Demi  Allah, putra Abu Quhafah (Abu Bakar)[ii] membusanai dirinya dengan  (kekhalifahan) itu, padahal ia pasti tahu bahwa kedudukan saya  sehubungan dengan itu adalah sama dengan kedudukan poros pada  penggiling. Air bah mengalir (menjauh) dari saya dan burung tak dapat  terbang sampai kepada saya. Saya memasang tabir terhadap kekhalifahan  dan melepaskan diri darinya.
Kemudian  saya mulai berpikir, apakah saya harus menyerang ataukah menanggung  dengan tenang kegelapan membutakan dan azab, di mana orang dewasa  menjadi lemah dan orang muda menjadi tua, dan orang mukmin yang  sesungguhnya hidup di bawah tekanan sampai ia menemui Allah (saat  matinya). Saya dapati bahwa kesabaran atasnya lebih bijaksana. Maka saya  mengambil kesabaran, walaupun ia menusuk di mata dan mencekik di  kerongkongan. Saya melihat perampokan warisan saya sampai orang yang  pertama menemui ajalnya, tetapi mengalihkan kekhalifahan kepada Ibnu  Khaththab sesudah dirinya.
Kemudian ia mengutip syair al-’A'sya’:
Hari-hariku kini berlalu di punggung unta (dalam kesulitan)
Sementara ada hari-hari (kemudahan)
Ketika aku menikmati pertemanan Hayyan, saudara Jabir.[iii]
Aneh  bahwa selagi hidup ia ingin melepaskan diri dari kekhalifahan, tetapi  ia mengukuhkannya untuk yang lainnya setelah matinya. Tiada ragu bahwa  kedua orang ini sama bersaham pada puting-puting susunya semata-mata di  antara mereka saja. Yang satu ini menempatkan kekhalifahan dalam suatu  lingkungan sempit yang alot di mana ucapannya sombong dan sentuhannya  kasar. Kesalahannya banyak, dan banyak pula dalihnya kemudian. Orang  yang berhubungan dengannya adalah seperti penunggang unta binal. Apabila  ia menahan kekangnya, hidungnya akan robek, tetapi apabila ia  melonggarkannya maka ia akan terlempar. Akibatnya, demi Allah, manusia  terjerumus ke dalam kesemberonoan, kejahatan, kegoyahan dan  penyelewengan. Namun demikian saya tetap sabar walaupun panjang-nya masa  dan tegarnya cobaan, sampai, ketika ia pergi pada jalan (kematian)nya,  ia menempatkan urusan (kekhalifahan) pada suatu kelompok[iv] dan  menganggap saya salah satu dari mereka. Tetapi, ya Allah, apa hubungan  saya dengan “musyawarah” ini? Di manakah ada suatu keraguan tentang saya  sehubungan dengan yang pertama dari mereka sehingga saya sekarang  dipandang sama dengan orang-orang ini? Tetapi saya tetap merendah ketika  mereka merendah dan terbang tinggi ketika mereka terbang tinggi.  Seorang dari mereka menentang saya karena kebenciannya, dan yang lainnya  cenderung ke jalan lain karena hubungan perkawinan dan karena ini dan  itu, sehingga orang ketiga dari orang-orang ini berdiri dengan dada  membusung antara kotoran dan makanannya. Bersamanya sepupunya pun  bangkit sam-bil menelan harta Allah[v] seperti seekor unta menelan  rumput musim semi, sampai talinya putus, tindakan-tindakannya mengakhiri  dirinya dan keserakahannya membawanya jatuh tertelungkup.
Pada  waktu itu tak ada yang mengagetkan saya selain kerumunan orang yang  maju kepada saya dari setiap sisi seperti bulu tengkuk rubah sehingga  Hasan dan Husain terinjak dan kedua ujung baju bahu saya robek. Mereka  berkumpul di sekitar saya seperti kawanan kambing. Ketika saya mengambil  kendali pemerintahan, suatu kelompok memisahkan diri dan satu kelompok  lain mendurhaka, sedang yang sisanya mulai menyeleweng seakan-akan  mereka tidak mendengar kalimat Allah yang mengatakan, “Negeri  akhirat itu Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak in gin  menyombongkan diri dan berbuat kerusakan di (muka) buini. Dan kesudahan  (yang baik) itu adalah bagi orang-orang yang bertakwa. ” (QS. 28:83)
Ya,  demi Allah, mereka telah mendengarnya dan memahaminya, tetapi dunia  nampak berkilau di mata mereka dan hiasannya menggoda mereka. Lihatlah,  demi Dia yang memilah gabah (untuk tumbuh) dan menciptakan makhluk  hidup, apabila orang-orang tidak datang kepada saya, dan para pendukung  tidak mengajukan hujah, dan apabila tak ada perjanjian Allah dengan  ulama bahwa mereka tak boleh berdiam diri dalam keserakahan si penindas  dan laparnya orang tertindas, maka saya akan sudah melemparkan  kekhalifahan dari bahu saya, dan memberikan orang yang terakhir  perlakuan yang sama seperti orang yang pertama. Maka Anda akan melihat  bahwa dalam pandangan saya dunia Anda ini tidak lebih baik dari bersin  seekor kambing.
Dikatakan  bahwa ketika Arnirul Mukminin sampai di sini dalam khotbahnya, seorang  lelaki dari ‘Iraq berdiri dan menyerahkan kepadanya suatu tulisan.  Amirul Mukminin melihat (tulisan) itu, dan ketika itu juga Ibn ‘Abbas  –semoga Allah meridai keduanya– berkata, “Ya Amirul Muk minin, saya  harap Anda lanjutkan khotbah Anda dari mana Anda telah memutuskannya.”
Atasnya ia menjawab,
“Wahai Ibn ‘Abbas, hal itu seperti uap dengusan seekor unta yang menyembur keluar tetapi (kemudian) mereda.”
Ibn  ‘Abbas berkata bahwa ia tak pernah menyedihkan suatu ucapan sebagaimana  atas yang satu ini, karena Amirul Mukminin a.s. tak dapat mengakhirinya  sebagaimana diinginkannya.
Sayid Radhi mencatat:  Kata-kata dalam khotbah, “seperti penunggang unta” bermaksud  menyampaikan bahwa bilamana seorang penunggang unta menarik kendali  dengan kaku maka dengan sentakan itu lobang hidungnya akan memar, tetapi  apabila ia melonggarkannya padahal unta itu liar, maka unta itu akan  melemparkannya di suatu tempat dan akan lepas kendali. Asynaq an-naqah  digunakan bilamana si penunggang menarik kekang dan meninggikan kepala  unta. Dalam pengertian yang sama digunakan juga kata syanaqa an-naqah.  Ibnu Sikkit telah menyebutkannya dalam Islahul Manthiq. Amirul Mukminin  telah mengatakan asynaqa laha sebagai ganti asynaqaha, karena ia  menggunakannya seirama dengan aslasa laha dan keselarasan hanya dapat  dipertahankan dengan mengunakan keduanya dalam bentuknya yang sama.  Jadi, Amirul Mukminin menggunakan asynaqa laha seakan-akan sebagai ganti  in rafa’a laha ra’saha, yakni “apabila ia menghentikannya dengan  menarik kekang”.
[i]  Khotbah ini terkenal sebagai Khotbah Asy-Syiqsyiqiyyah dan dipandang  sebagai salah satu khotbah Amirul Mukminin yang paling masyhur. Khotbah  ini disampaikan di Ar-Rahbah (suatu bagian dari Kufah). Sebagian orang  menyangkalnya sebagai ucapan Amirul Mukminin, dan mengatakan bahwa itu  dibuat-buat oleh Sayid Radhi (Syarif Radhi) namun para ulama pencinta  kebenaran telah menyanggah sangkalan itu. Tidak ada pula dasar untuk  penyangkalan itu. Perbedaan pandangan Ali a.s. dalam hal kekhalifahan  bukanlah rahasia, sehingga singgungan-singgungan semacam itu tak dapat  dipandang sebagai sesuatu yang asing. Dan, peristiwa yang telah  disinggung dalam khotbah ini terpelihara dalam catatan-catatan sejarah  yang membenarkannya, kata demi kata dan kalimat demi kalimat. Apabila  peristiwa-peristiwa yang sama yang bertaian dengan sejarah dikatakan  kembali oleh Amirul Mukminin maka manakah alasan untuk menyangkalinya?  Apabila ingatan akan keadaan-keadaan yang tak menyenangkan segera  setelah wafatnya Nabi nampak tak terlupakan baginya, tidaklah hal itu  harus mengejutkan. Tiada ragu, khotbah ini mengenai prestise tokoh-tokoh  tertentu dan mengurangi keyakinan dan kepercayaan kepada mereka.  Tetapi, kepercayaan itu tak dapat dipulihkan dengan menolak khotbah ini  sebagai ucapan Amirul Mukminin, kecuali apabila peristiwa-peristiwa yang  sebenarnya dianalisa dan kebenarannya diungkapkan. Apabila tidak  demikian, sekadar menolaknya sebagai ucapan Amirul Mukminin karena  mengandung peremehan terhadap individu-individu tertentu, tidaklah  berbobot, padahal kritik yang sama telah diriwayatkan oleh sejarawan  lain pula. Maka, (Abu ‘Utsman) ‘Amr Ibnu Bahr Al-Jahizh telah mencatat  kata-kata berikut ini dari suatu khotbah Amirul Mukminin, dan kata-kata  itu tidak kurang bobotnya daripada kritik dalam Khotbah  Asy-Syiqsyiqiyyah.
Yang  dua ini meninggal dan yang ketiga bangkit seperti gagak yang  keberaniannya terbatas pada perut. Akan lebih baik apabila kedua  sayapnya terputus dan kepalanya terlepas.
Alhasil,  gagasan bahwa khotbah itu buatan Sayid Radhi adalah jauh dari  kebenaran, dan hanya merupakan hasil partisan dan sikap memihak.  Sekiranya tuduhan itu merupakan hasil suatu penelitian, haruslah  dikernukakan. Bila tidak demikian maka bersikeras pada ilusi penuh  hasrat semacam itu tidak mengubah kebenaran, tidak pula kekuatan  argumen-argumen yang menentukan akan terpupuskan hanya dengan tidak  setuju dan tak senang.
Sekarang,  marilah kita lihat kesaksian dari para ulama dan ahli periwayatan yang  dengan tegas memandangnya sebagai asli dari Amirul Mukminin, supaya  pentingnya secara historis diketahui. Di antara para ulama ini, sebagian  hidup sebelum masa Sayid Radhi, sebagian semasa dengannya, dan sebagian  sesudah-nya, tetapi mereka semua meriwayatkan melalui isnad mereka  sendiri-sendiri.
(1)  Ibnu Abil Hadid menuliskan bahwa gurunya Abul Khair Mushaddiq Ibnu  Syabib al-Wasiti (m. 605 H.) menyatakan bahwa ia mendengar khotbah ini  dari Syeikh Abu Muhammad ‘Abdullah Ibnu Ahmad Al-Baghdadi (m. 567 H.)  yang dikenal sebagai Ibnu Al-Khasysyab, dan ketika ia sampai di mana  Ibnu ‘Abbas menyampaikan kesedihannya karena khotbah ini tertinggal tak  lengkap, Ibnu Khasysyab mengatakan kepadanya bahwa apabila ia mendengar  keluhan sedih Ibnu ‘Abbas itu, pastilah ia sudah menanyakan kepadanya  apakah ada yang tertinggal pada saudara misannya itu suatu keinginan  lain yang tak dipuaskan, karena, kecuali Nabi, ia tidak mengecualikan  para pendahulunya maupun para penyusulnya, dan telah mengucapkan semua  yang hendak diucapkannya.
Maka,  mengapa harus ada kesedihan bahwa ia tak dapat mengatakan apa yang  diinginkannya? Mushaddiq mengatakan bahwa Ibnu Khasysyab adalah orang  yang berhati ceria dan sopan santun. Ketika saya bertanya kepadanya  apakah ia juga memandang khotbah itu sebagai buat-buatan, ia menjawab,  “Demi Allah, saya percaya itu kata-kata Amirul Mukminin, sebagaimana  saya percaya bahwa Anda adalah Mushaddiq Ibnu Syabib.” Ketika saya  katakan bahwa sebagian orang menganggapnya buatan Sayid Radhi, ia  menjawab, “Bagaimana mungkin Radhi dapat mempunyai keberanian demikian  atau gaya penulisan seperti itu. Saya telah melihat tulisan-tulisan  Radhi dan mengetahui gaya penulisannya. Di mana-mana tiada tulisannya  menyerupai yang satu ini. Dan saya telah melihatnya pada buku-buku yang  ditulis ratusan tahun sebelum lahirnya Sayid Radhi; dan saya telah  melihatnya dalam tulisan-tulisan yang terkenal yang saya tahu ulama dan  ahli sastra mana yang mengutip tulisan-tulisan itu. Pada masa itu, bukan  saja Radhi, tetapi bahkan ayahnya, Abu Ahmad An-Naqib, belum lahir.”
(2)  Setelah itu, Ibnu Abil Hadid menulis bahwa ia melihat khotbah ini dalam  kompilasi-kompilasi gurunya Abul Qasim (‘Abdullah Ibnu Ahmad) al-Balkhi  (m. 317 H.). la pemimpin kaum Mu’tazilah dalam masa pemerintahan  Muqtadir Billah, sedang masa Muqtadir jauh sebelum lahirnya Sayid Radhi.
(3)  la selanjutnya menulis bahwa ia melihat khotbah ini dalam buku Inshaf  karya Ibnu Qibah (Abu Ja’far Muhammad Ibnu ‘Abdur-Rahman). la murid Abul  Qa sim al-Balkhi dan ulama mazhab Syi’ah Imamiah. (Syarh Ibnu Abil  Hadid, I, h. 205-206).
(4)  Ibnu Maltsam Al-Bahrani (m. 679 H.) menulis dalam syarahnya bahwa ia  telah melihat satu salinan khotbah itu yang telah ditulis oleh menteri  Muqtadir Billah, Abul Hasan Ali Ibnu Muhammad Ibnu Al-Furat (m. 312 H.)  (Syarh al-Balaghah, I, h. 252-253).
(5)  Allamah Muhammad Baqir al-Majlisi telah meriwayatkan isnad berikut  tentang khotbah ini dari kompilasi Syeikh Qutbuddin ar-Rawandi, Minhajul  Bara ‘ah fi Syarh Nahjul Balaghah:
“Syeikh  Abu Nashr al-Hasan Ibnu Muahammad Ibnu Ibrahim menyampaikan kepada saya  dari al-Hajib Abul Wafa’ Muhammad Ibnu Badi’, al-Husain Ibnu Ahmad Ibnu  Badi’ dan al-Husain Ibnu al-Husain Ibnu Ahmad Ibnu ‘Abdur-Rahman, dan  mereka (mendengar) dari al-Hafizh Abu Bakr (Ahmad Ibnu Musa) Ibnu  Mardawaih al-Ishbahani (m. 426 H.) dan dia dari al-Hafizh Abul Qasim  Sulaiman Ibnu Ahmad ath-Thabarani (m. 360 H.) dan dia dari Ahmad Ibnu  Ali al-Abbar dan dia dari Ishaq Ibnu Sa’id Abu Salamah ad-Dimasyqi dan  dia dari Khulaid Ibnu Da’laj dan dia dari Atha’ Ibnu Abi Rabah dan dia  dari Ibnu ‘Abbas.” (Biharul Anwar, edisi pertama, jilid VIII, h. 160-161).
(6)  Dalam konteks itu Allamah al-Majlisi menulis bahwa khotbah ini juga  termuat dalam kompilasi Abu Ali (Muhammad Ibnu ‘Abdul Wahhab) al-Jubba’i  (m. 303 H.).
(7) Dalam hubungan dengan otentiknya khotbah ini sendiri, Allamah al-Majlisi menulis:
“Qadhi  ‘Abdul Jabbar Ibnu Ahmad al-Asadabadi (415 H.), seorang Mu’tazilah yang  tegar, menerangkan beberapa ungkapan dari khotbah ini dalam buku  Al-Mughni dan berusaha membuktikan bahwa khotbah itu tidak menyerang  para khalifah mana pun sebelumnya, tetapi tidak menolak bahwa itu  komposisi Amirul Mukminin.” (Ibid., h. 161).
(8) Abu Ja’far Muhammad Ibnu Ali, Ibnu Babawaih (m. 381 H.) menulis:
“Muhammad  Ibnu Ibrahim Ibnu Ishaq ath-Thalaqani mengatakan kepada kami bahwa  ‘Abdul ‘Aziz Ibnu Yahya al-Jaludi (m. 332 H.) mengatakan kepadanya bahwa  Abu ‘Abdullah Ahmad Ibnu ‘Ammar Ibnu Khalid mengata kan kepadanya bahwa  Yahya Ibnu ‘Abdul Hamid al-Himmani (m. 228 H.) mengatakan kepadanya  bahwa ‘Isa Ibnu Rasyid meriwayatkan khotbah ini dari Ali Ibnu Hudzaifah,  dan dia dari ‘Ikrimah dan dia dari Ibnu ‘Abbas.” (Ilal asy-Syara’i, bab XXII, h. 360-361).
(9) Kemudian Ibnu Babawaih mencatat rangkaian isnad berikut:
“Muhammad  Ibnu Ali Majilawaih meriwayatkan khotbah ini kepada kami, dan ia  mengambilnya dari pamannya Muhammad Ibnu Abil Qasim, dia dari Ahmad Ibnu  Abi ‘Abdillah (Muhammad Ibnu Khalid) al-Barqi dan dia dari ayahnya dan  dia dari Muhammad Ibnu Abi ‘UMalr dan dia dari Aban Ibnu ‘Utsman dan dia  dari Aban Ibnu Taghlib dan dia dari ‘Ikrimah dan dia dari Ibnu ‘Abbas. (‘Ial asy-Syara’i', I, bab 122, h. 146; Ma’am al-Akhbar, bab 22, h. 361).
(10)  Abu Ahmad al-Hasan Ibnu ‘Abdillah Ibnu Sa’id al-’Askari (m. 382 H.),  yang tergolong ulama besar Sunni, telah menulis syarah dan penjelasan  tentang khotbah ini, yang telah dicatat oleh Ibnu Babawaih dalam. ‘Ial  asy-Syard’i dan Ma ‘dni al-Akhbar.
(11) Sayid Ni’matullah al-Jaza’iri menulis:
“Penulis  Kitdb al-Ghardt, Abu Ishaq, Ibrahim Ibnu Muhammad ats-Tsaqafi al-Kufi  (m. 283 H.) telah meriwayatkan khotbah ini melalui rangkaian sanad-nya  sendiri. Tanggal selesainya menulis buku ini hari Selasa, 13 Syawal 255  H. dan pada tahun itu juga Murtadha al-Musawi lahir. la lebih tua dari  saudaranya Sayid RadhT.” (Anwar an-Nu ‘maniyyah, h. 37).
(12)  Sayid Radhiuddin Abul Qasim Ali Ibnu Musa, Ibnu Thawus al-Husaini  al-Hilli (m. 664 H.) telah meriwayatkan khotbah ini dari Kitab al-Gharat  dengan rangkaian sanad berikut:
“Khotbah  ini diriwayatkan kepada kami oleh Muhammad Ibnu Yusuf, yang  meriwayatkan dari Hasan Ibnu Ali Ibnu ‘Abdul Karim az-Za’farani, dan ia  (meriwayatkan) dari Muhammad Ibnu Zakariyya al-Ghallabi, dan dia dari  Ya’qub Ibnu Ja’far Ibnu Sulaiman, dan dia dari ayahnya, dan dia dari  kakek-nya, dan dia dari Ibnu ‘Abbas.” (terjemahan Ath-Thara’if, h. 202)
(13) Syeikh ath-Tha’ifah, Muhammad Ibnu al-Hasan ath-Thusi (m. 460 H.) me nulis:
“(Abul  Path Hilal Ibnu Muhammad Ibnu Ja’far) al-Haffar meriwayatkan khot bah  ini kepada kami. la meriwayatkan dari Abdul Qasim (Isma’il Ibnu Ali Ibnu  Ali) ad-Di’bili, dan dia dari ayahnya, dan dia dari saudaranya Di’bil  (Ibnu Ali al-Kuza’i), dan dia dari Muhammad Ibnu Salamah asy-Syami, dan  dia dari Zurarah Ibnu A’yan dan dia dari Abu Ja’far Muhammad Ibnu Ali  (asy-Syeikh ash-Shaduq), dan dia dari Ibnu ‘Abbas.” (Al-Amali, h. 137)
(13)  Syeikh Mufid (Muhammad Ibnu Muhammad Ibnu an-Nu’man, m. 413 H.), guru  Sayid Radhi, menulis tentang rangkaian sanad khotbah ini:
“Sejumlah periwayat hadis telah meriwayatkan khotbah ini dari Ibnu ‘Abbas melalui berbagai isnad.” (Al-Irsyad, h. 135)
(15) ‘Alam al-Huda (lambang petunjuk) Sayid Murtadha, kakak Sayid Radhi, telah mencatatnya pada h. 203-204 bukunya Asy-Sydfi.
(16) Abu Manshur ath-Thabarsi menulis:
“Sejumlah  perawi telah meriwayatkan tentang khotbah ini dari Ibnu ‘Abbas melalui  berbagai sanad. Ibnu ‘Abbas mengatakan bahwa ia bersama Amirul Mukminin  di ar-Rahbah; ketika percakapan beralih kepada kekhalifahan dan mereka  yang telah mendahuluinya sebagai Khalifah, Amirul Mukminin menghembuskan  nafas keluhan dan menyampaikan khotbah ini.” (Al-Ihtijaj)
(17) Abu al-Muzhaffar Yusuf Ibnu ‘Abdillah dan Sibth Ibnu Jauzi al-Hanafi (m. 654 H.) menulis:
“Syeikh  kita Qasim an-Nafts al-Anbari meriwayatkan khotbah ini kepada kami  melalui rangkaian sanadnya yang berakhir pada Ibnu ‘Abbas, yang  mengatakan bahwa setelah dilakukan pembaiatan kepada Amirul Muk minin  sebagai khalifah, ia sedang duduk di mimbar ketika seorang laki-laki  dari hadirin bertanya mengapa ia berdiam diri ketika itu, lalu Amirul  Mukminin serta merta mengucapkan khotbah ini.” (Tadzkirat Khawashsh al-Ummah, h. 73)
(18) Qadhi Ahmad Ibnu Muhammad, asy-Syihab al-Khafaji (m. 1069 H.) menulis setalian dengan keasliannya:
“Dinyatakan  dalam ucapan-ucapan Amirul Mukminin Ali (ra), ‘Aneh, selama hayatnya ia  (Abu Bakar) hendak melepaskan kekhalifahannya, tetapi ia memperkuat  fondasinya untuk orang lain setelah matinya.’” (Syarh Durrat al-Ghawwash, h. 17)
(19) Syeikh ‘Ala ad-Daulah as-Simnani menulis:
“Amirul  Mukminin SayyidAl-’Arifin Ali a.s. telah menyatakan dalam satu  khotbahnya yang cemerlang, “Ini syiqsyiqah yang menyembur keluar“. (al-’Urwah li Ahl al-Khalwah wa al-Jalwah, h. 3, naskah di Perpustakaan Nasiriah, Lucknow, India)
(20) Abul Fadhl Ahmad Ibnu Muhammad al-Maldant (m. 518 H.) menulis sehubungan dengan kata syiqsyiqah:
“Satu khotbah Amirul Mukminin terkenal sebagai Khotbah asy-Syiqsyt-qiyyah (khotbah busa unta).” (Majma’ al-Amtsal, jilid I, h. 369)
(21)  Pada lima belas tempat dalam An-Nihayah, sementara menerangkan  kata-kata dari khotbah ini, Abu as-Sa’adat Mubarak Ibnu Muhammad, Ibnu  al-Atsir al-Jazari (m. 606 H.) telah mengakuinya sebagai ucapan Amirul  Mukminin.
(22)  Syeikh Muhammad Thahir Patnt, ketika menerangkan kata-kata itu dalam  Majma’ al-Bihar al-Anwar, membenarkan khotbah ini dari Amirul Muk minin  dengan kata-kata, “Ali mengatakan demikian.”
(23)  Abul Fadhl Ibnu Manzur (m. 711 H.) telah mengakuinya sebagai ucapan  Amirul Mukminin, dalam Lisan al-’Arab, jilid XII, h. 54, dengan mengata  kan, “Itu adalah busa unta yang mencetus, kemudian mereda.”
(24) Majduddln al-Firuzabadt (m. 816/7 H.) telah mencatat kata syiqsyiqah dalam kamusnya (Al-Qdmus, III, h. 251):
“Khotbah  asy-Syiqsytqiyyah Ali dinamakan demikian karena ketika Ibnu ‘Abbas  meminta kepadanya untuk meneruskannya di mana ia telah me-ninggalkannya,  ia berkata, “Wahai, Ibnu ‘Abbas! Itu busa unta (syiqsyiqah) yang  mencetus keluar lalu mereda.”
(25) Penyusun Muntahd al-Adab menuliskan:
“Khotbah Asy-Syiqsyiqiyyah Ali diatributkan pada Ali (karramallahu wajhahu).”
(26)  Syeikh Muhammad ‘Abduh, Mufti Mesir, mengakuinya sebagai ucapan Amirul  Mukminin; ia telah menulis keterangannya dalam bukunya Syarh Nahjul  Baldghah.
(27)  Muhammad Muhyiddm ‘Abdul Hamid, guru besar pada Fakultas Bahasa Arab,  Universitas al-Azhar, telah menulis anotasi tentang Nahjul Baldghah  dengan membubuhkan prakata, di mana ia mengakui semua khotbah yang  mengandung pernyataan-pernyataan menyinggung semacam itu sebagai ucapan  Amirul Mukminin.
Di  hadapan semua penyaksian dan semua bukti yang tak tersangkal ini, tidak  ada tempat untuk menganggap bahwa khotbah itu bukan dari Amirul  Mukminin dan bahwa itu buatan Sayid Radhi sendiri.
[ii]  Amirul Mukminin mengacu pengangkatan Abu Bakar menjadi khalifah,  sebagai berbusana dengan itu. Ini kiasan biasa. Maka, ketika ‘Utsman  diminta untuk menyerahkan kekhalifahan, ia menjawab, “Saya tidak akan menanggalkan busana yang telah dipakaikan Allah kepadaku ini.”  Tiada ragu bahwa Amirul Mukminin tidak mengatributkan “baju  kekhalifahan” ini kepada Allah, melainkan kepada Abu Bakar sendiri,  karena menurut pandangan ijmak, kekhalifahannya bukanlah dari Allah  melainkan urusannya sendiri. Itulah sebabnya Amirul Muk minin mengatakan  bahwa Abu Bakar membusanai dirinya sendiri dengan kekhalifahan. la  mengetahui bahwa busana ini telah dijahit untuk badannya sendiri, sedang  kedudukannya sendiri sehubungan dengan kekhalifahan adalah kedudukan  poros pada penggiling yang dapat mempertahankan posisi pusatnya dan tak  ada gunanya tanpa itu. Seperti itu pula, ia berpendapat, “Saya adalah  sumbu pusat kekhalifahan; bila saya tidak di sana, seluruh sistemnya  akan tersesat dari pusat nya. Sayalah yang bertindak sebagai pengawal  bagi organisasi dan ketertibannya, dan mengawalnya melewati berbagai  kesulitan. Arus pengetahuan mengalir dari dada saya dan mengairinya pada  semua sisi. Kedudukan saya tinggi di atas ima-jinasi, tetapi pencari  keserakahan duniawi untuk pemerintahan menjadi batu sandungan bagi saya,  dan saya harus mengurung diri dalam keterasingan. Kegelapan yang  membutakan merajalela di mana-mana, gelap pekat di mana-mana. Yang muda  menjadi tua dan yang tua berpisah ke kuburan, tetapi masa menanggung  sabar ini tak mau berakhir. Saya terus melihat dengan mata saya  penjarahan atas warisan saya dan melihat berlalunya kekhalifahan dari  satu tangan ke tangan lain, tetapi saya tetap bersabar, karena tak dapat  menghentikan kesewenang-wenangan mereka tanpa sarana.”
Perlunya Khalifah dan Cara Pengangkatannya
Setelah  Nabi Muhammad (saw) wafat, dibutuhkan adanya pribadi yang mampu  mencegah perpecahan umat dan mengawal hukum Islam dari perubahan,  pengubahan dan penyelewengan oleh orang-orang yang hendak memenuhi hawa  nafsunya. Bila kebutuhan mendesak ini disangkal maka mengapa suksesi  Nabi dianggap begitu penting sehingga pertemuan di Saqifah Bani Sa’idah  dipandang lebih utama daripada penguburan Nabi? Bila kebutuhan ini  diakui, maka timbul pertanyaan apakah Nabi juga menyadarinya atau tidak.  Bila kita anggap beliau tidak menyadarinya dan tidak dapat menilai ada  atau tiadanya kebutuhan tersebut, maka hal ini akan merupakan bukti yang  sangat kuat untuk menganggap bahwa Nabi tidak memikirkan cara menyetop  kejahatan-kejahatan bidah dan hojatan; padahal beliau telah memberikan  peringatan-peringatan tentang masaalah ini.
Apabila  dikatakan bahwa beliau menyadari kebutuhan akan adanya pribadi tersebut  tetapi tidak membereskannya, karena melihat adanya manfaat dengan  membiarkannya, maka beliau tidak akan mendiamkannya tanpa menunjukkan  manfaat itu dengan jelas; apabila tidak demikian maka mendiamkan masalah  tersebut tanpa tujuan merupakan pelanggaran dalam pelaksanaan tugas  Kenabian. Apabila ada halangan, haruslah pula diungkapkan. Karena Nabi  tidak meninggalkan masalah agama dalam keadaan tidak sempurna maka  beliau tidak akan membiarkan masalah ini terbengkalai, melainkan akan  mengajukan jalan pemecahan untuk mengamankan agama dari campur tangan  orang lain.
Masalahnya  sekarang, bagaimana seharusnya pengambilan keputusan pada masa awal  tersebut dan apa yang akan dilakukan. Bila keputusan itu berdasarkan  konsensus umat maka hal itu tidak mungkin terjadi, karena pada konsensus  semacam itu diperlukan adanya persetujuan tiap individu; tetapi  mengingat perbedaan temperamen manusia, maka mustahil mereka akan  sepakat. Tak ada contoh di masa itu di mana keputusan dapat diambil  dengan mufakat tanpa satu pun yang menolak. Maka bagaimana mungkin  kebutuhan mendasar semacam itu digantungkan pada terjadinya peristiwa  yang mustahil seperti itu, sedangkan kebutuhan itu menyangkut masa depan  Islam dan kemaslahatan umat. Oleh karena itu maka akal sehat tidak  dapat menerima tolok ukur ini. Tidak ada pula sunah yang selaras  dengannya sebagaimana ditulis oleh Qadhi ‘AdhuddTn al-’Ijlt dalam Syarh  al-Mawaqif:
“Anda  seharusnya tahu bahwa kekhalifahan tidak dapat bergantung pada ijmak  pemilihan, karena tidak ada argumen yang logis atau sunah yang dapat  dijadikan sandaran.”
Kenyataannya,  tatkala para pembela pemilihan dalam pelaksanaannya sukar mencapai  aklamasi, mereka lalu menempuh persetujuan mayoritas dengan mengabaikan  minoritas.
Dalam  hal semacam ini sering juga terjadi kekuatan jujur ataupun palsu, cara  benar atau tidak, mengubah arus pendapat mayoritas dan mengabaikan  keutamaan individu dan kebajikan pribadi. Akibatnya, orang yang mampu  dan jujur ter-sembunyi, dan yang tidak kompeten maju ke depan. Bila  orang berkemampuan tersisih, terhalang oleh ambisi-ambisi pribadi, lalu  bagaimana mengharapkan adanya pemilihan orang yang tepat? Sekalipun,  misalnya, semua pemberi suara punya kebebasan dan tidak memihak,  lidaklah mesti keputusan mayoritas harus benar dan tak tersesat.  Pengalaman menunjukkan bahwa setelah keputusan dijalankan, mayoritas  lalu berpendapat bahwa keputusannya sendiri ternyata salah. Bila setiap  keputusan mayoritas benar, maka keputusannya yang pertama adalah salah,  karena keputusan yang menganggapnya salah adalah juga dari mayoritas.
Tentang  pendapat bahwa untuk menghindari kekacauan maka tokoh-tokoh umat  dibiarkan memilih siapa saja yang mereka sukai, di sini pun pergesekan  dan pertengkaran akan merajalela. Karena, di sini juga pemusatan watak  manusia untuk satu persetujuan tidaklah mesti, dan tidak dapat juga  dikatakan bahwa mereka dapat mengatasi tujuan-tujuan pribadi mereka.  Dalam kenyataannya di sini konflik dan benturan akan lebih kuat. Karena,  kalau tidak semua, sekurang-kurangnya kebanyakan dari mereka ingin  menjadi calon dan akan berusaha dengan segala daya untuk mengalahkan  lawannya, dan membuka jalan yang sebaik-baiknya untuk dirinya. Akibat  yang tidak dapat dihindarkan ialah pergumulan dan pergolakan.
Kesimpulannya,  tidak mungkin menyingkirkan bencana dengan cara ini, dan ketimbang  menemukan tokoh yang tepat, umat hanya akan jadi alat untuk me-menuhi  ambisi pribadi orang lain. Lagi pula, bagaimana seharusnya tolok ukur  orang yang akan memegang tampuk kekuasaan ini? Sebagaimana biasa, siapa  saja yang dapat mengumpul beberapa pendukung dan mampu membuat geger dan  ribut-ribut dalam suatu pertemuan dengan menggunakan kata-kata keras  maka dialah yang dianggap paling tepat sebagai penguasa. Ataukah  kemampuan seseorang juga akan dinilai? Bila penilaian kemampuan  seseorang ditentukan juga dengan cara pemilihan umum seperti ini, maka  kerumitan dan kekacauan serupa akan muncul. Bila ada patokan lain, maka  sebagai ganti menilai para pemberi suara seperti itu, mengapa tidak  menilai orang yang dipandang pantas untuk kedudukan itu? Selanjutnya  berapa banyak tokoh yang dianggap cukup untuk mengambil keputusan? Jelas  bahwa sekali patokan ini diambil maka hal ini akan jadi preseden,  teladan dan contoh di masa mendatang, dan jumlah orang yang berwenang  mengambil keputusan akan jadi patokan juga di masa depan. Qadhi  al-’Ajali menulis:
“Malah  satu atau dua orang telah cukup menentukan terpilihnya pemimpin, karena  kita tahu bahwa para ulama yang tegas dalam agama menganggap cukup  pengangkatan Abu Bakar oleh ‘Umar dan pengangkatan ‘Utsman oleh  ‘Abdur-Rahman.” (Syarh al-Mawaqif, h. 351)
Beginilah  riwayat “Pemilihan secara mufakat” di Saqifah Bani Sa’idah dan kegiatan  Syura dalam pemilihan ‘Utsman: tindakan satu orang telah diberi nama  “pemilihan secara mufakat”, dan perbuatan satu orang dinamakan majelis  syura. Abu Bakar telah memahami kenyataan bahwa pemilihan berarti hanya  satu atau dua suara yang akan diatributkan pada rakyat umum yang  sederhana. Itulah sebabnya ia mengabaikan tuntutan dengan suara bulat,  suara mayoritas atau metode pemilihan melalui majelis yang dipilih, dan  ia sendiri mengangkat ‘Umar. ‘A’isyah pun memandang bahwa membiarkan  masalah kekhalifahan pada suara beberapa individu berarti mengundang  kekacauan dan kesulitan. la mengirimkan pesan kepada ‘Umar menjelang  matinya:
“Jangan  biarkan umat Islam tanpa pemimpin. Angkatlah seorang khalifah untuk itu  dan jangan Anda tinggalkan umat tanpa pewenang, karena apabila tidak  demikian saya melihat kekacauan dan kesulitan.”
Ketika  pemilihan oleh orang yang berwenang terbukti gagal, hal itu  ditinggalkan, dan hanya “kekuatan adalah kebenaran” yang menjadi  ukurannya—yakni siapa saja yang menundukkan dan menguasai orang lain,  diterima sebagai khalifah Nabi dan pelanjutnya yang sebenarnya. Ini  prinsip buatan sendiri, padahal ada serangkaian hadis Nabi yang  disampaikan pada “Pertemuan ‘Asyirah”, pada ma-lam Hijrah, pada Perang  Tabuk, pada kesempatan menyampaikan surah al-Bara’ah (at-Taubah) dan di  Ghadlr Khum. Yang aneh, setiap orang dari khalifah itu di-dasarkan pada  pilihan individu, sementara pilihan Nabi sendiri ditolak! Padahal,  penunjukan oleh Nabi adalah satu-satunya jalan untuk mengakhiri  perselisihan, yakni bahwa Nabi sendiri yang semestinya menyelesaikan dan  menyelamatkan umat dari kekacauan-kekacauan di masa depan dan  menghindarkan pengambilan keputusan di tangan orang-orang yang terlibat  dalam tujuan dan maksud-maksud pribadi. Ini prosedur yang tepat yang  sesuai dengan nalar dan juga mendapat dukungan hadis-hadis Nabi yang  tegas.
[iii]  Hayyan Ibnu Samin al-Hanafi al-Yamamah adalah kepala suku Bani Hanifah  dan penguasa benteng dan tentara. Jabir adalah nama adiknya, sedang  A’sya, yang nama sesungguhnya Malmun Ibnu Qais Ibnu Jandal, adalah  sahabat karib dan hidup pantas dan bahagia atas kemurahannya. Dalam bait  syair ini ia membandingkan kehidupannya sekarang ini dengan yang  sebelumnya, yakni masa ketika ia berkelana mencari nafkah, dengan masa  hidup berbahagia bersama Hayyan. Pada umumnya dianggap bahwa Amirul  Mukminin mengutip bait ini untuk mem bandingkan masanya yang kesusahan  dengan masa-masa daMal yang dilaluinya dalam asuhan dan perlindungan  Nabi, ketika ia bebas dari segala kerisauan dan menikmati kedaMalan  mental. Tetapi, mengingat peristiwa ia membuat perbandingan ini, serta  pokok bait syair itu, bukanlah penjelasan yang dicari-cari apabila itu  dianggap menunjukkan perbedaan antara kedudukan yang tak penting dari  orang-orang yang sekarang sedang berkuasa, di masa kehidupan Nabi, dan  wewenang dan kekuasaan mereka sesudahnya; yakni, pada masa Nabi tiada  perhatian diberikan kepada mereka, karena kepribadian Ali; tetapi,  sekarang waktu telah berubah demikian rupa sehingga orang-orang itu  menjadi penguasa dunia Islam.
[iv]  Ketika ‘Umar terluka oleh Abu Lu’lu’ah dan ia melihat bahwa sulit  baginya untuk hidup lebih lama lagi, karena luka yang parah itu, ia  membentuk suatu komite musyawarah (Syura) dan menunjuk Ali Ibnu Abt  Thalib, ‘Utsman Ibnu ‘Affan, ‘Abdur-Rahman Ibnu ‘Auf, Zubair Ibnu  ‘Awwam, Sa’id Ibnu Abi Waqqash dan Talhah Ibnu ‘Ubaidillah, seraya  mengikat mereka dengan ketentuan bahwa setelah tiga hari sesudah  kematiannya, mereka harus memilih salah seorang di antara mereka sendiri  sebagai khalifah, sementara untuk tiga hari itu Shuhaib akan bertindak  sebagai khalifah sementara.
Ketika  menerima instruksi ini, beberapa orang bertanya kepadanya bagaimana  pikirannya tentang setiap orang dari mereka itu, untuk memungkinkan  mereka berlaku sesuai dengan sorotannya. Karenanya, ‘Umar mengungkapkan  pandangannya sendiri tentang setiap individu itu. Ia mengatakan bahwa  Sa’d bertempramen kasar dan berkepala panas; ‘Abdurrahman adalah  Fir’aunnya umat; Zubair, apabila disenangkan, adalah seorang mukmin yang  sebenarnya, tetapi apabila tidak disenangkan adalah seorang kafir;  Thalhah adalah pengejawantahan kebanggaan dan kesombongan, yang apabila  dijadikan khalifah ia akan memasang cincin kekhalifahan di jari  istrinya, sedang ‘Utsman tidak melihat melampaui keluarga-nya. Mengenai  Ali, ia terpikat kekhalifahan, walalupun saya tahu hanya ia sendiri yang  dapat melaksanakannya pada garis yang benar.
Walaupun  demikian pengakuannya, ia menganggap perlu untuk membentuk Syura itu,  dan dalam memilih para anggotanya dan meletakkan prosedur kerjanya, ia  meyakinkan bahwa kekhalifahan akan mengarah ke mana ia menginginkannya.  Maka, seorang yang berkebijaksanaan biasa dapat mengambil kesimpulan  bahwa semua faktor keberhasilan ‘Utsman terdapat di dalamnya.
Apabila  kita perhatikan para anggotanya, kita lihat bahwa, pertama,  ‘Abdur-Rahman Ibnu ‘Auf adalah suami saudara perempuan ‘Utsman;  berikutnya, Sa’d Ibnu AbT Waqqash, selain menaruh dengki terhadap Ali,  adalah teman dan keluarga ‘Abdur-Rahman; keduanya tak dapat diharapkan  akan menentang ‘Utsman.
Yang ketiga, Thalhah Ibnu ‘Ubaidillah yang tentangnya Muhammad ‘Abduh menulis dalam anotasinya mengenai Nahjul Balaghah:
“Thalhah  cenderung kapada ‘Utsman, dan sebabnya adalah tak kurang dari ia  menentang Ali, karena ia sendiri seorang anggota suku Taim, dan naiknya  Abu Bakar pada kekhalifahan telah menciptakan perseteruan antara Bani  Taim dan Bani Hasyim.”
Mengenai  Zubair, sekiranyapun ia memilih Ali, apa gunanya satu suara ini?  Menurut pernyataan Thabari, Thalhah tidak hadir di Madinah pada waktu  itu, tetapi absennya tidak menghalangi keberhasilan ‘Utsman. Malah,  sekiranyapun ia hadir, sebagaimana ia akhirnya datang ke Syura itu, dan  ia dianggap pendukung Ali, tetap tidak akan meragukan keberhasilan  ‘Utsman, karena pikiran ‘Umar yang cerdik telah menetapkan prosedur  bahwa:
“Apabila  dua orang menyetujui yang satu, sedang yang dua orang lagi me-nyetujui  seorang lainnya, maka ‘Abdullah Ibnu ‘Umar akan bertindak sebagai  penengah. Kelompok yang diperintahkannya harus mamilih khalifah di  antara mereka sendiri. Apabila mereka tidak menerima keputusan ‘Abdullah  Ibnu ‘Dinar, maka dukungan harus diberikan kepada kelompok di mana  termasuk ‘Abdur-Rahman Ibnu ‘Auf; tetapi, apabila yang lain-lainnya  tidak menyetujuinya maka mereka harus dipancung kepalanya karena  menentang ke putusan ini.” (Thabari, I, h. 2779-2780; Ibnu Atsir, III,  h. 67)
Di  sini ketidaksepakatan dengan keputusan ‘Abdullah Ibnu ‘Umar tidak  berarti apa-apa, karena ia diarahkan untuk mendukung kelompok yang  meliputi ‘Abdur-Rahman Ibnu ‘Auf. la telah memerintahkan anaknya  ‘Abdullah, dan Shuhaib, bahwa:
“Apabila  orang-orang itu berselisih, Anda harus memihak kepada mayoritas; tetapi  apabila ada tiga di antara mereka di satu sisi dan tiga di sisi  lainnya, Anda harus memihak pada kelompok di mana termasuk ‘Abdur-Rahman  Ibnu ‘Auf.” (Thabari, jilid I, h. 2725, 2780; Ibnu AtsTr, jilid II, h. 51, 67)
Dalam  instruksi ini persetujuan mayoritas juga berarti mendukung  ‘Abdur-Rahman, sebab mayoritas tak mungkin memihak pada siapa pun  lainnya, karena lima puluh pedang haus darah telah disiapkan terhadap  kelompok lawan, dengan perintah untuk memancung kepala mereka atas  keputusan ‘Abdur-Rahman. Mata Amirul Mukminin telah membaca pada saat  itu juga bahwa kekhalifahan akan berpindah kepada ‘Utsman, sebagaimana  nampak pada kata-kata berikut ini, yang disampaikannya kepada ‘Abbas  Ibnu ‘Abdul Muththalib:
“Kekhalifahan  telah disingkirkan dari kami.” ‘Abbas bertanya bagaimana ia  mengetahuinya. Lalu ia menjawab, ‘”Utsman juga telah disetarakan dengan  saya, dan telah diatur bahwa mayoritas harus didukung; tetapi, apabila  dua orang menyetujui yang satu, dan dua lagi menyetujui yang lain, maka  dukung an harus diberikan kepada kelompok di mana termasuk ‘Abdur-Rahman  Ibnu ‘Auf. Nah, Sa’d akan mendukung saudara sepupunya ‘Abdur-Rahman  yang tentu saja adalah suami saudara perempuan ‘Utsman.” (ibid)
Alhasil,  setelah wafatnya ‘Umar, pertemuan ini berlangsung di rumah ‘A’isyah. Di  pintunya berdiri Abu Thalhah al-Anshari dengan lima puluh orang yang  telah menghunus pedang di tangannya. Thalhah memulai acara, dan seraya  mengundang semua yang lain-lainnya untuk menyaksikan, ia berkata bahwa  ia memberikan hak pilihnya kepada ‘Utsman. Ini menyinggung harga diri  Zubair karena ibunya Safiyyah putri ‘Abdul Muthtalib adalah saudara  perempuan ayah Nabi. Maka ia memberikan hak suaranya kepada Ali. Sesudah  itu Sa’d Ibnu Abi Waqqash memberikan hak suaranya kepada ‘Abdur-Rahman.  Tinggal tiga anggota Syura yang belum memilih, di antaranya  ‘Abdur-Rahman Ibnu ‘Auf yang mengatakan ia mau melepaskan haknya sendiri  untuk dipilih apabila Ali a.s. dan ‘Utsman memberikan hak kepadanya  untuk memilih seseorang di antara mereka, atau salah satu di antara  kedua orang ini harus mendapatkan hak memilih dengan jalan menarik diri  dari pencalonan. Ini perangkap di mana Ali telah dilibat dari semua  sisi, yakni ia harus meninggalkan haknya sendiri atau mengizinkan  ‘Abdur-Rah man bertindak semaunya. Yang pertama tak mungkin baginya,  yakni melepaskan haknya dan memilih ‘Utsman atau ‘Abdur-Rahman. Maka, ia  berpegang pada haknya, sementara ‘Abdur-Rahman melepaskan diri dari  pencalonan itu lalu me-megang kekuasaan ini seraya berkata kepada Amirul  Mukminin, “Saya membaiat Anda dengan syarat Anda mengikuti Kitab Allah,  sunah Nabi dan perilaku kedua Syeikh (Abu Bakar dan ‘Umar).” Ali  menjawab, “Akan mengikuti Kitab Allah, sunah Nabi dan pendapat saya.”  Ketika ia memberikan jawaban yang sama seka-lipun pertanyaan itu telah  diulang tiga kali, ‘Abdur-Rahman berpaling kepada ‘Utsman seraya  berkata, “Apakah Anda menerima persyaratan ini?” ‘Utsman tidak beralasan  untuk menolak; maka ia menyetujui persyaratan itu, dan baiat pun  dilakukan baginya. Ketika Amirul Mukminin melihat haknya terpijak-pijak  demikian, ia berkata:
“Ini  bukan hari pertama Anda berlaku menentang kami. Saya hanya harus  bersabar. Allah adalah Penolong terhadap segala yang Anda katakan. Demi  Allah, Anda tidak membuat ‘Utsman menjadi khalifah melainkan dengan  harapan bahwa ia akan mengembalikan kekhalifahan kepada Anda.”
Setelah  mencatat peristiwa Syura (komite musyawarah pengangkatan ‘Utsman itu),  Ibnu Abil Hadid menulis bahwa ketika pembaiatan telah dilakukan kepada  ‘Utsman, Ali menegur ‘Utsman dan ‘Abdur-Rahman dengan mengatakan,  “Semoga Allah menaburkan benih perselisihan di antara Anda,” dan  demikian terjadinya sehingga keduanya bermusuhan sengit, dan  ‘Abdur-Rahman tak pernah lagi berbicara dengan ‘Utsman hingga matinya.  Bahkan di ranjang kematiannya ia memalingkan muka ketika melihat  ‘Utsman.
Melihat  peristiwa ini timbul pertanyaan, apakah Syura bermaksud membatasi  urusan kepada enam orang, kemudian kepada tiga orang, dan akhirnya hanya  pada satu orang saja? Juga, apakah syarat untuk mengikuti perilaku  kedua Syeikh untuk kekhalifahan ditetapkan oleh ‘Umar, atau hanya  sekadar halangan yang diletakkan oleh ‘Abdur-Rahman antara Ali a.s. dan  kekhalifahan; khalifah yang per tama tidak meletakkan syarat pada waktu  mengangkat khalifah yang kedua, yakni bahwa ia harus mengikuti  langkah-langkah khalifah yang pertama. Maka, apakah alasan untuk syarat  itu di sini?
Namun,  Amirul Mukminin telah menyetujui untuk turut serta dalam Syura itu  untuk menjauhkan bencana dan untuk menghentikan orang menggunakannya  sebagai dalih, sehingga orang-orang lain dibungkamkan dan tak akan dapat  meng-aku bahwa mereka sebenarnya akan memilih dia dan bahwa ia sendiri  meng-elakkan komite musyawarah itu dan tidak memberikan kesempatan  kepada mereka memilihnya.
[v]  Tentang pemerintahan khalifah yang ketiga itu, Arnirul Mukminin  mengatakan bahwa scgera setelah ia berkuasa, Ban? Umayyah mendapatkan  lahan dan mulai menjarahi Baitul Mal (perbendaharaan negara), dan  seperti ternak melihat rumput hijau setelah musim kemarau, dengan  sembrono mereka mcnyerbu uang milik Allah lalu melahapnya. Akhirnya  keserakahan dan nepotisme ini membawa nya ke tahap di mana rakyat  mengepung rumahnya, membunuhnya dan membuatnya memuntahkan semua yang  telah ditelannya.
Malakelola  pemerintahan yang terjadi dalam masa ini sedemikian rupa sehing ga  tiada seorang Muslim yang tak tergugah melihat para sahabat berkcdudukan  tinggi dibiarkan terlantar, dilanda kemiskinan dan dikepung  kemelaratan, sementara kekuasaan atas Baitul Mal berada di tangan Bani  Umayyah, jabatan pemerintahan diduduki orang-orang muda mereka yang tak  berpengalaman, hak-hak khusus kaum Muslim mereka kuasai, padang  penggembalaan hanya untuk ternak mereka, rumah-rumah dibangun hanya  untuk mereka, dan kebun-kebun hanya bagi mereka saja. Apabila ada  seseorang merasa belas kasihan kepada orang lain lalu berbicara tentang  pelanggaran batas-batas ini, ia diusir dari kota. Penggunaan zakat dan  sedekah yang dimaksudkan untuk fakir miskin, dan Baitul Mal yang  merupakan hak umum kaum Muslim, dapat dilihat pada gambaran berikut:
(1)  Hakam Ibnu Abil ‘Ash yang telah diusir oleh Nabi dari Madinah,  diizinkan kembali ke kota itu, bukan saja bertentangan dengan sunah Nabi  tetapi juga bertentangan dengan perilaku kedua khalifah sebelumnya; ia  bahkan diberi tiga ratus ribu dirham dari Baitul Mal. (Ansab al-Asyraf,  V, h. 27, 28, 125)
(2)  Walid Ibnu ‘Uqbah yang telah dinaMal munafik dalam Qur’an, dibayari  seratus ribu dirham dari Baitul Mal. (Al-’Iqd al-Farid, III, h. 94)
(3)  Khalifah itu mengawinkan anak perempunnya Umm Aban dengan Marwan Ibnu  Hakam dan memberikan kepada Marwan seratus ribu dirham dari Baitul Mal.  (Syarh Ibnu Abil Hadid, I, h. 194-199)
(4)  la mengawinkan anaknya ‘A’isyah dengan Harits Ibnu Hakam dan mem  berikan kapada Harits seratus ribu dirham dari Baitul Mal. (ibid)
(5) ‘Abdullah Ibnu Khalid diberi empat ratus ribu dirham. (Ibnu Qutaibah, Al-Ma’arif, h. 84)
(6) la memberikan hak atas khums (pajak keagamaan) dari Afrika, sejumlah lima ratus ribu dinar, kepada Marwan Ibnu Hakam. (ibid)
(6)  Kebun Fadak yang tidak diserahkan kepada putri Rasulullah Fathimah  az-Zahra’ berdasarkan alasan bahwa itu merupakan sedekah umum, diberikan  sebagai hadiah kepada Marwan Ibnu Hakam. (ibid)
(7)  Mahzur, suatu tempat di area perdagangan Madinah, yang telah  dimaklumkan sebagai milik umum oleh Nabi, dihadiahkan kepada Hants Ibnu  Hakam. (ibid)
(8)  Di padang-padang sekitar Madinah, lak ada unta selain milik Bani  Umayyah yang digembalakan. (Syarh Ibnu Abil Hadid, I, h. 199)
(10)  Setelah meninggalnya (‘Utsman), seratus lima puluh ribu dinar (mala  uang mas) dan satu juta dirham (mata uang perak) terdapat di rumahnya.  Tak ada batas tanah-tanah yang bebas pajak; dan nilai total harta  perkebunan yang dimilikinya di Wadi al-Qura dan Hunain adalah seratus  ribu dinar. Di sana terdapat unta dan kuda yang tak terhitung banyaknya.  (Muruj adz-Dzahab,I, h. 435)
(11)  Famili-famili khalifah memerintah semua kota penting. Di Kuf’ah, Walid  Ibnu ‘Uqbah adalah gubernurnya. Tetapi ketika dalam keadaan mabuk anggur  ia mengimami salat Subuh empat rakaat, bukannya dua, dan rakyat  menggugat, la pun dipindahkan. Tetapi, khalifah menggantikkannya dengan  seorang munafik, Sa’id bin al-’Ash. Di Mesir ‘Abdullah Ibnu Sa’d Ibnu  AbT Sarh, di Suriah Mu’awiah Ibnu Abi Sufyan, di Bashrah ‘Abdullah Ibnu  ‘Amir.