Berikuti ini kisah-kisah nyata terdahulu yang menunjukkan diperbolehkannya bertawasul.

--- Tawasul dengan amal soleh

"Dan Ibnu 'Umar Rda., dari Nabi Muhammad Saw. beliau menceritakan : Adalah tiga orang berjalan ke luar kota, tiba-tiba hujan turun, maka mereka ketiganya masuk berlindung ke dalam sebuah gua pada suatu bukit. Kebetulan kemudian batu besar jatuh menutupi pintu gua mereka. Salah seorang di antara mereka berkata kepada kawannya : Berdo'alah kepada Tuhan dengan berkat amal saleh yang engkau kerjakan. Lalu salah seorang dari pada mereka berdo'a : Ya Allah, dahulu ada dua orang ibu-bapa saya yang sudah tua. Saya keluar menggembala dan saya perah susu gembalaanku lalu saya bawa susunya pulang. Saya beri minum ibu-bapak, anak-anakku, familiku dari isteriku dengan susu itu. Pada suatu hari saya terlambat pulang, saya dapati ibu-bapaku sudah tidur, saya tidak suka mengagetkan mereka dengan membangunkannya, padahal anak-anak bertangisan minta susu di bawah kakiku. Begitulah saya hingga sampai pagi.
Ya Allah, kalau Engkau tahu bahwasanya saya memperbuat amal itu karena semata-mata karena ntengharapkan keredhaan Engkau, maka bukalah pintu gua ini sehingga kami dapat melihat langit. Maka pintu gua dibukakan oleh Tuhan sepertiganya" (Hadits sahih riwayat Imam Bukhari dan Muslim - lihat Sahih Bukhari II hal 17- 18).
Orang yang berdua lagi berdo'a pula dengan do'a-do'a yang bertawassul juga sehingga pintu gua terbuka seluruhnya.
Hadits ini adalah hadits yang kuat untuk dijadikan dalil atas sunnatnya berdo'a dengan tawassul.
Pengarang kitab "Al Lulu wal Marjan fi Mattafaqa alaihis-Syaikhan" Foad al Baqi, memberi judul akan hadits ini dengan perkataan "Bab kessah ahli gua yang bertiga dan tawassul dengan amal saleh." (Al Lulu' wal Marjan jilid 1I1 pagina 305).

--- Tawasul dengan Nabi Muhammad saw (baik yang terjadi sebelum kelahirannya, semasa hidup maupun sesudah wafatnya)

"Dan setelah datang kepada mereka Kitab (al Quran) dari Tuhan di mana Kitab itu membenarkan Kitab yang ada di tangan mereka, yaitu kitab Taurat, padahal mereka pada masa dulunya (sebelum datang Nabi Muhammad) minta pertolongan kemenangan untuk mengalahkan orang-orang kafir. Tetapi manakala telah datang apa yang mereka telah ketahui, engkar pula kepadanya, maka kutuk (la'nat) Tuhan atas orang yang kafir itu". (Al Baqarah 89).
Ayat di atas menceritakan halnya orang Yahudi yang tidak mau iman kepada Nabi Muhammad Saw., pada hal dahulu sebelum Nabi Muhammad Saw. lahir ke dunia mereka selalu mendo'a kepada Tuhan bertawassul dengan Nabi Muhammad Saw, yang akan lahir memohon untuk mengalahkan musuh mereka dalam peperangan. Akan tetapi setelah Nabi Muhammad Saw. benar-benar datang, mereka tidak iman dengan beliau. Orang ini dikutuk oleh Tuhan karena tidak imannya itu.
Dalam memberikan tafsir dari ayat ini, Syeikh Abdul Jail Isa bekas guru Kulliyah Usuluddin dan Bahasa'Arab pada Universitas Azhar Kairo, menerangkan:
"Mereka minta kemenangan dari Allah melawan orang musyrik dengan herkat Nabi Besar yang ditunggu" (Mushaf al Murassar, pagina 17).
Syeikh Husen bin Makhluf al 'Adawi bekas Wakil Direktur Universitas al Azhar di Kairo berkata:
"Ayat ini turun mengabarkan hal ihwal orang Yahudi keturunan kitab, yaitu Bani Quraizah dan Bani Nadhir yang ketika berperang melawan suku Aus dan Khazraj yang kafir. Mereka membuka kitab Taurat dan meletakkan tangannya di atas tulisan "Nabi yang akan lahir akhir zaman" dalam Taurat itu. Mereka mendo'a : Ya Allah, dengan berkat Nabi yang Engkau janjikan akan keluar akhir zaman, menangkanlah peperangan kami ini! Kemudian mereka memperoleh kemenangan dalam peperangan berkat kebesaran Nabi Muhammad Saw. tetapi sayang sekali karena kemudian setelah Nabi lahir sebagiannya orang Yahudi tidak mau iman kepada Nabi". (Hukum tawassul dengan Nabi-nabi dan Wali-wali, pagina 165).

"Berkata Rasulullah Saw. : Pada ketika telah membuat kesalahan Nabi Adam, ia bertaubat dan berkata : Hai Tuhan, saya mohon kepada-Mu dengan hak Muhammad supaya Kamu ampuni saya. Maka Tuhan menjawab : "Hai Adam, bagaimana engkau mengetahui Muhammad sedang ia belum dijadikan ? Adam rnenjawab : Hai Tuhan, setelah Engkau jadikan saya, saya mengangkat kepala melihat ke tiang Arsy di mana tertulis kalimat : Tidak ada tuhan Selain Allah Muhammad adalah utusan Allah. Maka saya tahu bahwa Engkau tidak akan menyertakan Nama Engkau, kecuali dengan nama orang yang Engkau kasihi.
Maka Tuhan menjawab : Engkau benar hai Adam, ia adalah seorang laki-laki yang paling Aku kasihi, kalau engkau memohon kepada Aku dengan haknya, engkau Aku ampuni. Kalau tidaklah karena dia, engkau tidak akan Aku jadikan". (Hadits riwayat Imam Baihaqi dalam kitab Dalailu Nubuyah-Imam Hakim dan Imam Thabrani - Syawahidul Haq halaman 156).

At-Tsa'labi mengisahkan: “Pada keempat harinya waktu Nabi Yusuf a.s. berada didalam sumur, Jibril a.s. mendatanginya dan bertanya: ‘Hai anak siapakah yang melempar engkau kesumur'? Jawab Yusuf as: ‘Saudara-saudaraku'. Jibril as. bertanya lagi: Mengapa? Yusuf as berkata: ‘Mereka dengki karena kedudukanku di depan ayahku'. Jibril as. berkata: ‘Maukah engkau keluar darisini'? Yusuf a.s.berkata mau. Jibril as berkata: ‘Ucapkanlah (do'a pada Allah swt.) sebagai berikut': ‘Wahai Pencipta segala yang tercipta, Wahai Penyembuh segala yang terluka, Wahai Yang Menyertai segala kumpulan, Wahai Yang Menyaksikan segala bisikan, Wahai Yang Dekat dan Tidak berjauhan, Wahai Yang Menemani semua yang sendirian, Wahai Penakluk yang Tak Tertakluk kan, Wahai Yang Mengetahui segala yang gaib, Wahai Yang Hidup dan Tak Pernah Mati, Wahai Yang Menghidupkan yang mati,Tiada Tuhan kecuali Engkau, Mahasuci Engkau, aku bermohon kepada-Mu Yang Empunya pujian, Wahai Pencipta langit dan bumi, Wahai Pemilik Kerajaan, Wahai Pemilik Keagungan dan Kemuliaan, aku bermohon agar Engkau sampaikan shalawat kepada Muhammad dan keluarga Muhammad, berilah jalan keluar dan penyelesaian dalam segala urusan dan dari segala kesempitan, Berilah rezeki dari tempat yang aku duga dan dari tempat yang tak aku duga ' “.
Lalu Yusuf a.s. mengucapkan do'a itu. Allah swt. mengeluarkan Yusuf a.s. dari dalam sumur, menyelamatkannya dari reka-daya saudara-saudara nya. Kerajaan Mesir didatangkan kepadanya dari tempat yang tidak diduganya”. ( At Tsa'labi 157, Fadhail Khamsah 1:207).
Lihat riwayat ini, Nabi Yusuf as. diajari oleh Jibril as. untuk berdo'a pada Allah swt. agar bisa cepat keluar dari sumur dengan sholawat serta tawassul kepada Rasulullah saw.dan keluarganya.

Diriwayatkan dari Anas bin Malik, ia mengatakan; ketika Fathimah binti Asad meninggal dunia, Rasulullah saw. datang dan duduk di sisi kepalanya sembari bersabda: ‘Rahimakillah ya ummi ba'da ummi ‘ (Allah merahmatimu wahai ibuku pasca ibu [kandung]-ku). Kemudian beliau saw. menyebutkan pujian terhadapnya, lantas mengkafaninya dengan jubah beliau. Kemudian Rasulallah memanggil Usamah bin Zaid, Abu Ayyub al-Anshari, Umar bin Khattab dan seorang budak hitam untuk menggali kuburnya. Kemudian mereka menggali liang kuburnya. Sesampai di liang lahat, Rasulallah saw. sendiri yang menggalinya dan mengeluarkan tanah lahat dengan meng- gunakan tangan beliau saw.. Setelah selesai (menggali lahat), kemudian Rasulallah saw. berbaring disitu sembari berkata: ‘Allah Yang menghidupkan dan mematikan. Dan Dia Yang selalu hidup, tiada pernah mati. Ampunilah ibuku Fathimah binti Asad. Perluaskanlah jalan masuknya, demi Nabi-Mu dan para nabi sebelumku ”. (Lihat: Kitab al-Wafa' al-Wafa')
Hadits yang serupa diatas yang diketengahkan oleh At-Thabrani dalam Al-Kabir dan Al-Ausath. Rasulallah saw. bertawassul pada dirinya sendiri dan para Nabi sebelum beliau saw. sebagaimana yang diriwayatkan dalam sebuah hadits dari Anas bin Malik, ketika Fathimah binti Asad (isteri Abu Thalib, bunda Imam ‘Ali bin Abi Thalib kw.) wafat, Rasulallah saw. sendirilah yang menggali liang-lahad. Setelah itu (sebelum jenazah dimasukkan ke lahad) beliau masuk kedalam lahad, kemudian berbaring seraya bersabda:
“Allah yang menghidupkan dan mematikan, Dialah Allah yang Maha Hidup. Ya Allah, limpahkanlah ampunan-Mu kepada ibuku (panggilan ibu, karena Rasulallah saw. ketika masih kanak-kanak hidup dibawah asuhannya), lapangkanlah kuburnya dengan demi Nabi-Mu (yakni beliau saw. sendiri) dan demi para Nabi sebelumku. Engkaulah, ya Allah Maha Pengasih dan Penyayang”. Beliau saw. kemudian mengucapkan takbir empat kali. Setelah itu beliau saw. bersama-sama Al-‘Abbas dan Abu Bakar (radhiyallahu ‘anhumaa) memasukkan jenazah Fathimah binti Asad kedalam lahad. ( At-Thabrani dalam Al-Kabir dan Al-Ausath.)
Pada hadits itu Rasulallah saw. bertawassul disamping pada diri beliau sendiri juga kepada para Nabi sebelum beliau saw.! Dalam hadits itu jelas beliau saw. berdo'a kepada Allah swt. sambil menyebutkan dalam do'anya demi diri beliau sendiri dan demi para Nabi sebelum beliau saw. Kalau ini bukan dikatakan sebagai tawassul, mengapa beliau saw. didalam do'anya menyertakan kata-kata demi para Nabi ? Mengapa beliau saw. tidak berdo'a saja tanpa menyebutkan ...demi para Nabi lainnya ?
Dalam kitab Majma'uz-Zawaid jilid 9/257 disebut nama-nama perawi hadits tersebut, yaitu Ruh bin Shalah, Ibnu Hibban dan Al-Hakim. Ada perawi yang dinilai lemah, tetapi pada umumnya adalah perawi hadit-hadits shohih. Sedangkan para perawi yang disebut oleh At-Thabrani didalam Al-Kabir dan Al-Ausath semuanya baik (jayyid) yaitu Ibnu Hiban, Al-Hakim dan lain-lain yang membenarkan hadits tersebut dari Anas bin Malik.
Selain mereka terdapat juga nama Ibnu Abi Syaibah yang meriwayatkan hadits itu secara berangkai dari Jabir. Ibnu ‘Abdul Birr meriwayatkan hadits tersebut dari Ibnu ‘Abbas dan Ad-Dailami meriwayatkannya dari Abu Nu'aim. Jadi hadits diatas ini diriwayatkan dari sumber-sumber yang saling memperkuat kebenarannya.
Hadits di atas jelas sekali bagaimana Rasulallah bersumpah demi kedudukan (jah) yang beliau saw. miliki, yaitu kenabian, dan kenabian para pendahulunya yang telah wafat, untuk dijadikan sarana (wasilah) pengampunan kesalahan ibu (angkat) beliau, Fathimah binti Asad. Dan dari hadits di atas juga dapat kita ambil pelajaran, bagaimana Rasulallah saw. memberi ‘berkah' (tabarruk) liang lahat itu untuk ibu angkatnya dengan merebahkan diri di sana, plus mengkafani ibunya tersebut dengan jubah beliau.
Hadits ini diriwayatkan juga oleh lbnu Habban dan al Hakirn vang mana keduanya behau itu mtngatakan bahwa hadits iru adalah hadits yang sahih. Saidina Muhammad Saw. bertawassul dalam do'a ini dengan diri beliau sendiri sebagai Nabi dan dengan Nabi yang lain sebelumnya yaitu perkataan beliau bihaqqi Nabiyika wal Anbiya alazdina min qabli'.
Kalau ada orang yang memfatwakan bahwa bertawassul itu syirik, maka ia langsung telah menuduh Nabi Muhammad Saw. dan orang-orang Islam pengikut Nabi dengan syirik. Na'udzubillah !

Dari Ustman bin Hunaif yang mengatakan:
“Sesungguhnya telah datang seorang lelaki yang tertimpa musibah (buta matanya) kepada Nabi saw. Lantas lelaki itu mengatakan kepada Rasulllah; ‘Berdo'alah kepada Allah untukku agar Dia (Allah swt) menyembuhkanku!'. Kemudian Rasulallah ber- sabda: ‘Jika engkau menghendaki maka aku akan menundanya untukmu, dan itu lebih baik. Namun jika engkau menghendaki maka aku akan berdo'a (untukmu)'. Kemudian dia (lelaki tadi) berkata: ‘Mohonlah kepada-Nya (untukku)!'. Rasulallah memerintahkannya untuk mengambil air wudhu, kemudian ia berwudhu dengan baik lantas melakukan shalat dua rakaat. Kemudian ia (lelaki tadi) membaca do'a tersebut:
‘Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu, dan aku datang menghampiri-Mu, demi Muhammad sebagai Nabi yang penuh rahmat. Ya Muhammad, sesungguhnya aku telah datang menghampirimu untuk menjumpai Tuhanku dan meminta hajatku ini agar terkabulkan. Ya Allah, jadikanlah dia sebagai pemberi syafa'at bagiku'.
Utsman bin Hunaif berkata; ‘Demi Allah, belum sempat kami berpisah, dan belum lama kami berbicara, sehingga laki-laki buta itu menemui kami dalam keadaan bisa melihat dan seolah-olah tidak pernah buta sebelumnya".
HR. Imam at-Turmudzi dalam “Sunan at-Turmudzi” 5/531 hadits ke-3578; Imam an-Nasa'i dalam kitab “as-Sunan al-Kubra” 6/169 hadits ke-10495; Imam Ibnu Majah dalam “Sunan Ibnu Majah” 1/441 hadits ke-1385;
Imam Ahmad dalam “Musnad Imam Ahmad” 4/138 hadits ke-16789; al-Hakim an-Naisaburi dalam “Mustadrak as-Shohihain” 1/313; as-Suyuthi dalam kitab “al-Jami' as-Shoghir” halaman 59; Sunan Ibnu Majah, jilid 1, hal 331; Mustadrak al-Hakim, jilid 1, hal 313 ; Talkhish al-Mustadrak, adz-Dzahabi dan sebagainya.

Diriwayatkan oleh Imam Thabrani dan Baihaqi, dua orang ahli hadits yang terkenal, bahwa seorang pria datang berulang-ulang mau menghadap Saidina Utsman bin Affan (pada ketika beliau menjabat Khalifah).
Saidina Utsman bin Affan tidak memperhatikan hal orang ini sehingga ia tidak dapat berjumpa dengan Khalifah.
Pria ini mengadu kepada Utsman bin Hanif (sahabat Nabi yang tersebut kisahnya dalam dalil keempat).
Utsman bin Hanif berkata kepada pria tadi : Bawalah kemari tempat berwudhu' dan berwudhu'lah engkau. Kemudian datanglah ke mesjid dan sembahyang di sana. Sesudah sembahyang bacalah do'a
"Ya Allah, saya bermohon dan menghadap kepada-Mu dengan Nabi kami Muhammad, Nabi yang membawa rahmat. Hai Muhammad, saya menghadapkan mukaku dengan engkau kepada Tuhan, supaya permintaan saya diterima". Yang mendo'a menyebutkan apa yang dimintanya itu.
Pria ini mengerjakan apa yang diajarkan oleh Utsman bin Hanif dan sesudah itu lalu ia datang kepada Khalifah Saidina Utsman bin Affan, di mana ia lantas dengan mudah berjumpa dengan Khalifah dan menyampaikan maksudnya. Kemudian pria ini berjumpa dengan Utsman bin Hanif dan menanyakan apakah ada membicarakan persoalannya dengan Khalifah, karena kedatangannya yang akhir diterima dengan mudah.
Utsman bin Hanif menerangkan bahwa ia tak pernah berjumpa dan membicarakan dengan Khalifah tentang soal pria itu. Utsman bin Hanif menceritakan seterusnya bahwa seorang laki-laki dulu yang buta matanya datang kepada Rasulullah minta syafa'at (bantuan) supaya sakit matanya hilang, lalu Utsman bin Hanif mengajarkan hadits (yang tersebut dalam dalil keempat).

"Bahwasanya kemarau menimpa manusia pada zaman Khalifah Umar bin Khatab Rda. Seorang sahabat Nabi yang utama bernama Bilal bin Harits datang ke makam Nabi Muhammad Saw. di Madinah dan berziarah kepada beliau. Pada ketika itu ia berkata : Hai Rasulullah, mintakanlah hujan untuk ummat engkau karena mereka hampir binasa. Maka datang Rasulullah kepadanya (dalam mimpi) mengabarkan bahwa hujau akan turun". (Hadits ditiriwayatkan oleh Imam Baihaqi dan Ibnu Abi Syaibah dengan sanad yang sahih).

Diceritakan suatu kisah bahwa Khalifah Abbasiyah yang ke II Manshur, naik Haji ke Mekkah dari Bagdad. Sesudah mengerjakan haji beliau datang di Madinah untuk menziarahi makam Nabi Muhammad Saw. Pada ketika itu Imam Malik bin Anas (pembangun Madzbab Maliki) ada bersama beliau di mesjid Madinah. Khalifah Manshur bertanya kepada Imam Malik :
"Hai Abu Abdillah (gelar Imam Malik)! Sesudah ziarah dan hendak mendo'a, apakah saya harus menghadap Ka'bah atau mendo'a menghadap Rasulullah ?"
Imam Malik menjawab: Janganlah engkau palingkan mukamu dari padanya karena beliau adalah wasilah engkau dan wasilah bapak engkau Adam kepada Allah. Menghadaplah kepadanya dan minta syafa'atlah dengan dia, maka Allah akan memberi syafa'at-Nya kepadamu. Tuhan berfirman : "Kalau manusia ini menganiaya dirinya (dengan berbuat dosa) datang menghadapmu (Hai Muhammad), maka mereka minta ampun kepada Allah (di hadapanmu) dan Rasul memintaampunkan pula, niscaya Allah Penerima taubat dan Penyayang". (Lihat Syawahidul Haq halaman 156).
Cerita ini diterangkan oleh Qadhi Ijadh dalam kitab Syifa' dan oleh Imam Qasthalan dalam kitab Muwahibuladuniyah, oleh Imam Subki dalam kitab "Syifaus Siqam fi Ziyarati Khairil Anaam" oleh Sayid Samhudi dalam kitab Khulasatul Wafa' dan oleh Imam Ibnu Hajar dalam kitab Tuhfatuz Zuwar.
Berkata Ibnu Hajar, bahwa cerita Imam Malik dan Khalifah Manshur itu adalah cerita yang sahih berdasarkan sand-sanad yang baik. Kisah ini mendapat perhatian sungguh dari ulama-ulama ahli hukum syari'at karena yang mengatakan bahwa Nabi Muhammad adalah wasilah Khalifah dan wasilah Adam, adalah Imam Malik seorang lama Islam yang terkenal, pengarang kitab Muwatha'.

--- Tawasul pada Orang-orang saleh (baik hidup maupun wafat)

Diriwayatkan oleh ‘Aufa al-‘Aufa dari Abi Said al-Khudri, bahwa Rasulallah saw. pernah menyatakan: “Barangsiapa yang keluar dari rumahnya untuk melakukan shalat (di masjid) maka hendaknya mengatakan: ‘Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu demi para pemohon kepada-Mu . Dan aku memohon kepada-Mu, demi langkah kakiku ini. Sesungguhnya aku tidak keluar untuk berbuat aniaya, sewenang-wenang, ingin pujian dan ber- bangga diri. Aku keluar untuk menjauhi murka-Mu dan mengharap ridho-Mu. Maka aku memohon kepada-Mu agar Engkau jauhkan diriku dari api neraka. Dan hendaknya Engkau ampuni dosaku, karena tiada dzat yang dapat menghapus dosa melainkan diri-Mu'. Niscaya Allah akan menyambutnya dengan wajah-Nya kepadanya dan memberinya balasan sebanyak tujuh puluh ribu malaikat ”. ( Lihat : Kitab “Sunan Ibnu Majah”, 1/256 hadits ke-778 bab berjalan untuk melakukan shalat)
Dari hadits di atas dapat diambil pelajaran bahwa, Rasulallah saw. mengajarkan kepada kita bagaimana kita berdo'a untuk menghapus dosa kita dengan menyebut (bersumpah dengan kata ‘demi') diri (dzat) para peminta do'a dari para manusia sholeh dengan ungkapan ‘Bi haqqi Saailiin ‘alaika‘ (demi para pemohon kepada-Mu), Rasulallah saw. disitu tidak menggunakan kata ‘Bi haqqi du'a Saailiin ‘alaika' (demi do'a para pemohon kepada-Mu), tetapi langsung menggunakan ‘diri pelaku perbuatan' (menggunakan isim fa'il). Dengan begitu berarti Rasulallah saw. membenarkan –bahkan mengajarkan– bagaimana kita bertawassul kepada diri dan kedudukan para manusia sholeh kekasih Ilahi (wali Allah) –yang selalu memohon kepada Allah swt.– untuk menjadikan mereka sebagai sarana penghubung antara kita dengan Allah swt. dalam masalah permintaan syafa'at, permohonan ampun, meminta hajat dan sebagainya.

Bahwa Ibnu Abbas mengucapkan kalimat berikut setelah Imam Ali syahid. Ia memohon pertolongan kepada orang yang telah di anggap meninggal. Ketika kematian Abdullah bin Abas mendekati ia berkata “ Ya Allah, aku mendekatkan diri kepadaMu dengan berwilayah kepada Ali bin Abi Thalib. “ 3 (Fada’il ash-Shahabah, Ahmad bin Hanbal, jilid 2, hal 662, Hadis 1129; ar-Riyadh an-Nadhirah, Muhibuddin Thabari, jilid 3, bal. 167; Manaqib Ahmad)
Perhatikanlah bahwa Ibnu Abbas wafat pada tahun 68/687 dua puluh delapan tahun setelah Imam Ali wafat. Apabila bertawassul kepada orang yang sudah meninggal dianggap perbuatan syirik, Ibnu Abbas tidak akan berkata demikian dan Ahmad bin Hanbal tidak akan meriwayatkan peristiwa itu.

Sayidina Umar bertawasul kepada Sayyidina Abbas.
"Dari Anas (bin Malik), bahwasanya 'Umar bin Khatab Rda. adalah apabila terjadi kemarau, minta hujan ia dengan Abas bin Abdul Muthalib, maka beliau berkata : "Ya Allah bahwasanya kami telah tawassul kepada Engkau dengan Nabi kami, maka Engkau turunkan hujan, dan sekarang kami tawassul kepada Engkau dengan paman Nabi kami, maka turunkanlah hujan itu." (Hadits ini dirawikan oleh Imam Bukhari dan Baihaqi - lihat Sahih Bukhari I hal. 128 dan Baihaqi (Sunan al Kubra) II hal. 352).

Semoga Tuhan menyinari hati kita dengan cahaya-Nya.


Source : lihat masalah tawasul dalam http://kawansejati.ee.itb.ac.id/; dsb.

These icons link to social bookmarking sites where readers can share and discover new web pages.
  • Digg
  • Sphinn
  • del.icio.us
  • Facebook
  • Mixx
  • Google
  • Furl
  • Reddit
  • Spurl
  • StumbleUpon
  • Technorati