanpa shalawat padamu

(maksudnya : Allahumma Shalli ‘ala Muhammad wa ali Muahammad)

Imam Abu Hanifah (pendiri mazhab Hanafi) dalam sya’irnya:

Kecintaan Yahudi kepada keluarga Musa nyata

Dan bantuan mereka kepada keturunan saudaranya jelas

Pemimpin mereka dari keturunan Harun lebih utama

Kepadanya mereka mengikut dan bagi setiap kaum ada penuntun

Begitu juga Nasrani sangat memuliakan dengan penuh cinta

Kepada Al-Masih dengan menuju perbuatan kebajikan

Namun jika seorang muslim membantu keluaga Ahmad (Muhammad)

Maka mereka bunuh dan mereka sebut kafir

Inilah penyakit yang sulit disembuhkan, yang telah menyesatkan akal

Orang-oramg kota dan orang-orang desa, mereka tidak menjaga

Hak Muhammad dalam urusan keluarganya dan Allah Maha Menyaksikan.

Dalam Sya’irnya Imam Zamakhsyari bertutur:

Beruntung anjing karena mencintai Ashabul kahfi

Mana mungkin aku celaka karena mencintai keluarga Nabi saaw

Abu Hasyim Isma’il bin Muhammad Al-Humairi dalam salah satu sya’i permohonan syafa’at pada nabi saaw:

Salam sejahtera kepada keluarga dan kerabat Rasul

Ketika burung-burung merpati beterbangan

Bukankah mereka itu kumpulan bintang gemerlapan dilangit

Petunjuk-petunjuk agung tak diragukan

Dengan mereka itulah aku disurga, aku bercengkrama

Mereka itu adalah lima tetanggaku, Salam sejahtera.

Kini tibalah saatnya untuk kami ketengahkan hadits-hadits tentang Mukminnya Abu Thalib, namun akan kami kutip sebagian saja.

Dari Ibnu Adi yang diriwayatkan dari Anas ibn Malik, ia berkata; “Pada suatu saat Abu Thalib sakit dan Rasulullah menjenguknya, maka ia berkata; “Wahai anak sudaraku, berdo’alah kamu kepada Allah agar ia berkenan menyembuhkan sakitku ini”, dan Rasulullah pun berdo’a: Ya Allah, ...sembuhkanlah paman hamba”, maka seketika itu juga dia berdiri dan sembuh seakan dia lepas dari belenggu”. Apakah mungkin Rasulullah berdoa untuk orang yang kafir padanya ?, apakah mungkin orang kafir minta do’a kepada Rasulullah , apakah mungkin orang yang menyaksikan mukjizat yang demikian lantas tidak mau beriman ?. Perkaranya kembali pada logika orang yang waras.

“Diriwayatkan oleh Bukhari dari Aqil bin Abu Thalib, diterangkan bahwa orang-orang Quraisy berkata kepada Abu Thalib:”Sesungguhnya anak saudramu ini telah menyakiti kami”, maka Abu Thalib berkata kepada Nabi Muhammad saaw :”Sesungguhnya mereka Bany pamanmu,menuduh bahwa kamu menyakiti mereka”. Beliau menjawab : “ Jika seandainya kalian (wahai kaum Quraisy) meletakkan matahari ditangan kananku dan bulan ditangan kiriku untuk aku tinggalkan perkara ini, sehingga Allah menampakkannya atau aku hancur karenanya niscaya aku tidak akan meninggalkannya sama sekali”. Kemudian kedua mata beliau mencucurkan air mata karena menangis, maka berkatalah Abu Thalib kepada beliau saaw:”Hai anak saudaraku, katakalah apa yang kamu suka, demi Allah aku tidak akan pernah menyerahkanmu kepada mereka selamanya”. Dia juga berkata kepada orang-orang Quraisy, “Demi Allah, anak saudaraku tidak bohong sama sekali”.

Kami bertanya apakah kata-kata dan pembelaan demikian ini dapat dilakukan oleh orang kafir, yang agamanya sendiri dicela habis-habisan oleh Nabi saaw ? Kalau yang demikian ini dikatakan tidak beriman, lalu yang bagaimana yang beriman itu ? apkah yang KTP ?

Dari Al-Khatib Al-Baghdadi dari Imam Ja’far Ash-Shadiq yang sanadnya sampai pada Imam Ali, berkata aku mendengar Abu Thalib berkata: Telah bersabda kepadaku, dan dia demi Allah adalah orang yang paling jujur, Abu Thalib berkata selanjutnya: “Aku bertanya kepada Muhammad, Hai Muhammad, dengan apa kamu diutus (Allah) ?” beliau saaw menjawab : “Dengan silaturrahmi, mendirikan shalat, serta mengeluarkan zakat”.

Al-Khatib Al-Baghdadi adalah seorang ulama besar dan beliau menerima hadits yang diriwayatkan oleh Abi Thalib, jika Abu Thalib bukan mukmin maka tentu haditsnya tidak akan diterima, demikian juga Imam Ali dan Imam Ash-Shadiq dll. Penelaahan lebih jauh tentang hadis ini kita akan menemukan bahwa beliau mukmin.

Dari Al-Khitab, yang bersambung sanadnya, pada Abi Rafik maula ummu Hanik binti Abi Thalib bahwasannya ia mendengar Abu Thalib berkata :”Telah berbicara kepadaku Muhammad anak saudaraku, bahwanya Allah memerintahkannya agar menyambung tali silaturrahmi, menyembah Allah serta tidak boleh menyembah seseorang selain-Nya”.(tidak menyekutukan-Nya), kemudian Abu Thalib berkata: “Dan Aku Abu Thalib berkata pula: “Aku mendengar anak saudaraku berkata:”Bersyukurlah, tentu kau akan dilimpahi rizki dan janganlah kufur, niscaya kau akan disiksa”. Apakah ada tanda-tanda beliau orang kafir dalam hadits di atas?, wahai saudaraku anda dikaruniai kemauan berpikir pergunakanlah, jangan seperti domba yang digiring oleh gembala. 14 Abad umat Muhammad telah ditipu oleh rekayasa Bany Umaiyah, kapan mereka mampu mengakhirinya. Ketahuilah lebih 13 abad yang lampau Bany Umaiyah telah ditelan perut bumi akibat kedengkiannya kepada keluarga Nabi, namun fitrahnya tidak habis-habisnya.

Dari Ibnu Sa’ad Al-Khatib dan Ibnu Asakir dari Amru ibn Sa’id, bahwasanya Abu Thalib berkata : “Suatu saat berada dalam perjalanan bersama anak saudaraku (Muhammad), kemudian aku merasa haus dan aku beritahukan kepadnya serta ketika itu aku tidka melihat sesuatu bersamanya, Abu Thalib selanjutnya berkata, kemudian dia (Muhammad) membengkokkan pangkal pahanya dan menginjakkan tumitnya diatas bumi, maka tiba-tiba memancarlah air dan ia berkata kepadku:”Minumlah wahai pamanku !”, maka aku kemudian minum”.

Ini adalah mukjizat Nabi saaw dan disaksikan oleh Abu Thalib, yang meminum air mukjizat, adakah orang kafir dapat meminum air Alkautsar ?. Berkata Al-Imam Al-Arifbillah Al-Alamah Assayyid Muhammad ibn Rasul Al-Barzanji:”Jika Abu Thalib tidak bertauhid kepada Allah, maka Allah tidak akan memberikannya rizki dengan air yang memancar untuk Nabi saaw yang air tersebut lebih utama dengan air Al-Kautsar serta lebih mulia dari air zamzam.

Dari Ibnu Sa’id yang diriwayatkan dari Abdillah Ibn Shaghir Al-Udzri bahwasanya Abu Thalib ketika menjelang ajalnya dia memanggil Bany Abdul Mutthalib seraya berkata:”Tidak pernah akan putus-putusnya kalian dengan kebaikan yang kalian dengar dari Muhammad dan kalian mengikuti perintahnya, maka dari itu ikutilah kalian, serta bantulah dia tentu kalian akan mendapat petunjuk”. Jauh sekali anggapan mereka, dia tahu bahwa sesungguhnya petunjuk itu di dalam mengikuti beliau saaw. Dia menyuruh orang lain agar mengikutinya, apakah mungkin dia sendiri menginggalkannya?. Sekali lagi hanya logika yang waras yang bisa menentukannya dan ma’af bukan domba sang gembala.

Dari Al-Hafidz (si penghafal lebih dari 100.000 hadits) Ibn Hajar dari Ali Ibn Abi Thalib a.s bahwasanya ketika Ali memeluk Islam, Abu Thalib berkata kepadanya:”Teteplah kau bersama anak pamanmu !”. Pertanyaan apa yang bisa ditanyakan terhadap seorang ayah yang menyuruh anaknya memluk Islam, sedangkan dia sendirian dikatakn bukan Islam, adakah hal itu masuk akal ?.

Dari Al-Hafidz Ibn Hajar yang riwayatnya sampai pada Imran bin Husein, bahwasanya Abu Thalib : bershalatlah kamu bersama anak pamanmu, maka dia Ja’far melaksanakan shalat bersama Nabi Muahmmad saaw, seperti juga ia melksanakannya bersama Ali bin Abu Thalib. Sekiranya Abu Thalib tak percaya akan agama Muhammad, tentu dia tidak akan rela kedua putranya shalat bersama Nabi Muhammad saaw, sebab permusuhan yang timbul karena seorang penyair berkata:”Tiap permusuhan bisa diharapkan berakhirnya, kecuali permusuhan dengan yang lain dalam masalah agama”.

Dari Al-Hafidz Abu Nu’aim yang meriwayatkan sampai kepada Ibnu Abbas, bahwasannya ia berkata : “Abu Thalib adalah orang yang paling mencintai Nabi saaw, dengan kecintaan yang amat sangat (Hubban Syadidan) tidak pernah ia mencintai anak-anaknya melebihi kecintaannya kepada Nabi saaw. Oleh karena itu dia tidak tidur kecuali bersamanya (Rasulullah saaw).

Diriwayatkan dalam kitab Asna Al-Matalib fi najati Abu Thalib oleh Assayid Al-Almah Al-Arifbillah, Ahmad bin Sayyid Zaini Dahlan Mufti mazhab Syafi’i di Mekkah pada zamannya:”Sekarang orang-orang Quraisy dapat menyakitiku dengan sesuatu yang takpernah terjadi selama Abu Thalib hidup”. Tidaklah orang-orang Quraisy memperoleh sesuatu yang aku tidak senangi (menyakitiku) hingga Abu Thalib wafat”. Dan setelah beliau melihat orang-orang Quraisy berlomba-lomba untuk menyakitinya, beliau bersabda:” Hai pamanku, alangkah cepatnya apayang aku peroleh setelah engkau wafat”. Ketika Fatimah binti Asad (isteri Abi Thalib) wafat, Nabi saaw menyembahyangkannya, turun sendiri ke liang lahat, menyelimuti dengan baju beliau dan berbaring sejenak disamping jenazahnya, beberapa sahabat bertanya keheranan, maka Nabi saaw menjawab:” Tak seorangpun sesudah Abu Thalib yang kupatuhi selain dia (Fatimah binti Asad).

Abu Thalib dan Sayyidah Khadijah istri Nabi saaw, wafat dalam tahun yang sama, oleh karena itu tahun tersebut oleh Nabi saaw disebut Aamul Huzn dalam tahun dukacita. Jika Abu Thalib seorang kafir patutlah kematiannya disedihkan. Dan apakah patut Nabi bercinta mesrah dengan orang kafir, dengan berpandangan bahwa Abu Thalib kafir sama dengan menuduh Allah, menyerahkan pemeliharaan Nabi saaw, pada seorang kafir dan membiarkan berhubungan cinta-mencintai dan kasih-mengasihi yang teramat sangat padahal dalam Al-Quran disebutkan:”Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka(QS;48,29). Dan diayat yang lain Allah berfirman: “Kamu tidak akan mendpati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akherat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menetang Allah dan Rasul-Nya. Sekalipun orang itu bapak-bapak, atu anak-anak saudara-saudara atupun keluarga mereka”.(QS;58,29)

Seandainya kami tidak khawatir anda menjadi jemu, maka akan kami sebutkan hadits yang lainnya, kini untuk memperkuat argumentasi di atas akan kami ketengahkan disini sya’ir-sya’ir Abu Thalin:

Saya benar-benar tahu bahwa agama Muhammad adalah paling baiknya agama di dunia ini.

Di sya’ir yang lain beliau berkata: “Adakah kalian tidak tahu, bahwa kami telah mengikuti diri

Muahmmadsebagai Rasul seperti Musa yang telah dijelaskan pada kitab-kitab”.

Simaklah sya’ir beliau ini, bahwa beliau juga beriman pad Nabi-Nabi yang lain seperti Nabi Musa a.s, dan ketika Rahib Buhairah berkata padanya beliau juga menimani akan kenabian Isa a.s , sungguh Abu Thalib adalah orang ilmuan yang ahli kitab-kitab sebelumnya.

Dalam sya’ir yang lain: “Dan sesungguhnya kasih sayang dari seluruh hamba datang kepadanya (Muhammad). Dan tiada kebaikan dengan kasih sayang lebih dari apa yang telah Allah SWT khususkan kepadanya”.

“Demi Tuhan rumah (Ka’bah) ini, tidak kami akan serahkan Ahmad (Muhammad)kepada bencana dari terkaman masa dan malapetaka”.

“Mereka (kaum Quraisy) mencemarkan namanya untuk melemahkannya. Maka pemilik Arsy (Allah) adalah dipuji (Mahmud) sedangkan dia terpuji (Muhammad)”.

“Demi Allah, mereka tidak akan sampai kepadamu dengan kekuatannya. Hingga Aku terbaring diatas tanah”. Maka sampaikanlah urusanmu secara terang-terangan apa yang telah diperintahkan tanpa mengindahkan mereka. Dan berilah kabar gembira sehingga menyenangkan dirimu. Dan engkau mengajakku dan aku tahu bahwa engkau adalah jujur dan benar. Engkau benar dan aku mempercayai. Aku tahu bahwa agama Muhammad adalah paling baiknya agama di dunia ini”. Dan sebilah pedang meminta siraman air hujan dengan wajahnya, terhadap pertolongan anak yatim sebagai pencegahan dari muslim paceklik. Kehancuran jadi tersembunyi dari bany Hasyim (marganya Nabi saaw), maka mereka disisinya (Muhammad) tetap dalam bahgia dan keutamaan.

“Sepanjang umur aku telah tuangkan rasa cinta kepada Ahmad.

Dan aku menyayanginya dengan kasih sayang tak terputus.

Mereka sudah tahu bahwa anak yatim tidak berbohong.

Dan tidak pula berkata dengan ucapan yang bathil.

Maka siapakah sepertinya diantara manusia hai orang yang berfikir.

Jika dibanding pemimpinpun dia lebih unggul.

Lemah lembut, bijaksana, cerdik lagi tidak gagabah, suka santun serta tiada pernah lalai.

Ahmad bagi kami merupakan pangkal, yang memendekkan derajat yang berlebihan.

Dengan sabar aku mengurusnya, melindungi serta menepiskan darinya semua gangguan”.

Kiranya cukup, apa yang kami ketengahkan dari sya’ir-sya’ir Abu Thalib yang membktikan bahwa beliau adalah seorang mukmin dan telah menolong dan membela Nabi saaw, maka beliau termasuk orang-orang yang beruntung.

“Maka orang-orang yang beriman kepadanya, memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Al-Quran) mereka itulah orang-orang yang beruntung”. (QS; 7;15)

Sesungguhnya Abu Thalib adalah orang yang telah mempercayainya, memuliakannya serta menolongnya, sehingga ia menentang orang-orang Quraisy. Dan ini telah disepakati oleh seluruh sejarahawan. Sebauah hadits Nabi saaw menyebutkan :”Saya (Nabi saaw) dan pengawal yatim, kedudukannya disisi Allah SWT bagaikan jari tengah dengan jari telunjuk”. Siapakah sebaik-baik yatim? Dan siapakah sebaik-baik pengasuh yatim itu?, Bukankah Abu Thalib mengasuh Nabi saaw dari usia 8 tahun sampai 51 tahun.

Dalam Tarikh Ya’qubi jilid II hal. 28 disebutkan :

“Ketika Rasul saaw diberi tahu tentang wafatnya Abu Thalib, beliau tampak sangat sedih, beliau datang menghampiri jenazah Abu Thalib dan mengusap-usap pipi kanannya 4 kali dan pipi kiri 3 kali. Kemudian beliauberucap :”Paman, engkau memlihara diriku sejak kecil, mengasuhkusebagai anak yatim dan membelaku disaat aku sudah besar. Karena aku, Allah SWT melimpahkan kebajikan bagimu”. Beliau lalu berjalan perlahan-lahan lalu berkata : ”Berkat silaturrahmimu Allah SWT melimpahkan kebajikan bagimu paman”.

Dalam buku Siratun Nabi saaw yang ditulis oleh Ibnu Hisyam, jilid I hal.252-253 disebutkan: Abu Thalibmeninggal dunia tanpa ada kafir Quraisy disekitarnya dan mengusapkan dua kalimat syahadat yang didengar oleh Abbas bin Abdul Mutthalib. Demikian pula dalam buku Abu Thalib mukmin Quraisy oleh Syeckh Abdullah al-Khanaizy diterangkan : bahwa Abu Thalib mengusapkan kalimat Syahadat diriwayatkan oleh Abu Bakar, yang dikutib oleh pengarang tersebut dari buku Sarah Nahjul balaghah III hal.312, Syekh Abthah hal.71nAl-Ghadir VII hal.370 & 401, Al-A’Yan XXXIX hal.136.

Abu Dzar Al-Ghifari seorang sahabat Nabi saaw yang sangat dicintai Nabi saaw bersumpah menyatakan, bahwa wafatnya Abu Thalib sebagai seorang mukmin (Al-Ghadir Vii hal.397).

Diriwayatkan dari Imam Ali Ar-Ridha dari ayahnya Imam Musa Al-Kadzim, riwaya ini bersambung sampai pada Imam Ali bin Abi Thalib dan beliau mendengar dari Nabi saaw, bahwa : “Bila tak percaya akan Imannya Abu Thalib maka tempatnya di neraka”. (An-Nahjul III hal.311, Al-Hujjah hal.16, Al-Ghadir VII hal.381 & 396, Mu’janul Qubur hal.189, Al-A’Yan XXXIX hal.136, As-Shawa’iq dll). Abbas berkata ;” Imannya Abu Thalib seperti imannya Ashabul Kahfi”.

Boleh jadi sebagian para sahabat tidak mengetahui secara terang-terangan akan keimana Abu Thalib. Penyembunyian Iman Abu Thalib sebagai pemuka Bany Hasyim terhadap kafir Quraisy merupakan strategi, siasat dan taktik untuk menjaga dan membela Islam pada awal kebangkitannya yang masih sangat rawan itu sangat membantu tegaknya agama Allah SWT.

Penyembunyian Iman itu banyak dilakukan ummat sebelum Islam sebagaimana banyak kita jumpai dalam Al-Qur’an, seperti Ashabul Kahfi (pemuda penghuni gua), Asiah istri Fir’aun yang beriman pada Nabi Musa a.s dan melindungi, memlihara dan membela Nabi Musa a.s, juga seorang laki-laki dalam kaumnya Fir’aun yang beriman dan membela pada Nabi Musa, Lihat Al-Quran; 40:28 berbunyi :”Dan seorang laki-laki yang beriman diantara pengikut-pengikut (kaum) Fir’aun yang menyembunyikan imannya berkata:’Apakah kamu akan membunuh seorang laki-laki (Musa) karena dia menyatakan: “Tuhanku adalah Allah padahal dia telah datang kepadamu dengan membawa keterangan-keterangan dari Tuhanmu. Dan jika dia seorang pendusta maka dialah yang menanggung (dosa) dosanya itu, dan jika dia seorang yang benar niscaya sebagian (bencana) yang diancamkannya kepadamu akan menimpamu. Sesungguhnya Allah SWT, tidak menunjuki orang-orang yang melampaui batas lagi pendusta”.

Jadi menyembunyikan iman terhadap musuh-musuh Allah tidaklah dilarang dalam Islam. Ada suatu riwayat dizaman Rasulullah saaw, demikian ketika orang-orang kafir berhasil menangkap Bilal, Khabab, Salim. Shuhaib dan Ammar bin Yasar serta ibu bapaknya, mereka digilir disiksa dan dibunuh sampai giliran Ammar,melihat keadaan yang demikian Ammar berjihad untuk menuruti kemauan mereka dengan lisan dan dalam keadaan terpaksa. Lalu dibritahukan kepada Nabi saaw bahwa Ammar telah menjadi kafir, namun baginda Nabi saaw menjawab:” Sekali lagi tidak, Ammar dipenuhi oleh iman dari ujung rambutnya sampai keujung kaki, imannya telah menyatu dengan darah dagingnya”. Kemudian Ammar datang menghadap Rasulullah saaw sambil menangis, lalu Rsulullah saaw mengusap kedua matanya seraya berkata:”Jika mereka mengulangi perbuatannya, mak ulangi pula apa yang telah engkau ucapkan”. Kemudian turunlah ayat (QS; 16;106) sebagai pembenaran tindakan Ammar oleh Allah SWT berfirman:”Barang siapa yang kafir kepada Allah SWT sesudah dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (tidak berdosa), akan tetapi orang-orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah SWT menimpahnya dan baginya azab yang besar”.

Imam Muhammad bin Husein Mushalla AlHanafi (yang bermazhab Hanafi) ia menyebut dalam komentar terhadap kitab Syihabul Akhbar karya Muhammad ibn Salamah bahwa: “Barangsiapa yang mencela Abu Thalib hukumnya adalah kafir”. Sebagian ulama dari Mazhab Maliki berpandangan yang sama seperti Ali Al-Ajhuri danAt-Tulsamany, mereka ini berkata orang yang mencela Abu Thalib (mengkafirkan) sama dengan mencela Nabi saaw dan akan menyakiti beliau, maka jika demikian ia telah kafir, sedang orang kafir itu halal dibunuh. Begitu pula ulama besar Abu Thahir yang berpendapat bahwa barangsiapa yang mencela Abu Thalib hukumannya adalah kafir.

Kesimpulannya, bahwa siapapun yang coba-coba menyakiti Rasulullah saaw adalah kafir dan harus diperangi (dibunuh), jika tidak bertaubat. Sedang menurut mazhab Maliki harus dibunuh walau telah taubat. Imam Al-Barzanji dalam pembelaan terhadap Abu Thalib, bahwa sebagian besar dari para ulama, para sufiah dan para aulia’ yang telah mencapai tingkat ”Kasyaf”, seperti Al-Qurthubi, As-Subki, Asy-Sya’rani dll. Mereka sepakat bahwa Abu Thalib selamat dari siksa abadi, kata mereka :” Ini adalah keyakinan kami dan akan mempertanggungjawabkannya dihadapan Allah SWT kelak”.

Akhirnya mungkin masih ada kalangan yang tanya, bukankah sebagian besar orang masih menganggap Abu Thalib kafir, jawabnya :”Banyaknya yang beranggapan bukan jaminan suatu kebenaran”.

“Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang dimuka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah SWT. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti prasangka belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah SWT) (QS;6:115).

Semoga kita dijadikan sebagian golongan yang mencintai dan mengasihi sepenuh jiwa ruh dan jasad kepada Nabi Muhammad saaw dan Ahlul Baitnya yang telah disucikan dari segala noda dan nista serta para sahabatnya yang berjihad bersamanya yang setia mengikutinya sampai akhir hayatnya.

Sesungguhnya taufiq dan hidayah hanyalah dari Allah SWT, kepada-Nya kami berserah diri dan kepada-Nya kami akan kembali

These icons link to social bookmarking sites where readers can share and discover new web pages.
  • Digg
  • Sphinn
  • del.icio.us
  • Facebook
  • Mixx
  • Google
  • Furl
  • Reddit
  • Spurl
  • StumbleUpon
  • Technorati

Melacak Jejak Kemunculan Syiah

"Tulisan ringan ini adalah sebuah tanggapan ringan atas asumsi yang dibangun oleh salah seorang penyanggah, yang mengomentari artikel Relasi Agama dan Filsafat. Kendati, menurut hemat penulis, komentar yang ditujukan atas tulisan tersebut merupakan komentar salah alamat untuk tidak mengatakan salah kaprah. Karena dalam tulisan tersebut yang diketengahkan adalah masalah-masalah universal dan umum tidak menjurus kepada masalah-masalah partikular dan khusus seperti masalah-masalah mazhab, Sunni-Syiah. Tapi nampaknya penyanggah kurang memperhatikan etika polemik dengan baik, barangkali didorong oleh keinginan untuk memanfaatkan tulisan yang popular yang kemudian dibaca oleh setiap orang dengan mudah dan cepat, sehingga membuat penyanggah lalai akan etika polemik ini. Termasuk tidak menyebutkan nama, email yang dapat menjamin kontiunitas diskusi ini, foot note yang dilampirkan tidak tahu merujuk kemana? Ala kulli hal, dalam tulisan-tulisan polemis antara kedua mazhab besar ini, ayat-ayat Qur’an dan hadis-hadis nabawi yang sering dikemukakan adalah lebih banyak dari apa yang diuraikan oleh sang penyanggah. Seperti dengan mengatakan bahwa dalil Qur’an yang menjadi landasan atau hujjah mazhab Ahlulbait As terdiri dari dua ayat al-Qur’an, surah al-Hud ayat 72-74 dan surah al-Ahzab ayat 28-33, yang kurang lebihnya menyoroti redaksi Ahl al-Bait dari ayat tersebut."


Sementara ayat-ayat Qur’an yang menegaskan derajat, kedudukan, dan keharusan mengikuti para Imam Ahlulbait lebih banyak dari yang disebutkan, dimana secara selintasan dan sepintas disebutkan kemudian (pada tulisan-tulisan berikutnya, bersambung terus so jangan khawatir). Demikian juga sandaran hadis nabawi terbatas pada hadis al-Ghadir dan ats-Tsaqalain, kendati kalau mau jujur dan fair mengkaji hadis ini telah cukup untuk membuktikan keutamaan Ahlulbait, sementara hadis-hadis yang lain cukup banyak yang menegaskan derajat dan keutamaan Ahlulbait As.

Banyak sanggahan yang diajukan oleh Sdr. Penyanggah atas artikel tersebut, di sini dan pada kesempatan mendatang, penulis akan berusaha menjawabnya satu demi satu. Insya Allah.

Pada kesempatan ini, tulisan ini dimaksudkan untuk mengugurkan asumsi kemunculan Syiah yang ditengarai secara emosional oleh Sdr. Penyanggah dalam bentuk soalan, apakah benar bahwa Syiah merupakan ajaran sungsang yang membuat luruh air mata baginda Nabi Saw? Apakah benar bahwa Syiah sebagai fitnah akhir zaman yang mengatasnamakan Ahlulbait sebagai pembenar ajaran-ajarannya? Apakah benar, bahwa nasionalisme Persialah yang menjadi penyebab utama kemunculan Syiah? Berangkat dari tiga soalan ini penulis menurunkan artikel ringan yang berjudul Melacak Jejak Kemunculan Syiah. Dengan begitu, barangkali menurut hemat penulis, sistematika pembahasan ini dapat terjaga dan terarah dengan baik.

Adapun pembahasan atau soalan tentang tafsir ayat ahl al-bait dari dua surah di atas, pengkhususan para imam dari keturunan Husain saja, dalil Qur’an dan hadis shahih ihwal imamah mereka, akan penulis khususkan pada kesempatan berikutnya.



Beberapa Asumsi Atas Kemunculan Syiah

Dalam menyoroti fenomena dan latar belakang kemunculan Syiah, terdapat beberapa asumsi yang dibangun. Beberapa asumsi tersebut adalah sebagai berikut:

1. Kemunculan Syiah pada masa Rasulullah Saw

2. Kemunculan Syiah pasca Saqifah

3. Kemunculan Syiah setelah syahadah Husain bin Ali As

4. Kemunculan Syiah karena pengaruh orang-orang Persia

5. Kemunculan Syiah karena pengaruh pemikiran Ibnu Saba.

Sdr. Penyanggah dan orang-orang semacamnya yang bersandar pada asumsi keempat menandaskan bahwa Syiah muncul lantaran pengaruh orang-orang Persia. Dengan kata lain, kemunculan Syiah adalah dikarenakan faktor nasionalisme Persia, karena Imam Husain As menikah dengan Syahrbanu keturunan dinasti Sasani Persia. Adapun asumsi-asumsi lainnya yaitu asumsi kedua, ketiga dan kelima, mengingat ruang dan waktu yang terbatas di sini, akan dibahas pada kesemaptan mendatang.



Makna Syiah secara leksikal dan teknikal

Sebelum merangsek lebih jauh, ada baiknya kita menguliti makna Syiah dan Tasyayyu’ terlebih dahulu baik secara leksikal atau pun secara teknikal. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari kerancuan dan memperoleh kejelasan ihwal seluk-beluk Syiah. Syiah secara bahasa memiliki dua makna:

1. Kesepakatan dan koordinasi dua orang atau dua kelompok dalam akidah dan perbuatan, dimana salah seorang dari mereka mengikuti yang lain.

Hal ini disebutkan dalam kitab Lisan al-Arab, Syiah adalah sekelompok orang yang bersepakat dalam satu urusan. Makna syiah menurut definisi pertama juga digunakan dalam al-Qur'an, sebagaimana Nabi Ibrahim As disebut sebagai Syiah Nabi Nuh As.

"Dan Sesungguhnya Ibrahim benar-benar termasuk golongannya (Syiah Nuh)."


2. Mengikuti dan menuruti orang lain

Dalam kamus al-Muhith disebutkan bahwa Syiah seseorang adalah pengikut dan penolongnya. Mengikuti keyakinan, jalan dan adat orang lain biasanya disertai dengan cinta (mahabbah) dan rasa suka. Dalam penggunaan kata Syiah, makna ini juga yang dimaksud.

"Maka orang yang dari golongannya meminta pertolongan kepadanya, untuk mengalahkan orang yang dari musuhnya." (Qs. al-Qasas [28]:15)

Dari dua makna yang telah disebutkan, makna kedua yang lebih dikenal dan lebih masyhur.



Makna Syiah secara Teknikal

Para sejarawan dan peniliti dalam bidang Milal wan Nihal (bidang yang membahas sejarah agama-agama, bangsa-bangsa dan mazhab-mazhab) secara mutlak mengatakan bahwa Syiah yang dimaksud adalah Syiah Itsna Asyariyyah. Berikut ini kami akan uraikan satu demi satu definisi ihwal Syiah yang disampaikan oleh para sejarawan dan peneliti. Banyak definisi yang disampaikan tentang Syiah, antara lain,

1. Keyakinan terhadap imamah belâfashl (segera setelah, soon as, immediately) Amirul Mukminin, karena ia lebih utama daripada sahabat yang lain, dan juga Nabi Saw melantiknya sebagai khalifah setelahnya. Dan keyakinan terhadap masalah bahwa imamah akan senantiasa berlanjut di bawah panji putra-putra Fatimah az-Zahra As. Dan tiada orang lain yang memiliki hak untuk mengambil alih urusan ini. Syaikh Mufid tentang masalah ini berkata, kalimat Syiah terkadang digunakan dengan alif lâm (ta'rif) dan kadang tanpanya. Bilamana penggunaan terma Syiah tanpa alif lam ia bermakna alif lâm luas dan lapang. Seperti dapat digunakan pada antek-antek Bani Umayyah (Syiah Bani Umayyah) atau Syiah Bani Abbas, dan Syiah fulan. Akan tetapi kapan saja kata Syiah digunakan dengan alif lâm ia bermakna khusus dan maksud dari kalimat itu adalah orang-orang yang mengikuti Imam Ali sebagai Wali Amr Muslimin dan yakin kepada imamah belafashl selepas kepergian Nabi Saw.

2. Makna Syiah yang kedua adalah orang-orang yang yakin terhadap keutamaan Imam Ali atas seluruh sahabat dan ketiga orang khalifah sebelumnya, kendati orang-orang yang masuk dalam definisi ini tidak meyakini imâmah belafashl Imam Ali As. Dan secara asasi, mereka tidak meyakini adanya nash dalam urusan khilafah dan imamah.

3. Penggunaan lafaz Syiah yang ketiga adalah ekspresi kecintaan dan mawaddah kepada Ahlulbait Nabi Saw.

Dalam terminologi kalam, Syiah yang dimaksud di sini adalah Syiah yang bermakna pertama, yaitu orang-orang yang meyakini khilafah dan imamah belafashl Imam Ali As.



Makna Tasyayyu' Secara Leksikal

Jauhari dalam Sihah al-Lughat berkata, tasyayyu' berarti musya' ya'at (klausul mufa'ala, yang melibatkan dua orang atau lebih), yang bermakna mengikuti, menolong dan berwilayah kepada seseorang. Dalam Taj al-'Arus dan Lisan al-'Arab memuat redaksi yang sama seperti makna tersebut.



Tasyayyu' secara Teknikal

Tasyayyu' secara istilah berangkat dari keyakinan bahwa imâmah merupakan kedudukan yang ditentukan oleh Tuhan dan meyakini bahwa pemilihan imam terlaksana melalui nash (baca: wahyu) dan bersumber dari sisi Tuhan. Berangkat dari sini, Nabi Saw dengan mengikuti tradisi para nabi sebelumnya yang mengangkat para imam dan washi – sesuai dengan titah Tuhan – selepas mereka. Dan Nabi Saw memperkenalkan Imam 'Ali As sebagai Imam pertama dan Imam Mahdi As sebagai Imam terakhir dari dua belas imam yang diperkenalkan oleh Rasulullah Saw sebagai pemimpin agama, pemegang panji wilayah, kekuasaan dan kepemimpinan umat. (Lihat al-Qunduzi, Yanabiul Mawaddah dan Hamuyinii asy-Syafi’i dalam Faraidh as-Simthain tentang silsilah para Imam yang berasal dari keturunan al-Husain, sebagai penjelas dari hadis-hadis yang menyiratkan akan adanya dua belas khalifah pasca Rasulullah sebagaimana yang disebutkan dalam Sahih Bukhari, Sahih Muslim, Sunan Abi Dawud, Sunan at-Tirmidzi dan Shawaiqul Muhriqah).

Syaikh Jawad Mugniyah berkata, tasyayyu' adalah iman terhadap adanya nash dari sisi Nabi Saw atas imamah dan khilafah Imam Ali As.



Beberapa Asumsi bahwa Syiah adalah Rekaan Bangsa Persia

Nampaknya Sdr. Penyanggah sangat puritan dengan asumsi ini dan seakan memaksakan kehendak bahwa Syiah muncul dikarenakan nasionalisme bangsa Persia buah pernikahan Imam Husain As dengan Syahrbanu putri Raja Yazdghird III. Sdr. Penyanggah mungkin banyak bertaklid kepada Ahmad Amin dan Ahmad AthiyatuLlah dari kalangan Sunni dan orientalis seperti Edward Brown dalam memelihara asumsi ini untuk melacak jejak kemunculan Syiah. Sebagai tambahan dari klaim asumsi nasionalisme ini, ada beberapa asumsi lainnya yang digunakan di antaranya, akidah wishayah dan wiratsah dalam masalah imamah yang merupakan landasan fundamental dalam akidah Syiah, tidak dikenal sebelumnya oleh bangsa Arab, akan tetapi pemerintahan dinasti kerajaan Persia telah sekian lama bertopang pada sistem ini. Kedua, Kekalahan bangsa Iran dan ditaklukkannya Iran oleh lasykar Muslimin menjadi embrio kemunculan dendam dan kusumat bangsa Iran terhadap kaum Muslimin Arab sehingga dengan demikian, untuk menuntut balas dari kekalahan ini, diciptakanlah suatu mazhab yang bernama “Syiah”.



Kerapuhan Asumsi bahwa Syiah adalah rekaan orang-orang Persia

Dalam mengkritisi dan sekaligus menggugurkan asumsi Sdr. Penyanggah dan orang-orang semacamnya, saya minta untuk memperhatikan poin-poin berikut ini:

1. Sebagaimana yang akan dijelaskan secara rinci di bawah, Syiah telah muncul pada masa Rasulullah Saw.

2. Sahabat-sahabat utama Rasulullah Saw seperti Miqdad bin Aswad, Salman al-Farisi, Abu Dzar adalah terkenal sebagai Syiah Ali As.

3. Letak geografis yang terpenting Syiah pada masa-masa awal Islam adalah terletak di daerah-daerah Arab-Hijaz, Iraq dan Yaman bukan Iran. Dan kebanyakan pengikut (Syiah) Ali pada masa hidupnya adalah orang-orang Arab. Sebagaimana terlihat pada lasykar Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib dalam peperangan seperti Jamal, Shiffin dan Nahrawan. Lasykar Imam Ali ini kebanyakan terdiri dari orang-orang Arab dan sahabat-sahabat terdekat Nabi Saw.

4. Menurut catatan sejarah tampak jelas bahwa orang-orang Iran pada masa-masa permulaan memeluk Islam, dengan memperhatikan pemikiran yang menguasai masyarakat ketika itu adalah pemikiran Sunni, adalah bermazhab Sunni setelah itu secara gradual mazhab Syiah tersebar dikarenakan sebab yang beragam. Di antaranya orang-orang Syiah Hijaz, Iraq berhijrah ke Iran dan melalui mereka mazhab Syiah tersebar di persada Iran.

5. Muhammad Abu Zuhra berkata: Orang-orang Persia memeluk Syiah melalui tangan orang-orang Arab, dan sekali-kali Syiah tidak pernah dimunculkan oleh mereka. Banyak ulama-ulama Islam yang dikarenakan takut kepada antek-antek Bani Umayyah dan Bani Abbasiyah melarikan diri ke daerah-daerah Pars, Khurasan (daerah Persia) dan telah menjadi sebab tersebarnya ajaran Syiah. Dan setelah jatuhnya Bani Umayyah, ajaran Syiah tersebar di wilayah ini. (al-Imam Ja’far Shadiq As, hal. 545)

6. Kerapuhan yang lain dari asumsi ini adalah di samping kedua belas Imam Syiah dari sisi nasab dan kebangsaan adalah Arab, kebanyakan ulama Syiah berasal dari keluarga Arab seperti Ali A’yan, Ali ‘Athiyyah, Bani Darrah, Syaikh Mufid, Sayid Murtadha, Muhaqqiq Hilli, Allamah Hilli, Ibnu Thawus, Ibnu Idris, Fadhil Miqdad, Syahid Awwal dan Syahid Tsani dan yang lainnya. Dan dari sisi lain, tidak satu pun dari para Imam Arba’ah (Maliki, Syafi’i, Hanbali dan Hanafi) adalah orang-orang Arab, melainkan orang-orang yang berlindung kepada orang-orang Arab, sebagaimana para penulis kitab Shihah Ahlussunnah, dan kebanyakan dari para muhaddits, teolog, juris, dan ahli hadis tersohor mereka juga bukan orang-orang Arab. Hampir kebanyakan dari mereka adalah orang-orang Persia..

7. Kemestian dari asumsi ini menegaskan adalah bahwa orang-orang Iran lebih menaruh hormat kepada Syahrbanu bunda Imam Sajjad daripada ibu-ibu para imam lainnya, sementara tidaklah demikian, misalnya kepada Narjis Khatun bunda Imam Mahdi Ajf yang merupakan salah seorang budak Roma. Orang-orang Iran juga tetap menaruh hormat kepada para bunda Imam Ahlulbait As. Dan terlepas dari itu, asumsi ini tidak dapat diterapkan pada Imam Ali dan Imam Hasan As, lantaran secara hierarkis, Imam Ali dan Imam Hasan adalah pendahulu dari Imam Husain As.

8. Apabila orang-orang Iran menaruh hormat kepada para Imam Suci As dikarenakan nasab mereka berasal dari Dinasti Sasani seharusnya mereka juga harus menaruh hormat kepada Bani Umayyah lantaran pada masa Walid bin Abdul Malik, pada salah satu perang Qutaibah bin Muslim, salah seorang cucu Yazdgard bernama Syah Afarid tertangkap, dan Walid menikah dengan wanita tawanan tersebut. Dan dari perkawinan itu, lahirlah Yazid bin Walid yang terkenal sebagai Yazid Naqish. Oleh karena itu, nasab (geneologi) Yazid bin Walid dapat ditelusuri hingga para Raja Sasani.

9. Penisabatan Yazid bin Walid kepada Raja Sasanik ini dari sudut pandang sejarah lebih meyakinkan ketimbang penisbatan Imam Ali bin Husain as-Sajjad As. Karena ihwal pernikahan Imam Husain dan Syahrbanu Yazdghird Sasani III masih diragukan oleh sebagian sejarawan, namun tidak demikian dalam hal pernikahan Walid bin Abdul Malik dengan Syah Farid.

10. Akidah Syiah Itsna Asyari dalam masalah imamah dan masalah-masalah lainnya memiliki akar yang kuat dan panjang dalam al-Qur’an dan hadis nabawi dan riwayat-riwayat Imam Ahlulbait As (seperti yang akan dibuktikan oleh penulis pada tulisan sekuel berikutnya).

11. Saksi-saksi sejarah menegaskan bahwa orang-orang Iran –bukan lantaran gentar dan terpaksa – memeluk Islam, melainkan dimotivasi oleh kerelaan, kegemaran dan kecintaan terhadap Islam. Yang menjadi sebab diterimanya Islam dan berserah dirinya (taslim) orang-orang Iran di hadapan lasykar Muslimin, pertama, kebenaran akidah dan ajaran Islam. Kedua, terbebasnya mereka dari tirani dan oppresi raja-raja Sasani. Dengan kata lain, hukum dan ajaran yang bertengger di atas fondasi keadilan dan kesetaraan dalam Islam dari satu sisi, dan dari sisi lain kesewenang-wenangan dan diskriminasi system pemerintahan Sasani yang membuat orang-orang Iran menerima ajaran Islam.



Syiah dalam Lisan Rasulullah Saw

Kalau ingin ditelusuri sejarah kemunculan Syiah, seorang peneliti dan pencari fair dapat menemukannya pada masa Rasulullah Saw.

Dari banyak riwayat yang terang menjelaskan bahwa redaksi “Syiah” telah tersebar semenjak masa Rasulullah dan beliaulah yang menyebarkan istilah ini.

Di samping riwayat-riwayat yang terdapat pada referensi-referensi mazhab Syiah, juga terdapat pada referensi-referensi mazhab Sunni dimana ayat “Ulaika humul Bariyyah (Qs. Al-Bayyinah [97]:7) yang ditafsirkan oleh Rasulullah Saw untuk Ali bin Abi Thalib dan para pengikutnya (Syiah).

Misalnya Hakim Naisyaburi salah seorang alim terkenal Sunni yang hidup pada abad kelima Hijriah menukil riwayat-riwayat ini dalam kitabnya yang terkenal “Syawâhid at-Tanzil” dengan sanad yang beragam dan kurang lebih dari dua puluh riwayat dimana beberapa dari riwayat tersebut sebagai contoh akan disebutkan di sini.

1. Ibnu Abbas berkata: “Tatkala ayat “Innaladzina Âmanû wa ‘Amilûshalihât Ulaika hum Khairul Bariyyah” (Sesungguhnya orang-orang beriman dan beramal shaleh mereka adalah sebaik-baik mahkluk) turun, Rasulullah Saw bersabda kepada ‘Ali: Huwa Anta wa Syia’tuka. Ta’ti Anta wa Syiahtuka Yaumal Qiyâmah Râdhiin wa Mardhiyyîn wa Ya’ti ‘Aduwwuka Ghadbânan Muqhamîn.” (Maksud dari ayat ini adalah dirimu dan Syiahmu yang pada hari Kiamat akan memasuki padang Masyhar dalam keadaan ridha dan diridhai oleh Tuhan. Sementara musuhmu dalam keadaan murka dan dimurkai.” (Syawahid at-Tanzil, jil. 2, hal. 357.)

2. Dalam hadis yang lain yang bersumber dari Abu Barzah dimana ketika Rasulullah Saw membacakan ayat ini, beliau bersabda: “Mereka (Khairul Bariyyah itu) adalah engkau dan Syiahmu wahai Ali, dan perjanjianku dan dirimu di samping telaga Kautsar. (Idem)

3. Dari hadis yang lain dari Jabir bin Abdullah Anshari disebutkan bahwa kami duduk di samping Ka’bah bersama Rasulullah Saw dan ‘Ali datang menuju ke arah kami, tatkala Rasulullah Saw menoleh kepadanya, beliau bersabda: “Qad Atakum Akhi.” (Telah datang saudaraku kepada kalian). Lalu Rasulullah Saw menghadap ke arah Ka’bah dan bersabda: “Wa Rabba Hadzi al-Baniyyah, Inna Hadza wa Syia’atahu Humul Faizun Yaumal Qiyamah..(Demi Tuhan Ka’bah, Aku bersumpah sesungguhnya orang ini (‘Ali) dan Syiahnya adalah orang-orang yang berjaya pada hari Kiamat).” (Idem, Ibnu Hajar, Shawâiqul Muhriqah, hal. 96, dan Muhammad Syablanji, Nurul Abshar, hal. 70 dan 101)

4. Dalam kitab ad-Durrul Mantsur dinukil dari Ibnu Abbas bahwa sewaktu ayat “Innaladzina Âmanû wa ‘Amilûshalihât Ulaika hum Khairul Bariyyah” (Sesungguhnya orang-orang beriman dan beramal shaleh mereka adalah sebaik-baik mahkluk) turun, Rasulullah Saw bersabda kepada ‘Ali: : Huwa Anta wa Syia’tuka. Ta’ti Anta wa Syiahtuka Yaumul Qiyâmah Râdhiin wa Mardhiyyîn .” (Maksud dari ayat ini adalah dirimu dan Syiahmu yang pada hari Kiamat akan memasuki padang Masyhar dalam keadaan ridha dan diridhai oleh Tuhan. (ad-Durrul Mantsur, jil. 6, hal. 379).

5. As-Suyuthi menukil dalam hadis yang sama dari Ibnu Mardawiyah dari Hadhrat Ali bahwa Rasulullah Saw bersabda kepadaku: “Alam Tasma’ QauluLlah: Innaladzina Âmanu wa ‘Amilushalihât Ulaika hum Khairul Bariyyah” Anta wa Syiahtuka wa Mau’idi wa Mau’idukum al-Haudh, Idza Ji’tu al-Umam lil Hisab, Tud’auna Ghurran Muhajjalin. Apakah engkau tidak mendengar firman Allah: (Sesungguhnya orang-orang beriman dan beramal shaleh mereka adalah sebaik-baik mahkluk)? (yang dimaksud) Adalah engkau dan Syiahmu. Tempat perjanjian antara diriku dan dirimu adalah di telaga Kautsar. Tatkala aku datang untuk menghisab seluruh umat, engkau akan dipanggil sementara keningmu putih dan telah dikenal. (Idem).

Dan banyak lagi dari ulama Sunni dengan redaksi yang sama menukil hadis ini dalam kitab-kitab mereka semisal: Khatib Khawarazmi dalam Manaqib, Abu Nu’aim Isfahani dalam Kifayatul Khisham, dan Thabari dalam Tafsir-nya, Ibnu Shibagh al-Maliki dalam Fushulul Muhimmah, dan Allamah Syaukani dalam Fathul Ghadir dan Syaikh Sulaiman al-Qunduzi dalam Yanabi’ul Mawaddah, dan Alusi dalam Ruhul Ma’ani ketika mereka menafsirkan ayat yang dimaksud di atas. Silahkan Anda merujuk kepada kitab-kitab yang disebutkan di sana untuk membuktikan klaim ini.

Dari hadis-hadis nabawi yang dinukil dari kitab-kitab terdepan Sunni tentang sejarah kemunculan Syiah dapat dikatakan dengan tegas bahwa Syiah telah muncul semenjak masa Rasulullah Saw dan melalui lisan beliaulah Syiah diperkenalkan kepada umat.



Tiadanya Empat Mazhab Hingga Abad Ketiga

Adapun mazhab jumhur Sunni yang terbagi menjadi empat mazhab besar, sesuai catatan sejarah, keempat mazhab Sunni (Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali) belum muncul lagi dan belum memiliki pengikut hingga abad ketiga. Lantaran berdasarkan nukilan yang ada:

Abu Hanifah, Nu’man bin Tsabit, Imam Mazhab Hanafi lahir pada tahun 80 Hijriah dan wafat pada tahun 150 H.

Malik bin Anas Asbahi Madani, pengarang kitab al-Muwattha, Imam Mazhab Maliki lahir pada tahun 95 H dan wafat pada tahun 179 H.

Syafi’i, Muhammad bin Idris, Imam Mazhab Syafi’i, lahir pada tahun 150 H dan wafat pada tahun 204 H.

Ahmad bin Hanbal, Imam Mazhab Hanbali, lahir pada tahun 164 H dan wafat pada tahun 241 H.

Di sini kita patut mengajukan beberapa pertanyaan kepada saudara penyanggah atau to whom it may concern sebagai berikut:

Kaum Muslimin selain Syiah, sebelum lahirnya keempat Imam Mazhab ini, memiliki mazhab apa dan mengikuti imam siapa?

Mengapa dan apa yang menjadi alasan kaum Muslimin selain Syiah tidak merujuk kepada Imam Ahlulbait As dan menjadi pengikut mereka?

Mengapa dan atas alasan apa, mazhab atau mazhab-mazhab lain (kalau ada) sebelum empat mazhab ini tersingkir dan menjadi pengikut keempat mazhab ini?

Mengapa dan atas alasan apa serta bersandar kepada ayat dan riwayat yang mana yang menegaskan bahwa mazhab dan ucapan keempat mazhab ini memiliki hujjah syar’i dan mereka merupakan para marja’ (tempat rujukan) dan imam kaum Muslimin?

Mengapa dan atas alasan apa mereka mengabaikan Ahlulbait Nabi Saw, yang dalam ayat dan riwayat menyebutkan keutamaan mereka dan bahkan memerintahkan untuk mengikuti para Imam Ahlulbait, namun menjadi pengikut imam empat mazhab tersebut?

Dari sini dapat disimpulkan bahwa Syiah merupakan murid Senior dan Sunni adalah murid Yunior dari madrasah Rasulullah Saw. Dan jejak kemunculan Syiah dapat ditelusuri semenjak masa kemunculan Islam. Adapun saudara kita, Sunni tiga abad setelahnya. Diskusi ini tentu akan berlanjut dan hee..hee semakin seru. Saya menunggu sanggahan dari saudara penyanggah berikutnya. Ahlan wa sahlan.[LM]

Source : http://telagahikmah.org/ dari tulisan Laogi Mahdi, penulis, periset, penerjemah dan penggiat di site www.telagahikmah.org dan www.wisdoms4all.com. Blog www.isyraq.wordpress.com dan www.wannabesunni.wordpress.com

These icons link to social bookmarking sites where readers can share and discover new web pages.
  • Digg
  • Sphinn
  • del.icio.us
  • Facebook
  • Mixx
  • Google
  • Furl
  • Reddit
  • Spurl
  • StumbleUpon
  • Technorati

MUI: Syiah Bukan Aliran Sesat!

Wawancara Andito—Majalah Syiar—dengan Prof.Dr. KH Umar Shihab

Beberapa waktu lalu, Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah mengadakan siaran pers sehubungan dengan maraknya aliran sesat yang meresahkan umat Islam. Dalam catatan dikatakan bahwa MUI telah mengeluarkan sembilan fatwa mengenai aliran sesat, di antaranya Islam Jama’ah, Ahmadiyah, Inkar Sunnah, Komunitas Eden yang dipimpin Lia Aminuddin, shalat dua bahasa di Malang dan Al Qiyadah Al-Islamiyah, serta aliran sesat lainnya yang sifatnya lokal atau kedaerahan.

Dalam upaya mencari pemahaman yang lebih mendalam tentang bagaimana MUI memandang aliran sesat, Redaksi SYIAR melakukan wawancara dengan Prof. DR. KH. Umar Shihab, Ketua MUI Pusat. Ditemui di rumahnya yang asri di bilangan Kelapa Gading, ulama asal Rapparang Sulsel ini memprihatinkan tentang kondisi kerukunan antar umat Islam di Indonesia.


MUI dan fatwa

Syiar: Bagaimana proses keluarnya sebuah fatwa MUI?

Umar Shihab: Fatwa itu bisa keluar apabila disepakati oleh semua komisi fatwa, yang unsur-unsurnya terdiri dari ormas-ormas Islam dan perwakilan MUI, misalnya Muhammadiyah, Dewan Dakwah, Al-Irsyad, Tarbiyah Islamiyah, dll. Ini berlaku di seluruh Indonesia. HTI (Hizbut Tahrir Indonesia) juga sudah masuk MUI, ini organisasi baru yang orang anggap “ekstrim”. Semua organisasi Muslim yang sudah dikenal di Indonesia kita rangkul dan bisa masuk MUI, termasuk Syiah/Ahlulbat, tidak perlu dilarang.

Syiar: Mungkinkah MUI daerah mengeluarkan fatwa yang berbeda atau bertentangan dengan fatwa MUI Pusat?

Umar Shihab: Tidak boleh ada fatwa daerah yang bertentangan dengan pusat. Fatwa MUI Pusat berlaku nasional, meliputi seluruh Indonesia. Fatwa daerah hanya khusus untuk masalah-masalah lokal. Misalnya fatwa tentang salat dengan menggunakan bahasa Indonesia, MUI daerah bikin fatwa kemudian diangkat ke tingkat pusat.

Syiar: Ada anggapan bahwa fatwa MUI lebih banyak mengurusi akidah atau keyakinan tapi tidak untuk masalah-masalah sosial.

Umar Shihab: Tidak benar. Kita juga membahas masalah-masalah yang mencuat dalam kehidupan masyarakat. Fatwa tentang korupsi sudah pernah ada, suap juga ada, pornografi juga ada.

Syiar: Mengapa tidak ada fatwa mati untuk koruptor?

Umar Shihab: Kita mempunyai komisi hukum dan perundang-undangan. Tapi MUI tidak pernah mengatakan menolak hukuman mati. Tidak pernah ada statement seperti itu. Karena kita tidak mau bertentangan dengan hukum al-Quran. Di dalam al-Quran itu ada qishash. Cuma kita tidak meminta supaya berlaku sepenuhnya. Kita lihat kondisi.

Syiar: Bagaimana hubungan antara MUI dan pemerintah?

Umar Shihab: Kita tidak mau berhadap-hadapan dengan pemerintah. Ini prinsip yang juga bagian dari dakwah kita. Ud’u ila sabili rabbika bil hikmah wal mauizatil hasanah. Kita dakwah dengan cara bijaksana. Kalau ada hal-hal yang tidak dilakukan oleh pemerintah, barulah kita tampil ke depan dan menyampaikan kepada pemerintah.

Misalnya saja RUU pengasuhan anak, rancangannya sudah hampir selesai tapi kita minta agar disesuaikan dengan aturan Islam. Contoh lain RUU pendidikan, sampai demonstrasi besar di kalangan umat Islam karena kita nilai hal itu bertentangan dengan ajaran Islam. Begitu juga dengan undang-undang pornografi dan pornoaksi.

Sayangnya, ada golongan umat Islam sendiri yang menolak. Ini yang kita sesalkan. Jangankan itu. Fatwa kita tentang sesatnya Al-Qiyadah Islamiyah yang menyatakan adanya nabi, masih saja ada orang Islam yang menyatakan bahwa itu tidak sesat, malah menuduh MUI yang sesat.

Fatwa aliran sesat

Syiar: Apa kriteria MUI tentang sesat atau tidaknya suatu ajaran?

Umar Shihab: Ada kerangkanya. Dia harus percaya bahwa Allah Swt itu Esa, Nabi Muhammad saw adalah rasul dan nabi terakhir, Al-Quran itu adalah kitab suci. Intinya yang ada di rukun Iman. Begitu juga dengan rukun Islam, adalah prinsip bahwa shalat itu lima kali sehari, puasa Ramadhan, haji ke baitullah. Kalau bertentangan dengan rukun iman dan Islam maka ia bisa dianggap sesat.

Kita anggap Lia Aminuddin sesat karena menganggap dirinya mendapat wahyu dari Jibril. Nah, masih banyak lagi kelompok yang sekarang masuk kajian MUI. Tapi kita tidak pernah anggap sesat masalah khilafiyah.

Syiar: Ada pihak yang menilai bahwa keyakinan tidak bisa diadili.

Umar Shihab: Keyakinan memang tidak mungkin diadili. Tapi yang mungkin diadili adalah orang-orangnya karena dia melakukan dan percaya pada suatu keyakinan yang bertentangan dengan ajaran agama.

Misalnya Ahmadiyah, kita anggap sesat karena dia meyakini adanya nabi setelah Nabi Muhammad. Tapi sampai sekarang prosesnya belum selesai karena mereka sudah terlanjur mendapatkan izin sebagai yayasan, sebagai organisasi.

Fatwa sesatnya Syiah

Syiar: Bagaimanakah MUI menilai ajaran Syiah?

Umar Shihab: MUI tidak penah berbicara tentang mazhab. Bagi kami di MUI, masalah khilafiyah itu adalah suatu rahmat. Kita tidak mau kembali lagi ke masa lalu di mana perkelahian dan pembunuhan mudah terjadi hanya karena perbedaan mazhab.

Masalah mazhab tidak bisa di selesaikan. Biarlah Allah Swt yang mengadilinya. MUI tidak menganggap bahwa salah satu mazhab itu benar. Kita berdiri di semua pendapat bahwa semua mazhab itu benar. Begitu juga terhadap mazhab lain, mazhab Syiah misalnya. MUI berprinsip, bahwa kalau dunia Islam sudah mengakui Syiah sebagai mazhab yang benar, lalu kenapa MUI harus menolak?

Syiar: Pada Maret 1984 MUI pernah mengeluarkan fatwa yang isinya agar waspada terhadap ajaran Syiah.

Umar Shihab: Ya, itu pada tahun 84. Sekarang eranya sudah lain. Fatwa itu bisa berubah karena perubahan kondisi. Di Sunni sendiri juga ditetapkan seperti itu, bahwa fatwa bisa berubah karena perbedaan kondisi. Karena perbedaan tempat, Imam Syafii sendiri pernah mengubah fatwanya ketika beliau pindah ke Mesir dari Irak.

Begitu juga dengan beberapa fatwa lain di MUI. Saya bisa kasih contoh fatwa tentang aborsi. Semua aborsi itu dilarang. Islam tidak pernah membenarkan aborsi. Tapi, kemudian terjadi perubahan kondisi di mana terjadi kehamilan akibat perkosaan, sehingga aborsi pada kondisi tersebut dikecualikan.

Syiar: Dalam beberapa kasus, ulama daerah menisbahkan dirinya kepada fatwa MUI Pusat tahun 1984 atau fatwa ulama lain yang menyatakan Syiah itu sesat.

Umar Shihab: Sekali lagi, kita tidak pernah menyatakan Syiah itu sesat. Kita menganggap Syiah itu salah satu mazhab dalam Islam yang dianggap benar. Mengapa saya nyatakan demikian? Karena dunia Islam sendiri mengakui keabsahan mazhab ini. Apabila ia sesat, mustahil dan tidak boleh ia masuk ke Masjdil Haram. Kenapa mereka boleh masuk ke Masjidil Haram? Itu artinya orang Saudi sendiri mengakui bahwa mereka tidak sesat. Ia tetap Muslim, hanya saja mazhabnya berbeda dengan kita.

Kita harus membedakan dengan cermat antara istilah “sesat” dengan “beda”. Sesat itu bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam. Dan sesat itu perlu diperbaiki melalui dakwah yang benar. Apabila sekadar beda ya boleh-boleh saja. Yang sesat itu jelas beda. Tapi tidak semua yang beda itu sesat. Di dalam Sunni sendiri banyak perbedaan.

Di Indonesia ini banyak hal yang beda. Cara wudhu, posisi tangan saat salat, dll. Kenapa mesti dipersoalkan? Bahkan penentuan waktu 1 Syawal pun berbeda. Ini hal yang sangat berbeda. Yang berpuasa pada hari lebaran itu haram. Sedangkan pihak lain meyakini berlebaran pada hari puasa itu haram karena ia makan. Banyak hal yang beda di lapangan tapi kita tolerir. Ini semua masalah furuiyah.

Syiar: Dengan komposisi ormas Islam “ekstrem” dan “tidak toleran” di MUI, apakah fatwa yang dikeluarkan oleh MUI itu tidak bias sehingga terkesan tidak hati-hati? Di antara organisasi tersebut ada yang menggunakan kriteria sesat untuk menyerang kelompok lain yang sebenarnya tidak sesat.

Umar Shihab: Mereka tidak boleh memberi interpretasi sendiri. Interpretasi itu hanya dari MUI. Seperti kasus di Sumatra Barat, MUI setempat menyesatkan suatu organisasi. Kemudian mereka datang ke Jakarta untuk klarifikasi. Setelah kita kaji, kita ketahui bahwa sesatnya mereka karena beranggapan pergi haji itu tidak perlu ke Masjidil Haram bagi yang tidak mampu. Ada haji bagi orang miskin. Ini tidak ada dasarnya dalam agama. Setelah diklarifikasi, kita nyatakan bahwa pemahaman, pedoman dan pernyataan ini harus dibersihkan dari organisasi tersebut.

Syiar: Jadi bisa disimpulkan bahwa pandangan Islam yang komprehensif dan baik tidak merata di daerah sehingga mereka tidak bisa membedakan mana yang sesat dan mana yang beda. Bagaimana menyikapi hal ini?

Umar Shihab: Saya selalu jelaskan, termasuk dalam rakernas baru-baru ini. Kita tidak perlu mempermasalahkan khilafiyah karena tidak ada hakim yang bisa memutuskan yang mana yang benar. Kita serahkan kepada Allah di hari kemudian nanti. Kita kembali kepada prinsip bahwa bila mujtahid itu salah dapat pahala satu, kalau benar dapat pahala dua. Nah, kita ini bukan mujtahid. Tidak ada sama sekali.

Memang dalam rapat itu ada orang yang ingin mengatakan lebih terperinci supaya orang yang salatnya boleh tiga waktu itu sesat. Saya katakan itu bukan masalah prinsip karena dasarnya ada dalam Quran dan hadis. Janganlah bawa sejauh itu karena nanti efeknya lebih jauh lagi, mereka yang salatnya tangannya turun ke bawah itu sesat juga. Masalah khilafiyah tidak boleh membawa pada perpecahan.

MUI menganggap bahwa Syiah adalah mazhab yang benar sebagaimana yang diakui oleh Rabithah Alam Islamy dan itu diakui oleh Al-Azhar. Bukti konkretnya, jamaah haji Syiah boleh masuk ke Masjidil Haram. Kalau mereka memang sesat, seharusnya tidak boleh masuk.

Perbedaan mazhab tidak bisa diselesaikan karena masing-masing punya argumentasi yang semuanya benar. Yang penting mereka mengakui dan meyakini keesaan tuhan, kesucian dan keotentikan Al-Quran, dan Muhammad sebagai nabi terakhir.

Indonesia itu mayoritas Sunni Syafii. Tidak semua mazhab itu ada di Indonesia, tapi bukan berarti ia tidak diterima. Bila semua ini tidak bisa disikapi secara arif akan bisa bermasalah. Misalnya dalam haji. Wahabi tidak mau berpakaian ihram di Jeddah, tapi di Miqat. Kalau kita naik pesawat Saudia Airline diumumkan bahwa kita sekarang sudah ada di Miqat, niatlah dari sekarang. Jadi orang-orang ramai berganti pakaian.

Nah, paham Wahabi sekarang sudah masuk di indonesia. Tapi fatwa MUI mengatakan bahwa boleh berpakaian ihram di Jeddah. Fatwa MUI ini juga diakui di beberapa negara Islam. Tapi ada juga pihak lain yang tidak mau pakai fatwa MUI, ya silakan.

Wahabi sendiri barang baru di Indonesia. Kalau semua yang beda dianggap sesat, maka Wahabi pun bisa masuk kategori sesat. Berbahaya sekali kalau yang beda dianggap sesat. Kalau pemerintah sekarang berpaham Wahabi, maka bisa-bisa mazhab Syafii pun dianggap sesat. Yang dianggap sesat itu adalah berbeda dalam hal akidah dan syariah.

Syiar: Bagaimana menjembatani kesenjangan mazhab Sunnah dan Syiah dewasa ini?

Umar Shihab: Saya kira melalui pertemuan-pertemuan di antara kedua belah pihak. Dakwah yang dilakukan satu sama lain tidak boleh saling menyerang. Orang yang memaki-maki orang lain itu sudah salah.

Saya pernah ke Iran dan saya lihat hal-hal luar biasa di sana. Saya juga pernah pergi ke Najaf dan Karbala. Saya bertemu dengan ulama-ulama Syiah. Mereka salat sama seperti kita juga. Cuma beda di azan. Saya bertanya, mengapa Anda menambah azan dengan “hayya alal khairil amal”? Mereka menjawab, sama halnya seperti Anda, mengapa Sunni menambah azan dengan “ashalatu khairum minan naum”?

Mereka malah bertanya balik, mengapa Anda mau tarawih padahal Rasulullah tidak tarawih? Bukankah itu datang dari Sayyidina Umar? Mengapa Anda tidak mengikuti apa yang datang dan diajarkan oleh Sayyidina Ali? Saya tidak bisa berkata apa-apa.

Kita perlu cari pendekatan-pendekat an, yang penting jangan saling serang dan menyalahkan. Nah, orang yang tidak tahu masalah mazhab inilah yang saling menyalahkan. Dia tidak mau memahami mazhab orang lain. Kita tidak sedang bicara politik. Yang terjadi di Irak itu bukan masalah mazhab, tapi politik. Ada kekuatan eksternal yang mempengaruhi konflik antar mazhab tersebut.

Kita di Indonesia tidak perlu terjadi seperti itu. Silakan kalau Anda mau jadi Syiah. Kenapa kita tidak lihat (konflik) di Saudi Arabia, di Makkah misalnya. Orang salat dengan beragam cara tidak dipersoalkan. Kenapa ada orang salat di hotel mengikuti kiblat masjidil haram? Apakah ada yang mempersoalkan? Kita harus bersatu. Kalau sesama Muslim gontok-gontokan, orang luar akan tertawa.

Kekerasan terhadap Syiah

Syiar: Apakah tindakan kekerasan yang dilakukan masyarakat terhadap komunitas Syiah di daerah-daerah bisa dibenarkan karena mereka mengklaim ikut fatwa MUI?

Umar Shihab: Tidak pernah bisa dibenarkan. Semua tindak kekerasan tidak pernah bisa ditolerir. Jangankan terhadap Syiah, terhadap aliran sesat pun kita tidak pernah tolerir tindak kekerasan.

MUI tidak pernah mentolerir aksi-aksi kekerasan seperti itu. Aliran sesat pun tidak pernah ditolerir untuk dirusak. Apalagi yang masih tidak sesat. Pelacuran saja, yang jelas-jelas tempat maksiat, kita tidak pernah mengatakan setuju untuk main hakim sendiri. Ini negara hukum, semua harus melalui proses hukum. Jadi kalau ada orang yang mau merusak rumah, masjid dan pesantren orang lain, itu bertentangan dengan undang-undang. Beritahukanlah polisi.

Syiar: Dalam beberapa kasus, MUI daerah pernah mengeluarkan surat pernyataan yang negatif tentang Syiah..

Umar Shihab: Itu keliru. Sangat keliru. Kita bisa tegur mereka kalau kedapatan mengeluarkan fatwa yang bertentangan dengan fatwa MUI Pusat. Tapi memang hal ini (surat pernyataan/edaran MUI daerah) susah dipantau. Kalau MUI provinsi di tingkat satu mungkin bisa dipantau. Tapi sulit kalau sudah di bawah. Kalau ada data-data itu, tolong kasih saya.

Syiar: Kenyataannya ada ulama daerah yang meminta pembubaran Syiah dan pengusiran orang-orang Syiah atas nama MUI.

Umar Shihab: Tidak pernah. Itu adalah aktivitas personal yang tidak pernah kita tolerir dan tidak pernah kita benarkan. Aksi kekerasan itu karena kebodohan, fanatisme buta. Sebenarnya kita tidak ingin ada clash antara Sunni dan Syiah. Kita ingin damai, tidak ingin ada kekerasan.

Ketika tempo hari ada penyerangan atas komunitas Syiah di Bangil, saya sendiri langsung telpon kapolda dan kapolres supaya segera diambil tindakan, karena sesungguhnya MUI tidak pernah mentolerir adanya pengrusakan. Kapolri Jendral Sutanto pun mengatakan tidak boleh adanya pengrusakan. Anda bisa lihat sendiri di televisi bagaimana pernyataan saya.

Syiar: Sekarang ini ada oknum mengatasnamakan Ahlusunah yang memprovokasi umat Islam di daerah-daerah untuk membenci Syiah. Mereka juga menuding orang-orang yang moderat dan berpandangan objektif juga sebagai Syiah. Bagaimana mengantisipasi konflik horizontal antar mazhab di Indonesia?

Umar Shihab: Prinsip Islam itu satu. Janganlah kita ini gontok-gontokan. Orang yang melakukan provokasi itu bodoh, tidak tahu hakikat Islam. Kita akan minta kesadaran semua orang yang memprovokasi dan memecah belah umat bahwa pekerjaannya itu salah. Tindakan-tindakanny a tidak pernah dibenarkan dalam Islam. Tolong ini dicatat.

Sikap kita kepada mereka hendaknya mengikuti sikap Nabi Muhammad tatkala dilempari batu oleh penduduk Thaif. Saat malaikat menyediakan diri menghukum mereka, Nabi malah mendoakan mereka dengan dalih bahwa mereka berbuat demikian karena tidak tahu.

Ada skenario besar yang ingin menghancurkan, bukan hanya umat Islam, tapi kesatuan bangsa Indonesia. Karena apabila umat Islam terpecah, otomatis bangsa Indonesia juga terpecah. Mereka sulit menyerang Islam dengan memakai agama-agama lain. Maka digunakanlah orang-orang Islam sendiri.

Haji Indonesia dan Syiah di Makkah

Syiar: Kuota jamaah haji tahun 2007 untuk Indonesia adalah 210 ribu orang, naik 5% dari tahun 2006 yang hanya 200 ribu jamaah. Namun masih banyak calon jamaah haji yang tidak terangkut dan kini masuk dalam waiting list. Bagaimana menjelaskan fenomena ini?

Umar Shihab: Ada tiga kemungkinan. Pertama, banyaknya orang yang ingin menunaikan ibadah haji adalah suatu indikasi bahwa kesadaran orang terhadap ajaran agama lebih baik dari masa-masa yang lalu. Kemungkinan kedua, ekonomi umat Islam Indonesia sudah lebih baik dari tahun-tahun sebelumnya.

Kemungkinan ketiga, orang-orang Islam yang ingin berwisata atau jalan-jalan keluar negeri kini mengalihkan tujuan wisata, tidak lagi ke Eropa atau negara-negara lain, melainkan ke Makkah dan Madinah. Mereka berpikir, daripada ke Eropa lebih baik naik haji atau umrah. Niatnya sudah tidak murni ibadah lagi. Kemungkinan ketiga ini yang sangat disayangkan. Tapi, dari semua kemungkinan tersebut, motif yang paling banyak dan dominan adalah berangkat haji atas dasar ibadah.

Syiar: Jamaah haji di Indonesia terbesar di dunia tapi budaya korupsi marak di mana-mana. Bagaimana menyikapi hal ini?

Umar Shihab: Tidak usah dihubung-hubungkan. Saya tidak setuju.

Syiar: Ada pendapat yang menyatakan bahwa tempat-tempat suci umat Islam perlu diinternasionalisas i sehingga dana yang luar biasa besar jumlahnya tersebut dapat dioptimalkan untuk kesejahteraan dan pemberdayaan umat Islam di seluruh dunia.

Umar Shihab: Sebenarnya gagasan itu bisa dilihat dari dua sisi. Sisi pertama, bahwa tujuannya untuk mendapatkan imbalan dari umat Islam. Dana terkumpul yang begitu besar bisa dimanfaatkan untuk kepentingan umat Islam. Di sisi lain, kita punya aturan-aturan internasional yang membuat ide internasionalisasi Makkah dan Madinah itu menjadi mustahil. Karena kedua tempat itu masuk wilayah Saudi Arabia, jadi dilema.

Menurut saya, kita biarkan saja seperti sekarang, tidak harus diinternasionalisas i. Apalagi salah satu gelar raja-raja di Saudi itu adalah khadim al-haramain, penjaga wilayah kedua tanah Haram. Kita hanya mengharap bahwa pengaturan haji itu setiap tahun lebih ditingkatkan. Kalau memang sudah baik, kenapa kita harus buat satu aturan baru (internasionalisasi itu). Yang penting jangan ada halangan entah itu terkait unsur politik atau mazhab sehingga setiap orang bisa pergi ke sana. Alhamdulillah, sampai sekarang tidak ada masalah.

Syiar: Artinya, haji itu berlaku untuk semua umat Islam dari mazhab manapun, termasuk juga mazhab yang berbeda dengan mazhab pemerintah Saudi sendiri?

Umar Shihab: Pokoknya semua mazhab tanpa kecuali. Pemerintah Saudi bisa jadi menggunakan mazhab dari sebagian ajaran Imam Abu Hanifah, Imam Ahmad atau Imam Malik. Tapi tetap saja mereka yang tidak bermazhab bebas masuk ke Makkah dan Madinah. Alhamdulillah, itu kenyataan hingga sekarang. Mazhab Syiah juga bebas masuk ke Saudi Arabia dan tidak dilarang.

Setiap saya berangkat ke sana, saya melihat banyak orang Syiah. Kadang-kadang, mereka malah diberikan tempat yang lebih istimewa. Misalnya, dalam fikih Syiah dikatakan bahwa kalau orang berihram itu tidak boleh tutup kepala. Sehingga ada juga mobil yang disiapkan tanpa penutup atau atap. Ini sekadar bukti bahwa pemerintah Saudi juga memberikan kesempatan kepada orang-orang yang bermazhab selainnya.

Biodata:

Prof. DR. KH. Umar Shihab lahir di Rapparang, Sulsel, pada 2 Juli 1939.
Beliau menamatkan S1 di IAIN Alaudin Makassar (1966), S2 di Universitas Al-Azhar Kairo (1968), dan S3 Universitas Hasanuddin dalam Studi Hukum Islam (1988).
Banyak jabatan organisasi yang dilakoninya, antara lain: Ketua PII (Pelajar Islam Indonesia) Sulsel, HMI Cabang Makassar, Dewan Mahasiswa UMI Makassar, Dewan Mahasiswa IAIN Alauddin.
Selain itu, dia juga banyak mengemban jabatan akademik, antara lain: Wakil dekan IAIN, Dekan di UMI, anggota DPRD Propinsi Sulsel, anggota MPR-RI, Ketua MUI Sulsel, dan kini Ketua MUI Pusat.
Karya ilmiah yang dipublikasikan, antara lain: “Al-Quran dan Rekayasa Sosial”, “Transformasi Pemikiran dalam Hukum Islam”, “Elastisitas Hukum Islam“, “Kontekstualitas Al-Quran”, dan lain-lain.

Sumber: Bayt Al-Hikmah

These icons link to social bookmarking sites where readers can share and discover new web pages.
  • Digg
  • Sphinn
  • del.icio.us
  • Facebook
  • Mixx
  • Google
  • Furl
  • Reddit
  • Spurl
  • StumbleUpon
  • Technorati