Archives

Nikah Mut’ah; Antara Kehalalan dan Keharaman

1. Islam berbeda dengan hukum-hukum lainnya dengan pengakuannya terhadap nikah mut’ah disamping perkawinan permanen. Apakah kita dapat meredefinisi nikah mut’ah ?

Nikah mut’ah adalah hubungan suami isteri sementara yang diadakan melalui akad tertentu yang disebutkan didalamnya masa (batas perkawinan) dan mahar disamping pokok perkawinan itu sendiri. Perbedaannya dengan pernikahan permanent disamping batas waktu tertentu, perkawinan mut’ah tidak ada waris mewarisi dan tidak ada keharusan memberi nafkah, kecuali jika wanita menssyaratkan hal itu untuk dirinya.


2. Sebagian orang menilai bahwa kebolehan nikah mut’ah memang diperlukan masa tertentu saja, karena itu Umar bin Khatab mengharamkannya setelah itu?

Jika memang faktor keperluan menjadikan nikah mut’ah itu diperbolehkan, dan itu merupakan kesadaran Nabi saw untuk melindungi kaum Muslim pada sebagian peperangan dari tekanan seksual, maka keperluan ini ada pada setiap zaman dan tempat. Banyak orang yang mengalami tekanan seksual tapi mereka tidak mampu menikah. Apabila faktor keperluan (darurat) itulah yang ‘mendikte’ Rasulullah saww untuk memberlakukan hukum nikah mut’ah, maka keperluan tersebut tidak hanya terbatas pada zaman itu atau tempat itu, tapi ia sekarang jauh lebih mendesak daripada seperti zaman Nabi saw. Maka tak ada hal yang membenarkan kalau nikah mut’ah telah dihapus, karena ia adalah suatu keperluan bagi setiap generasi, kapan saja dan dimana saja. <>

1. Kaum muslimin dari kalangan ahlussunah mengatakan bahwa rasulullah saww mengharamkan mut’ah setelah sebelumnya dihalalkan. Apa memang demikian?

Ahlussunnah meriwayatkan beberapa hadith yang dinisbatkan pada Nabi saw dan Ali as bahwa Nabi mengharamkan mut’ah. Yang perlu diperhatikan adalah bahwa mereka menyebutkan bahwa beliau mengharamkannya didua tempat, tapi seandainya beliau memang telah benar-benar menghapusnya maka tiada alasan yang membenarkan bahwa ia pernah dibatalkan disuatu hari lalu diharamkan esok harinya kemudian dihalalkan kembali, hal yang menunjukkan bahwa pengharaman tersebut tidak realistis dan tidak benar. Dan yang mendukung hal itu adalah apa yang disampaikan oleh sahabat Umar, “Dua mut’ah ada pada zaman Rasulullah dan dihalalkannya; akulah yang melarang keduanya dan memberikan sangsi atas keduanya” [ Sunan al-baihaqi 5/5 bab: orang yang memilih kesendirian dan menganggapnya sebagai hal yang utama ; Tarikh Ibn Katsir 5/123, Tafsir al-Qurthubi 2/370, Tafsir Fakhrur ar-razi 20/167 dan 3/201 dan 220, kanzul ‘Ummal 8/293-294 dan al-Bayan wa at-tabyin, karya al-Jahith 223 ]

Adalah hal yang maklum bahwa Umar tidak mempunyai hak untuk mengharam hal-hal yang dihalalkan oleh Allah. Konon, Nabi saw menegaskan tentang keharaman nikah mut’ah dan riwayat yang dinisbatkan kepada beliau dalam hal ini adalah, “Wahai manusia, sesungguhnya aku telah mengizinkan kalian untuk melakukan nikah mut’ah dengan para wanita. Ketahuilah bahwa kini Allah telah mengharamkan hal itu sampai hari kiamat.” [ Sahih Muslim, hal 1025 ; Sunan ad-Darimy, 2/140 ; Sunan Ibn Majah, hal 631, catatan 1962, dengan terdapat perbedaan redaksi dalam Thabaqat Ibn Sa’ad, 4/328. ]

Hadith ini tidak shahih. Buktinya, beberapa sahabat terang-terangan menghalalkan perkawinan sementara, seperti Ibn Abbas, ibn Mas’ud, dan lain-lain. Bahkan, mereka membaca ayat, “maka barangsiapa yang bersenang-senang dengan mereka—dalam batas waktu tertentu, maka berikanlah kepada mereka maharnya.” Terdapat perdebatan seru seputar masalah ini, yang tentunya memerlukan kejian panjang, yang tidak tepat untuk disampaikan disini.



2. Allah Maha Sempurna. Lalu bagaimana mungkin Dia memberlakukan hukum yang terdapat nilai-nilai negatif didalamnya?

Allah memang Maha Sempurna, tetapi makhluk-makhlukNya yang terbatas; dan batasan-batasan mengharuskan adanya kekurangan dalam tabiat (sifat) benda-benda ketika terkena sekat-sekat. Sebab, suatu benda mengandung banyak kepositifan dari pelbagai isinya, sampai terdapat batas-batas dan sekat-sekat yang mengurangi nilai positifnya. Sesungguhnya hal-hal yang disyariatkan oleh Allah bukan Allah itu sendiri. Masalah kesempurnaan hal-hal tersebut atau kekurangannya bertitik tolak dari identitasnya (dzattiyah). Misalnya, Allah mengharamkan khamar (minuman keras), Allah sendiri Maha Sempurna tetapi didalam khamar terdapat manfaat dan madharatnya dan ketika Allah mengharamkan khamar itu karena mudharatnya jauh lebih besar daripada manfaatnya. Kesempurnaan Allah adalah mutlak, karena kemutlakan tidak dapat berada kecuali ditempat yang mutlak, dengan pengertian bahwa Dia keluar dari ruang lingkup keterbatasan. Adapun hukum berkaitan dengan perbuatan-perbuatan manusia, dan perbuatan-perbuatan manusia terbatas pada keadaannya, dan ia kemudian mengandung nilai-nilai positif dan negatif tetapi hukum yang mengendalikannya bertitik tolak dari keunggulan nilai-nilai positif atas nilai-nilai negatif, atau sebaliknya.

Perkawinan sementara merupakan nilai positif besar karena ia berposisi sebagai solusi bagi problem seksual pada saat orang tidak mampu untuk melakukan perkawinan permanen. Tapi pada saat yang sama, ia membawa pengaruh negatif atas pihak-pihak yang bersangkutan karena pandangan negatif sosial atasnya, dan juga dikarenakan tidak terwujudnya ketenangan yang diciptakannya, atau yang lain-lain.

Fadhlullah, Sayid Muhammad Husain

These icons link to social bookmarking sites where readers can share and discover new web pages.
  • Digg
  • Sphinn
  • del.icio.us
  • Facebook
  • Mixx
  • Google
  • Furl
  • Reddit
  • Spurl
  • StumbleUpon
  • Technorati

Al-Bada’

by Muh. Anis

Salam,

Al-Bada' ialah suatu keinginan untuk melakukan sesuatu tetapi kemudian keinginan tersebut berubah kepada sesuatu yang tidak diinginkan sebelumnya, dikarenakan suatu hal lain.

Adapun pendapat Syi'ah mengenai Bada' dan usaha mengaitkannya kepada Allah Ta'ala telah dicemooh oleh Ahlussunnah, karena menurut ahlusunnah konsekuensi akan hal itu adalah menisbatkan kejahilan dan kebodohan kepada Allah SWT. Tuduhan itu suatu penafsiran yang batil dan Syi'ah tidak pernah mengatakan demikian, barangsiapa yang menuduh mereka berbuat demikian, maka ia telah melakukan suatu kebohongan, sebagai bukti inilah pendapat-pendapat mereka baik dahulu maupun sekarang :

Berkata Syaikh Muhammad Ridla Al-Muzhaffar dalam kitabnya "Aqaid Al-Imamiyah" : "Bada' dengan pengertian seperti itu adalah mustahil bagi Allah Ta'ala, karena ia termasuk dari kejahilan dan kekurangan yang mustahil bagi Allah Ta'ala dan bukan juga dari pendapat Imamiyah".

Berkata Imam Ash-Shadiq (AS) : " Barang siapa mengatakan bahwa Allah telah berkehendak melakukan sesuatu lalu menyesalinya maka menurut Kami ia telah kafir terhadap Allah yang Maha Agung". Dan beliau (AS) berkata lagi : "Barangsiapa mengatakan bahwa Allah telah berkehendak melakukan sesuatu yang tidak diketahui sebelumnya maka Aku berlepas diri darinya".

Kalau begitu Bada' yang dikatakan Syi'ah tidak melebihi batas-batas Al-Quran yang menyebutkan firman Allah : " Allah menghapus apa yang Dia kehendaki dan menetapkan (apa yang Dia kehendaki), dan disisi-Nya-lah terdapat Ummul Kitab (Lauh Mahfuzh) ". [Q.S. Ar-Ra'd 39]

Pendapat Bada' ini sebenarnya juga diyakini oleh Ahlussunnah Waljama'ah seperti juga Syi'ah. Namun mengapa Syi'ah yang menjadi sasaran cemoohan dan bukan Ahlussunnah yang berpendapat bahwa Allah SWT merubah hukum-hukum dan menukar ajal dan rizki seperti dalam beberapa riwayat berikut ini.

Ibnu Munzir, Ibnu Abi Hatim dn Al-Baihaqy telah menyebutnya dalam As-Syu'ab dari Qais bin Ubbad, katanya : "Allah mempunyai instruksi pada setiap malam kesepuluh dari bulan-bulan suci, sementara pada 10 Rajab Allah menghapus apa yang Dia kehendaki dan menetapkannya.

Bukhori meriwayatkan dalam Shohih-nya, suatu kisah yang ajaib dan aneh yang
menceriterakan peristiwa mi'raj-nya Rasul SAWW dan pertemuan beliau dengan Tuhannya, di antaranya Rasulullah SAWW bersabda : "Lalu diwajibkan padaku 50 kali shalat dan aku terima, ketika aku bertemu dengan Musa, ia bertanya : 'Apa yang kamu perbuat ?', aku jawab : 'Telah diwajibkan kepadaku 50 kali shalat'. Musa berkata : 'Aku lebih tahu tantang urusan manusia dari pada kamu, aku telah menghadapi bani Israil dengan susah payah dan sesungguhnya ummatmu tidak akan sanggup menunaikannya, kembalilah kepada Tuhanmu dan mintalah keringanan'. Maka aku kembali meminta keringanan dan dijadikannya 40 kali. Musa masih mendesakku untuk
kembali, maka dijadikannya 30 kali, aku kembali lagi dan dijadikannya 20 kali, aku kembali lagi dan dijadikannya 10 kali, lalu aku mendatangi Musa dan beliau berkata hal yang sama, lalu Allah menjadikannya 5 kali. Kemudian aku mendatangi Musa lagi, Musa bertanya : 'Apa yang telah engkau perbuat?', aku katakan : 'Allah telah menjadikannya 5 kali', maka Musa mendesakku lagi, maka aku berkata aku telah mengucapkan salam dan aku diberitahu bahwa aku telah menjalankan tugasku, kemudian Allah berfirman : 'Aku telah memberi keringanan kepada hamba-hamba-Ku dan Aku akan membalas setiap kebaikan dengan sepuluh kali ganda ".

Dalam riwayat lain yang dinukil oleh Bukhori dikatakan bahwa setelah Nabi
Muhammad Saww menghadap Tuhannya beberapa kali dan setelah mendapat kewajiban 5 kali shalat, Musa AS meminta supaya Muhammad SAWW kembali lagi menemui Tuhannya untuk mendapat keringanan karena ummatnya tidak akan sanggup melakukan 5 kali shalat, akan tetapi Muhammad SAWW menjawab : "Aku malu kepada Tuhanku".

Ref.

1. Shohih Bukhori, bab "Mi'raj".

2. Shohih Muslim, bab "Isra' Rasulullah dan kewajiban shalat". Apakah ini bukan Bada' ?
Sungguh ajaib pengertian Bada' yang diriwayatkan oleh Ahlussunnah Wal-Jama'ah ini, namun sungguhpun demikian mereka mencemooh Syi'ah yaitu para pengikut Imam Ahlul Bait (AS) yang mempercayai Bada' seperti yang dimaksud dalam [Q.S. Ar-Ra'd 39].

Dalam kisah ini mereka mempercayai bahwa Allah SWT. Telah mewajibkan kepada Nabi Muhammad SAWW sebanyak 50 kali shalat sehari semalam, kemudian setelah kembali kepada-Nya berulah dirubah menjadi 40 kali, kamudian setelah kembali untuk kali kedua dijadikan 30 kali, kemudian untuk kali ketiga dijadikan 20 kali, kemudian untuk kali keempat dijadikan 10 kali, dan ahirnya menjadi 5 kali.

Jelas sekali terlihat bahwa riwayat tentang Mi'raj ini menyebabkan orang mengaitkan kebodohan kepada Allah 'Azza Wa Jalla, dan memperkecil kepribadian manusia paling agung yang pernah dikenal sejarah manusia, yaitu Nabi Muhammad SAWW, ketika si perawi mengatakan bahwa Musa AS berkata kepada Muhammad SAWW : "Aku lebih tahu tentang urusan manusia dari padamu ".

Dan riwayat ini juga memberikan keutamaan dan keistimewaan kepada Musa AS yang kalau tidak karenanya, Allah tidak memberi keringanan kepada ummat Muhammad SAWW.

Saya heran bagaimana Musa AS mengetahui bahwa ummat Muhammad SAWW tidak sanggup menunaikan sholat sekalipun hanya 5 kali sehari semalam sehingga menyuruh Rasulullah SAWW untuk meminta keringanan lagi, sementara Allah sendiri tidak mengetahuinya sehingga di awalnya memaksakan bagi hamba-Nya untuk melakukan sesuatu di luar kemampuan mereka dengan mewajibkan kepada mereka shalat 50 kali.

Jika Ahlussunnah Waljama'ah mencemooh Syi'ah karena mempercayai Al-Bada' (bahwasanya Allah hendak melakukan sesuatu lalu merubahnya sesuai keinginan-Nya), mengapa mereka tidak mencemooh diri mereka sendiri yang berpendapat dan meyakini (seperti yang terdapat dalam Bukhori dan Muslim) bahwa Allah SWT hendak melakukan sesuatu namun merubah dan menukar hukum-Nya sebanyak lima kali dalam satu kewajiban dan dalam satu malam, yaitu malam Mi'raj.

Barangkali ada orang yang merasa keberatan kalau dikatakan bahwa perkataan Bada' itu juga terdapat dalam Ahlussunnah seperti dalam kisah di atas, sekalipun memberi arti perobahan dan penukaran dalam perkara hukum. Karena sering kali jika kisah Mi'raj ini dikemukakan untuk membuktikan bahwa pendapat Bada' juga ada pada Ahlussunnah, maka sebagian dari mereka merasa keberatan menerimanya. Karenanya ada baiknya saya bawakan riwayat lain dari Shohih Bukhori yang menyebutkan perkataan Bada' secara persis.

Bukhori meriwayatkan dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah SAWW bersabda : "Sesungguhnya terdapat tiga orang dari Bani Israil yang mana mereka itu terdiri dari; seorang belang, seorang buta dan seorang lagi botak, maka Allah berkehendak merubahnya (Bada') dengan menguji mereka, maka Allah mengutus seorang malaikat kepadanya dan berkata kepada si belang : "Apakah gerangan yang paling engkau sukai ?" ia menjawab : "warna dan kulit yang lebih baik karena semua orang merasa jijik terhadapku". Lalu malaikat itu mengusapnya dan pergi, maka berubahlah warna dan kulitnya menjadi baik, kemudian bertanya padanya : "Harta apakah yang paling engkau senangi ?", ia menjawab : "Unta", maka diberinya seekor unta yang sedang hamil 10 bulan. Lalu mendatangi si botak dan menanyakan : "Apakah gerangan yang paling engkau sukai ?", ia menjawab : "Rambut indah yang dapat menutupi botakku karena semua orang mengejekku", maka malaikat itu mengusapnya dan menghilangkan botaknya dengan rambut yang indah, kemudian bertanya kepadanya : "Harta apakah yang paling engkau senangi ?", ia menjawab : "Sapi", maka diberinya seekor sapi yang sedang hamil. Kemudian mendatangi si buta dan bertanya : "Apakah gerangan yang paling engkau sukai ?", ia menjawab : "Aku ingin supaya Allah mengembalikan pengelihatanku", maka ia mengusapnya dan Allah kembalikan padanya pengelihatannya, ia bertanya lagi : "Harta apakah yang paling engkau senangi ?", ia menjawab : "Kambing", maka diberikan kepadanya seekor kambing yang subur. Kemudian malaikat itu kembali menemui mereka setelah masing-masing mempunyai ternak unta, sapi dan kambing yang banyak, lalu ia mendatangi si belang, si botak dan si buta untuk meminta kembali apa yang telah menjadi miliknya, tetapi si botak dan si belang menolak memberikan padanya maka Allah kembalikan mereka seperti keadaan asalnya, sementara si buta memberinya maka Allah kekalkan penglihatannya ".

Ref. :

Shohih Bukhori, juz 2, hal. 259.

Saya juga berharap agar umat Islam membuang rasa fanatik buta yang telah didoktrinkan selama ini, serta meninggalkan perasaan emosi, supaya "akal" dapat mengambil tempatnya dalam setiap penelitian sekalipun terhadap musuh-musuh mereka, dan hendaknya mereka belajar dari Al-Quran mengenai cara-cara pembahasan, diskusi dan perdebatan dengan metode yang baik. Sebagaimana firman Allah dalam [Q.S. Al-Ankabut 46] : "Janganlah kalian berdebat dengan kaum ahlil kitab kecuali dengan cara yang
paling baik".

Wassalaam,

These icons link to social bookmarking sites where readers can share and discover new web pages.
  • Digg
  • Sphinn
  • del.icio.us
  • Facebook
  • Mixx
  • Google
  • Furl
  • Reddit
  • Spurl
  • StumbleUpon
  • Technorati

Debat Sahabat tentang Nikah Mut'ah

Bukti-bukti Asma' dan Zubair Melakukan Nikah Mut'ah
hingga Melahirkan Anak


I. Riwayat Muslim dalam Shohih-nya dan Abu Dawud Thayalisi dalam Musnad-nya.

Dari Syu'bah dari Muslim Al-Quri, ia berkata :

"Aku bertanya pada Ibnu Abbas tentang mut'ah haji. Beliau menjawab :'Boleh'. Sedang Ibnu Zubair melarangnya. Sementara ibunya Ibnu Zubair meriwayatkan bahwa Rasulullah membolehkannya, lalu Ibnu Abbas menyuruh Ibnu Zubair untuk menanyakan pada ibunya kalau tidak percaya. Kemudian kami bersama-sama masuk ke rumah beliau, kami dapati dia seorang yang gemuk sekali dan buta matanya. Saat kami bertanya tentang itu, dia menjawab :"Rasul membolehkannya'."

Dan riwayat tersebut ada dua versi.

Versi kedua adalah riwayat lewat Abdurahman. Dalam riwayat lewat Abdurahman ini, tidak disebutkan "mut'ah haji", melainkan "mut'ah" saja. Dan menurut Ibnu Ja'far dari Syu'bah yang mengatakan bahwa Muslim Al-Quri berkata :"Aku tidak tahu apakah yang dia maksud adalah mut'ah haji atau nikah mut'ah".

Ref. : Shohih Muslim, juz 1, sub bab "mut'ah haji".

Hal ini diperkuat juga dengan riwayat pada Musnad Abu Dawud Thayalisi, yang meriwayatkan peristiwa tersebut melalui Syu'bah dari Muslim Al-Qurosyi, yang mengatakan : "Kami pada suatu hari mendatangi rumah Asma' binti Abubakar, kemudian kami bertanya padanya tentang nikah mut'ah. Dijawab olehnya :'Kami melakukannya di zaman Rasul'. "

Ref : Musnad Abu Dawud Thayalisi , juz 1, hal. 309.

II. Perdebatan antara Ibnu Abbas dengan Urwah bin Zubair maupun Abdullah bin Zubair

a) Dari Ayyub berkata :

"Urwah berkata kepada Ibnu Abbas :'Apakah engkau tidak takut pada Allah dengan membolehkan mut'ah ?'. Ibnu Abbas menjawab :'Tanyakan pada ibumu sendiri, hai Urwah'. Kemudian Urwah mengatakan :'Abubakar dan Umar tidak melakukannya'. Ibnu Abbas menjawab :'Demi Allah, aku tidak melihat kamu menjadi lebih baik sampai Allah mengazab kamu. Kami menyampaikan hadits Rasulullah kepada kamu dan kamu menyampaikan hadits Abubakar dan Umar'.

Ref : Ibnu Qoyyim, dalam "Zaadul Ma'ad", juz 1, hal. 213.

Dalam hadits ini, kata "mut'ah" adalah "nikah mut'ah". Hal ini dapat dibuktikan dengan merujuk pada kitab lainnya yang meriwayatkan perdebatan Ibnu Abbas dan Urwah tersebut.

Ref. : Muntakhab Kanzul Ummal di tepi Musnad Ahmad, juz 6, hal. 404

Ibnu Abbas berkata pada Ibnu Zubair : "Adapun tentang mut'ah, tanyakanlah pada ibumu, Asma', tentang selendang 'Ausajah". Kemudian Ibnu Zubair menanyakan selendang tersebut pada ibunya. Dan Ibunya (Asma') berkata pada Ibnu Zubair untuk berhati-hati pada Ibnu Abbas, karena Ibnu Abbas mengetahui rahasia orang-orang Quraisy secara keseluruhan.

Ref. : Ibn Abil Hadid, dalam "Syarh Nahjul Balaghah", jilid 20, hal. 130.

Dari Ibnu Abi Mulaikah : Berkata Urwah bin Zubair kepada Ibnu Abbas :"Orang-orang mendurhakaimu". Berkata Ibnu Abbas :"Apa sebabnya". Berkata Urwah :"Engkau mengeluarkan fatwa bagi mereka tentang dua mut'ah, sedang engkau tahu bahwa Abubakar dan Umar melarang keduanya". Berkata Ibnu Abbas :"Aneh, aku meriwayatkan dari Rasulullah dan mereka meriwayatkan dari Abubakar dan Umar".

Lihat juga :

a. Musnad Ahmad, juz 1, hal. 337.

b. Juga riwayat dari Shohih Muslim, juz 1, bab "Nikah Mut'ah"sebagai berikut :

Dari Abu Nadhrah, dia berkata : "Ketika aku sedang di samping Jabir, mendadak datang seseorang menceritakan perdebatan Ibnu Abbas dan Ibnu Zubair tentang dua mut'ah. Kemudian Jabir berkata :"Kami pernah melakukan kedua jenis mut'ah tersebut (mut'ah haji dan nikah mut'ah) BERSAMA Rasul SAW. Dan ketika Umar melarangnya, maka kami tidak melakukannya lagi".

b) Dari Abu Nadhrah, dia berkata :

"Ibnu Abbas pernah menganjurkan nikah mut'ah, sementara Ibnu Zubair malah melarangnya. Kemudian persoalan ini aku adukan kepada Jabir bin Abdullah. Berkata Jabir : 'Dahulu aku pernah melakukan nikah mut'ah BERSAMA Rasul SAW, kemudian Umar melarangnya. Umar menegaskan :'Sesungguhnya Allah bisa menghalalkan apa saja kepada utusan-Nya sesuai dengan kehendak-Nya. Al-Qur'an diturunkan kepadanya. Yang penting ialah sempurnakan ibadah haji dan umroh anda seperti yang diperintahkan Allah, untuk-Nya. Barangsiapa berani melakukan nikah mut'ah ini, maka aku akan menghukumnya dengan melempari batu' "

Ref. : Shohih Muslim, juz 1, sub bab "Masalah kawin Mut'ah pada saat menunaikan Haji dan Umroh".

c) Abdullah bin Zubair mencela Ibnu Abbas karena menghalalkan nikah mut'ah.

Ibnu Abbas kemudian berkata ;"Tanyakan pada ibumu bagaimana perapian yang menyala antara ibumu dan ayahmu". Maka Ibnu Zubair bertanya kepada ibunya, dan ibunya menjawab :"Aku tidak melahirkanmu kecuali melalui nikah mut'ah".

Ref : Ar-Raghib, dalam "Al-Muhadharat", juz 2, hal. 94.

d) Pada riwayat Muslim :

Pada riwayat tersebut Ibnu Abbas berkata : "Demi Allah, nikah mut'ah berlaku di zaman Nabi, dilakukan oleh orang-orang yang bertakwa". Lalu Abdullah bin Zubair berkata :"Demi Allah, aku akan rajam engkau dengan batu rumahmu apabila engkau melakukannya".

Ref : Shohih Muslim, juz 4, hal. 133.

III. Pernyataan Ibnu Abbas di saat yang lain (bukan saat berdebat)

Ibnu Abbas berkata :"Perapian pertama yang menyala dalam mut'ah adalah perapian keluarga Zubair".

Ref : Ibn Abdu Rabbih, dalam "Iqdu Al-Farid", juz 4, hal. 414

"perapian yang menyala" adalah kiasan arab yang berarti "bangkitnya hasrat seksual antara suami dan isteri". Sehingga istilah jelas sekali berhubungan dengan masalah pernikahan.

Hal ini diperkuat dengan riwayat dalam Musnad Ahmad tentang "satha'at al-majamir (perapian yang menyala)" ini, yang berhubungan dengan masalah pernikahan.

Lihat : Musnad Ahmad, Jilid 6, hal. 348/349.

Dari semua uraian di atas, jelas sekali terbukti bahwa Asma' dan Zubair melakukan nikah mut'ah sampai membuahkan keturunan, yaitu Abdullah dan Urwah bin Zubair. Sebagaimana yang diutarakan oleh Ibnu Abbas sendiri, maupun ketika beliau berdebat dengan Urwah ataupun Abdullah bin Zubair, juga pernyataan Asma' sendiri.

Dan sebenarnya masih banyak referensi lainnya yang mendukung, seperti : 1. Abu Umar, dalam "Al-'Ilm", juz 2, hal. 196. 2. Thabari, dalam "Jami' Al-Bayan", juz 2, hal. 239. dll.

Dan sampai detik ini tidak pernah ditemukan dalam sejarah bahwa Asma' dan Zubair menikah dengan cara SELAIN nikah mut'ah.


Muh. Anis


Source: www.fatimah.org

These icons link to social bookmarking sites where readers can share and discover new web pages.
  • Digg
  • Sphinn
  • del.icio.us
  • Facebook
  • Mixx
  • Google
  • Furl
  • Reddit
  • Spurl
  • StumbleUpon
  • Technorati

Syiah dalam Hadis

Bismillahirrahmaannirrahiim...

Assalaa'mualaykum wa rahmatullahi wa barakaatuh...

Allahumma shalli 'ala Muhammad wa aali Muhammad...

Dari sekian banyak tulisan mengenai sejarah "lahirnya" Syiah, disebutkan bahwa Syiah paling tidak terbentuk pada masa pemerintahan Utsman ibn Affan, atau pada saat Perang Shiffin. Adapula tulisan konyol yang menyebutkan bahwa Syiah dilahirkan oleh seorang Yahudi bernama Abdullah ibn Saba. Tapi tulisan ini bukan tempatnya untuk menjelaskan tentang Ibnu Saba tersebut, karena sudah banyak tulisan para ulama yang menjelaskan bahwa Ibnu Saba hanya isapan jempol Saif ibn Umar At-Tamimi.

Untuk lebih sederhananya, siapa yang lebih gencar untuk menghancurkan Israel? Iran, negara mayoritas Syiah, dengan presidennya Ahmadinejad (semoga Allah melindunginya) adalah yang menyatakan bahwa Israel (yang notabene Yahudi) harus dihapuskan dari peta dunia. Di mana negara-negara non-Syiah seperti Arab Saudi, Jordania, dan Mesir atau Timur Tengah lainnya?? Lalu siapa yang berhasil mengalahkan Israel?? Bukan Gamal Abdul Nasser dan Saddam Hussain, tapi Sayyid Hasan Nasrallah (semoga Allah melindunginya) dengan Hizbullah-nya (yang notabene Syiah).

Tulisan ini hanya "a la kadarnya" saja. Ingin menjelaskan bahwa Syiah itu sudah ada dari zaman Rasulallah SAW (shalallahu 'alayhi wa aalih), maksudnya adalah berasal dari Rasulallah SAW sendiri. Rasul SAW sendiri yang menyebutkan "syiah" itu adalah pengikut Ali ibn Abi Thalib AS, yang berarti juga mengikuti Muhammad ibn Abdillah AS.

Berbeda dengan kata "Ahlus Sunnah wa Al-Jama'ah", kata "Syiah" sudah ada/digunakan dari zaman dahulu. Di dalam Al-Quran misalnya, dalam surah Ash-Shaffat ayat 83: "Dan sungguh, salah satu syiah (pengikut) nya adalah Ibrahim". Begitu pula yang disebutkan dalam surah Al-Qashash ayat 15: "...yang seorang dari syiah (pengikut/golongan) nya dan seorang lagi dari musuhnya (kaum Fir'aun)."

Namun fokus dari tulisan ini adalah keterangan Nabi SAW dalam hadis. Berikut ini adalah hadis-hadis yang menerangkan tentang awal "keberadaan" Syiah.

Syiah dalam Hadis

Al-Hafizh Abu Na'im adalah seorang ulama Ahlus Sunnah yang disebutkan oleh para ulama bahwa ia adalah seorang "mahkota hadis" dan "guru para hadis tsiqqat/terpercaya." Beliau dalam kitabnya Hilyah Al-Awliya' dengan sanad dari Ibn Abbas: Ketika turun ayat yang mulia: "Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shaleh, mereka itu adalah sebaik-baik makhluk" (QS. Al-Bayyinah 7), Rasulallah SAW bersabda kepada Ali ibn Abi Thalib, "Wahai Ali, itu adalah engkau dan pengikut (syiah) mu. Engkau dan syiahmu akan datang pada hari kiamat dalam keadaan ridha dan diridhai." Hadis tersebut juga diriwayatkan oleh Abu Mu'ayyid ibn Ahmad Al-Khawarizmi dalam kitabnya Al-Manaqib pasal 17 tentang turunnya ayat tersebut.

Hadis senada juga terdapat dalam kitab Tadzkirah Khawwash Al-Ummah karya Sabath ibn Al-Jawzi, hlm. 56, yang sanadnya berasal dari Abu Sa'id Al-Khudri: "Nabi SAW memandang kepada Ali ibn Abi Thalib, lalu bersabda, 'Orang ini dan para pengikut (syiah) nya adalah orang-orang yang mendapat kemenangan pada hari kiamat'."

Abu Mu'ayyid ibn Ahmad Al-Khawarizmi dalam Al-Manaqib, pasal 9, hadis no. 10 dari Jabir ibn Abdallah Al-Anshari: Kami bersama Nabi SAW, kemudian datang Ali ibn Abi Thalib. Beliau bersabda, "Telah datang saudaraku kepada kalian". Kemudian beliau memukulkan tangannya. Beliau bersabda, "Demi yang diriku dalam kekuasaan-Nya, orang ini dan syiahnya adalah orang-orang yang beroleh kemenangan pada hari kiamat. Kemudian, ia adalah orang yang pertama yang beriman di antara kalian, yang paling setia menepati janji Allah, yang paling keras menegakkan perintah Allah, yang paling adil dalam memimpin, yang paling adil dalam membagi, dan yang paling agung keutamaannya di sisi Allah." Perawi menambahkan kemudian turun ayat: Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shaleh, mereka itu adalah sebaik-baik makhluk (khayrulbariyyah)... Selanjutnya perawi berkata: Apabila Ali datang, para sahabat Muhammad SAW berkata, "Telah datang khayrulbariyyah." Allamah Al-Kanji Asy-Syafi'i meriwayatkan dalam kitabnya Kifayah Ath-Thalib bab 62 dengan sanad dari Jabir ibn Abdallah Al-Anshari.

Nabi SAW bersabda kepada Ali, "Engkau dan syiahmu berada di surga." (Tarikh Baghdad, juz 2, hlm. 289)

Rasulallah SAW bersabda, "Wahai Ali, engkau dan syiahmu kembali kepadaku di Al-Haudh dengan rasa puas dan wajah yang putih. Sedangkan musuh-musuh mereka kembali ke Al-Haudh dalam kehausan." (Ibnu Hajar, Ash-Shawaiq Al-Muhriqah, hlm. 66, cet. Al-Maimanah (Mesir); Allamah Shalih At-Turmudzi, Al-Manaqib Al-Murtadhawiyah, hlm. 101, cet. Bombay)

Nabi SAW bersabda kepada Ali, "...dan syiahmu berada di atas mimbar-mimbar dari cahaya dengan wajah putih di sekelilingku. Aku memberikan syafaat kepada mereka. Maka mereka kelak di surga bertetangga denganku." (Al-Kanji Asy-Syafi'i, Kifayah Ath-Thalib, hlm. 135; Manaqib Ibnu Maghazali, hlm. 238)

Dari 'Ashim ibn Dhumrah dari Ali AS: Rasulallah SAW bersabda, "Ada sebuah pohon yang aku adalah pangkalnya, Ali adalah cabangnya, Al-Hasan dan Al-Husain adalah buahnya, dan Syiah adalah daun-daunya. Tidak keluar sesuatu yang baik kecuali dari yang baik." (Al-Kanji Asy-Syafi'i, Kifayah Ath-Thalib, hlm. 98)

Diriwayatkan dari Nabi SAW: "Janganlah kalian merendahkan syiah Ali, karena masing-masing dari mereka diberi syafaat seperti untuk Rabi'ah dan Mudhar." (Al-Hakim, Al-Mustadrak 3/160; Ibnu Asakir, Tarikh 4/318; Muhibbuddin, Ar-Riyadh An-Nadhrah 2/253; Ibnu Ash-Shabagh Al-Maliki, Al-Fushul Al-Muhimmah 11; Ash-Shafuri, Nazhah Al-Majalis 2/222; Allamah Al-Hindi, Intiha' Al-Afham, hlm. 19, cet. Lucknow; Al-Qunduzi Al-Hanafi, Yanabi Al-Mawaddah, hlm. 257, cet. Istanbul)

Diriwayatkan dari Abu Sa'id Al-Khudri: Nabi SAW memandang kepada Ali ibn Abi Thalib dan bersabda, "Orang ini dan syiahnya adalah orang-orang yang mendapat kemenangan pada hari kiamat." (Sabath ibn Al-Jawzi, Tadzkirah Al-Khawwash, hlm. 59, cet. Aljir)

Diriwayatkan dari Anas ibn Malik: Rasulallah SAW bersabda, "Syiah Ali adalah orang-orang yang memperoleh kemenangan." (Ad-Dailami, Firdaws Al-Akhbar; Allamah Al-Mannawi, Kunuz Al-Haqa'iq, hlm. 88, cet. Bulaq; Al-Qunduzi Al-Hanafi, Yanabi Al-Mawaddah, hlm. 180, cet. Istanbul; Allamah Al-Hindi, Intiha Al-Afham, hlm. 222, cet. Nul Kesywar)

Diriwayatkan dari Ibnu Abbas: Rasulallah SAW bersabda, "Ali dan syiahnya adalah orang-orang yang memperoleh kemenangan pada hari kiamat." (Allamah Al-Kasyafi At-Turmudzi, Al-Manaqib Al-Murtadhawiyah, hlm. 113, cet. Bombay; Al-Qunduzi Al-Hanafi, Yanabi Al-Mawaddah, hlm. 257; Allamah Al-Hindi, Intiha Al-Afham, hlm. 19)

Rasulallah SAW bersabda kepada Ali, "Engkau dan syiahmu kembali kepadaku di Al-Haudh dalam keadaan puas." (As-Suyuthi, Ad-Durr Al-Mantsur 6/379, cet. Mesir; Al-Qunduzi, Yanabi Al-Mawaddah, hlm. 182)

Rasulallah SAW bersabda, "Wahai Ali, empat orang pertama yang masuk surga adalah aku, engkau, Al-Hasan, dan Al-Husain. Keturunan kita menyusul di belakang kita. Istri-istri kita menyusul di belakang keturunan kita, dan syiah kita di kanan dan kiri kita." (Tarikh Ibn Asakir, 4/318; Ibnu Hajar, Ash-Shawaiq, hlm. 96; Tadzkirah Al-Khawwash, hlm. 31; Majma Az-Zawa'id 9/131)

Diriwayatkan dari Asy-Sya'bi dari Ali AS: Rasulallah SAW bersabda, "Engkau dan syiahmu berada di surga." (Tarikh Baghdad, 12/289, cet. As-Sa'adah (Mesir); Akhthab Khawarizmi, Al-Manaqib, hlm. 67)

Diriwayatkan dari Abu Hurairah: Rasulallah SAW bersabda kepada Ali, "Engkau bersamaku dan syiahmu di surga." (Majma Az-Zawa'id, 9/173)

Anas meriwayatkan dari Nabi SAW: Beliau bersabda, "Jibril mengabarkan kepadaku dari Allah SWT bahwa Allah mencintai Ali dengan kecintaan yang tidak diberikan kepada malaikat, para nabi, dan para rasul. Tidak ada tasbih yang ditujukan kepada Allah, melainkan darinya Dia menciptakan satu malaikat yang memohonkan ampunan bagi orang yang mencintainya dan syiahnya hingga hari kiamat." (Allamah Al-Kasyafi At-Turmudzi, Al-Manaqib Al-Murtadhawiyah, hlm. 116, cet. Bombay; Allamah Al-Qunduzi Al-Hanafi, Yanabi Al-Mawaddah, hlm. 256, cet. Istanbul tetapi tanpat kalimat "para nabi dan para rasul".)

Hemat pemilik blog ini kalimat "para nabi dan para rasul" tidaklah berlebihan kepada Ali. Semua orang Islam yang berakal juga mengetahui bahwa Rasulallah SAW adalah kekasih Allah dan beliau adalah yang utama. Maka sudah tentu Ali adalah sesudah Nabi SAW. Namun ada kecintaan yang diberikan oleh Allah SWT kepada Ali AS yang berbeda dari Nabi SAW. Wallahu'alam.

Itu adalah sedikit hadis yang menceritakan tentang syiah yang namanya sudah diberikan oleh Rasulallah SAW kepada Ali AS. Hal ini menunjukkan bahwa Syiah sudah ada pada masa itu, dan tidak terbentuk pada masa Utsman atau masa Muawiyah.

Apa yang disampaikan penulis bukan berarti penulis adalah seorang Syiah. Dan pengakuan ini juga bukan berarti taqiyah. Untuk menjelaskan bagaimana Syiah yang sesungguhnya berikut saya kutip sebuah hadis.

Dari Jabir dari Abi Ja'far AS. Ia berkata: Imam berkata kepadaku: "Wahai Jabir! Apakah cukup seseorang dikatakan mengikuti kami hanya dengan mencintai kami? Demi Allah, pengikut kami tidak lain adalah orang yang bertakwa dan mentaati Allah SWT. Mereka tidak dikenal kecuali dengan sikap rendah hati, khusyuk, amanat, banyak berzikir kepada Allah, puasa dan shalat, berbakti kepada kedua orang tua, memperhatikan tetangganya yang fakir dan miskin serta orang yang berhutang dan para yatim, berkata jujur, membaca Al-Quran, mencegah lidah dari menyebut orang kecuali kebaikannya dan mereka jadi tumpuan kepercayaan keluarganya dalam segala hal." (Ushul Kafi, juz 2, hlm. 74)

Hadis yang begitu indah. Setelah membaca hadis itu membuat hati gemetar rasanya. Dan menjadi jelaslah bahwa saya bukan seorang Syiah, walaupun ingin rasanya.

Saya akan kutipkan lagi sebuah hadis yang akan menjelaskan Syiah sesungguhnya yang membuat saya ingin menjadi Syiah. Saya kutip dari kitab Aqaid Al-Imamiyah karya Syaikh Ridha Al-Muzhaffar (rahimahullah).

"Sesungguhnya syiah Ja'far adalah orang yang menjaga perut dan kemaluannya, bersemangat dalam jihadnya, berbuat baik pada Penciptanya, mengharapkan pahala-Nya, dan takut akan siksa-Nya. Jika kalian melihat mereka, sesungguhnya mereka dalah syiah Ja'far."

"Bukan dari syiah kami orang yang wara' nya tidak menjadi buah bibir para wanita cantik, dan bukan dari pecinta kami orang yang di desanya terdapat sepuluh ribu manusia, dan (masih) ada orang yang lebih shaleh darinya."

Yaa Allah, Yaa Rasulallah, Yaa Ali, Yaa Ahlulbaytin-Nubuwwah, salam Allah kepada kalian semua, jadikanlah aku sebagai syiah kalian...

Wabillahi tawfiq walhidayah

Wassalaamu'alaykum wa rahmatullahi wa barakaatuh...


Source : http://comein.blogs.friendster.com/my_blog/2007/02/syiah_dalam_had.html

These icons link to social bookmarking sites where readers can share and discover new web pages.
  • Digg
  • Sphinn
  • del.icio.us
  • Facebook
  • Mixx
  • Google
  • Furl
  • Reddit
  • Spurl
  • StumbleUpon
  • Technorati