23 Januari 1988
Seminar Mencerca Syiah

ADA yang "gerah" di Hotel Indonesia 14 Januari lalu. Bukan hanya lantaran di Madura Room yang sejuk ber-AC itu dipenuhi 200 peserta seminar "Aqidah Islamiyah" yang dijaga ketat oleh aparat keamanan. Seminar sehari yang diselenggarakan oleh Alumni Timur Tengah Cabang Jakarta itu sarat dengan pernyataan yang mengutuk kaum Syii. Padahal, katanya, untuk membantu meredakan perang Iran-Irak.

Ada tiga pembawa makalah yang tampil. Prof. Dr. H.M. Rasjidi, Ketua Rabithah Alam Islami di Jakarta (tanpa judul), Prof. K.H. Ibrahim Hosen L.M.L., Rektor Institut Ilmu al-Quran dan Ketua Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia Pusat (Syiah Sebagai Gerakan yang Membahayakan Eksistensi Islam), dan Dr. Fuad Muhammad Fachruddin, pendiri Akademi Da'wah dan Bahasa Arab (Hakikat Syiah Dalam Segala Pandangan Hidupnya). Tlga alumni Timur Tengah, Dhofir Hamam, Irfan Zidny, dan A. Masyhuri, tampil sebagai pembanding. Di antara hadirin, hanya Alwi Shihab dan Nurcholish Madjid yang muncul sebagai pembahas. Mereka hanya dijatah waktu masing-masing lima menit. Yang jelas, seminar yang lazimnya ilmiah itu berubah bagai ajang "mengganyang" Iran dan Syiah. Ketiga pembicara utama itu sependapat bahwa akidah Syiah merupakan penyebab utama perang Iran-Irak yang tak kunjung selesai itu.

Rasjidi, 72 tahun, antara lain menegaskan, perbedaan yang sangat besar antara kaum Syii dan Suni ialah teori imamah. "Teori yang hanya mengenal perintah imam yang tidak dapat keliru, yang ma'shum, sedang teori politik Islam adalah syura, yakni musyawarah," ucap Rasjidi. "Yang saya tulis dalam makalah itu pandangan saya pribadi, tanggung-jawab saya 100%," kata Rasjidi di luar seminar. "Syiah itu berbahaya bagi kita bangsa Indonesia. Konstitusi mereka menyebut akan mengekspor revolusi ke negara lain. Dan imam mereka adalah kepala negara bagi seluruh umat Islam. Jadi, berarti kita harus tunduk kepada Khomeini," tambahnya. Bagi Rasjidi, ini soal besar. Sedang yang lain-lain, yang menyangkut akidah, justru dianggap "soal kecil" oleh Rasjidi.

Pendapat Ibrahim Hosen, 71 tahun, setali iga uang. Dalam salah satu kesimpulan makalahnya ia menegaskan, Syiah, sebagai gerakan yang bertopeng agama (Islam), membahayakan eksistensi Islam. Bahkan ia lebih tandas lagi mengatakan, "Dalam hal ini mereka akan sama dengan komunis yang menghadapkan lawan-lawannya pada satu-satunya pilihan, harus mati atau mengikuti pendapat mereka." Di luar seminar, Ibrahim menyatakan bahwa nada makalahnya itu tidak keras. "Saya menyampaikan seperti apa adanya. Syiah itu memang berbahaya," katanya.

Semakin siang suasana seminar semakin panas. Bukan hanya kaum Syii saja yang diserang. Bahkan Sayyidina Ali 'alaihi alshalah wa al-salam, juga dicerca. Dalam makalahnya, Fuad Fachruddin, 70 tahun menilai bahwa dalam Perang Onta (36 Hijri, 656 M), Ali bersekongkol mengejar ambisi pribadi. "Di sini dapat kita katakan sementara, tindakan Ali tidak Islami. Apalagi beliau menerima satu kelompok yang pertama sekali memisahkan diri dari kesatuan umat Islam," tulis Fuad dalam makalahnya.

Di antara ketiga pembanding, hanya seorang yang mendukung pendapat ketiga pembicara utama itu. Yaitu A. Masyhuri. Sedang dua pembanding lainnya, Dhofir Hamam dan Irfan Zidny, menyatakan tidak setuju jika seminar "menghukum" Syiah secara sepihak. "Untuk meninjau kelemahan Syiah, kita patut merujuk pendapat mereka," kata Irfan Aidny, M.A., yang pernah tinggal di Iran dan Irak selama 17 tahun. Kesan sepihak itu memang tampak. Misalnya, setiap peserta mendapat satu paket buku yang mencerca Syiah dan Khomeini. Khomeinisme: Aqidah dan Sikap yang Aneh, karya Said Hawwa, Beberapa Kekeliruan Akidah Syiah, oleh Muhammad Abdul Sattar al-Tunsawi, Mengenal Pokok-Pokok Ajaran Syiah Imamiyah, karangan Muhibuddin al-Khatib, Syiah dan Sunnah, tulisan Ihsan Ilahi Zhahir.

Terhadap pendapat Fuad Fachruddin, yang menilai Sayyidina Ali sebagai tidak Islami, tak seorang pun bereaksi. Kecuali Alwi Syihab, yang tampil minta waktu. "Jika Ali dianggap tidak Islami, lalu kita ini siapa?" kata sarjana lulusan Universitas al-Azhar, yang sedang menyelesaikan tesis doktor di Universitas Ayn Syam, Kairo. "Penilaian itu keterlaluan. Kalau mengecam Syiah, janganlah mengecam Sayyldina Ali, yang oleh kita sebagai ahl alsunnah wa al-jamaah diakui sebagai khalifah. Beliau juga guru dari semua aliran tarekat. Kalau Ali dianggap tidak Islami, maka gugurlah semua tarekat," katanya tandas. Alwi ganti menuduh Fuad sebagai seorang Khawarij - kaum yang dalam sejarah menyalahkan Ali, menantu Nabi, maupun Aisyah, istri Nabi.

Terhadap pendapat Ibrahim Hosen, yang menyatakan bahwa Quran di tangan kaum Syii berbeda dengan Quran yang dipegang kaum Suni, Nurcholish Madjid maju ke mimbar. Ia memperlihatkan Quran resmi yang diterbitkan oleh pemerintahan Khomeini saat ini. Sambil memperlihatkannya kepada semua hadirin, ia menyatakan, Quran yang terbit di Iran saat ini tak beda dengan Quran yang dikenal oleh umat Islam di Indonesia. Quran yang diperlihatkan Nurcholish ditulis oleh Usman Thaha, penulis kaligrafi Damaskus, terbitan Syafaq, Qum (Iran), juga berdasarkan mushaf Khalifah Usman. Hanya bedanya: pada kulit (dalam) tertera lambang Republik Islam Iran (lihat boks). "Saya prihatin. Tujuan seminar sebenarnya mulia, yaitu peran kita dalam usaha perdamaian antara Iran dan Irak. Tapi kemudian seminar dibawa ke soal keagamaan, sementara ketiga makalah utamanya mengutuk kaum Syii. Jadi, bukan perdamaian, tapi justru perpecahan yang timbul," kata Nurcholish, di luar seminar. "Jika perdamaian yang diinginkan, mestinya bukan mengutuk salah satu aliran yang jadi panutan bangsa Iran atau Irak. Tapi mencari titik temunya," tambahnya. Mengenai anggapan bahwa akidah Syiah merupakan penyebab utama berlarut-larutnya perang Iran-Irak, Nurcholish tidak sependapat. "Perbedaan akidah antara Syiah dan Sunah itu sudah ada amat jauh sekali, sebelum perang Iran-Irak pecah,' katanya. Kalaupun yang dikutuk oleh seminar ialah Syiah yang resmi jadi panutan bangsa Iran saat ini, Nurcholish mengingatkan: paham Syiah itu tak cuma satu. Ada yang ekstrem, ada pula yang moderat. Kelompok yang ekstrem, dan kini tak diakui di Iran, di antaranya ada yang telah punah. Misalnya Gharabiyah, Kisaniyah, Khitabiyah, Hakimiyah, Nusairiyah, Bathiniyah, Nizariyah, Musta'liyah, Muqanna'ah. Kaum Gharabiyah yakin bahwa Allah "telah salah alamat" menurunkan wahyu kepada Muhammad, mestinya ke Ali. Sedang Kisaniyah meyakini reinkarnasi Allah menjelma dalam diri seorang imam-dan itu dikecam oleh Rasjidi. Mayoritas umat Islam di Iran menganut paham Syiah Imamiyah, ada yang Zaidiyah dan Ismailiyah. Sementara itu, dalam soal imamah, Nurcholish sependapat dengan Rasjidi. "Konsep bahwa imam itu ma'shum (bebas dosa), melahirkan sistem otoriter bertentangan dengan demokrasi," ujarnya. Yang memprihatinkan Nurcholish ialah suara-suara keras dalam seminar di Hotel Indonesia yang mengutuk Syiah. "Itu seakan-akan memutus benang merah sejarah dialog Sunah-Syiah yang sudah dirintis sejak dulu. Para alumni Timur Tengah yang mengutuk Syiah tampaknya telah tercerabut dari akarnya. Beberapa ulama Timur Tengah sejak dulu justru bersikap lain dari suara yang terdengar dalam seminar sehari itu," katanya. Misalnya Salim al-Bisri, Rektor Universitas al-Azhar, Kairo, di awal abad ke-20, selama setahun berkorespondensi dengan Abdul Husayn Syarafuddin al-Musawi, tokoh Syii di Irak. Dialog tuntas itu dibukukan dengan judul al-Muraja'at, yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris. Dalam edisi Indonesia, berjudul Dialog Sunnah dan Syiah. Dalam surat terakhir, Salim antara lain menulis: "Dalam hal pokok dan cabang agama, saya mengakui Anda berlandaskan pada imam-imam keluarga Rasul. Sebelum ini saya meragukan Anda, akibat isu-isu yang tersebar." Lalu Mahmud Syaltut, yang juga pernah jadi rektor Universitas al-Azhar, mendambakan titik-temu. Pada 1960, yang barusan, ia berujar kepada salah seorang tokoh Syii, Abu al-Wafa al-Mu'tamidi Kurdistani, "Terbaginya Islam dalam Syiah dan Sunah hanyalah penamaan belaka. Semua kaum muslimin adalah ahl al-sunnah wa al-jamaah." Bahkan ia pernah berfatwa "Mazhab Ja'fariyah, yang dikenal sebagai paham Syiah Imamiyah Dua Belas, adalah mazhab yang menurut syara' boleh dianut dalam menjalankan ibadat, sama seperti mazhab ahl al-sunnah yang lain." Ada lagi Abdulhalim Mahmud. Dalam kitab al-Tafkir al-Falsafifi al-Islam (Pemikiran Filsafat Islam), ulama Timur Tengah yang terkemuka itu antara lain menulis: "Perbedaan antara Sunah dan Syiah hanya menyangkut soal politik, bukan agama." Pendapat seperti itu juga dianut oleh Dr. Ahmad Amin. Dalam kitabnya Tarikh al-Quran al-Karim (Sejarah Quran Mulia), ia menulis: "Jika tidak lantaran soal politik, pasti perbedaan antara Syiah dan Sunah telah sirna. Mereka pasti sudah akrab bersaudara, masing-masing saling memahami, seperti penganut Hanafi memahami penganut Maliki atau Syafii. Sikap itu merupakan revisi dari kecamannya dalam kitab Fajr al-Islam (Fajar Islam), "Syiah itu kelompok untuk merongrong Islam dan keutuhan umat." Revisi itu muncul setelah Ahmad Amin, bersama murid-muridnya, bertandang menemui Muhammad Husayn Alu Kasyif al-Ghitha', ulama Syii di Nejf, di bulan Ramadhan 1349 Hijri. Di situ terjadi dialog dan titik temu. Ahmad Amin mengakui bahwa ia tak banyak membaca buku-buku Syiah. "Kami kekurangan rujukan," katanya. Sebaliknya, para ulama Syiah banyak membaca karya ulama Suni. Di sebuah perpustakaan besar di Nejf (terkenal sebagai "Kota Syiah") tersimpan tak kurang dari 5.000 buku karya ulama Suni. Sementara itu, kitab-kitab Syiah hanya ada beberapa di perpustakaan Kairo--yang juga disebut Kota Ulama Suni. "Aneh, banyak mahasiswa Irak tak tahu soal Syiah, padahal mereka dekat dengan Nejf," tulis Kasyif al-Ghitha' dalam kitabnya Ashl al-Syiah wa Ushuluha (Muasal Syiah dan Ajaran Pokoknya). Hasan al-Banna, tokoh Ikhwanul Muslimin Mesir, juga menggandrungi titik temu antara Syiah dan Sunah. Ketika ditanya mengenai perbedaan antara Syiah dan Sunah oleh Umar al-Tilmisani, muridnya yang belakangan juga jadi tokoh Ikhwan, Hasan, tak mau menjawab. Setelah didesak, baru ia bicara. "Sunah dan Syiah itu muslim semua. Mereka sama-sama mengucap syahadatain, yang merupakan pokok akidah. Pada titik ini, mereka sama dan bertemu. Mereka hanya beda dalam hal-hal yang sebenarnya dapat didekatkan," kata Hasan al-Banna.

Menurut Dr. Quraisy Shihab, antara Sunah dan Syiah tak ada masalah lagi. Menurut dosen tafsir Quran pada Fakultas Pasca-Sarjana IAIN Jakarta itu, di Mesir ada sebuah ensiklopedi fiqh Islam yang beredar di zaman Presiden Jamal Abdul Nasser. Yaitu al-Mawsu'ah al-Fiqhiyyah li Jamal 'Abd al-Nashr. Di situ tercantum fiqh dari mazhab-mazhab Maliki, Syafi'i, Hanafi, Hambali, juga fiqh dari mazhab Syiah Imamiyah dan Zaidiyah. "Ini baru yang namanya ensiklopedi fiqh Islam," kata Shihab. Dan tentang Syiah saat ini, tambah Shihab, ialah Syiah Imamiyah, Zaidiyah, dan Ismailiyah. Ia tidak setuju terhadap suara keras yang "menghukum" Syiah. Begitu juga ia tak sependapat dengan suara pihak Syii yang memaki-maki kaum Suni. Misalnya yang dilakukan Muhsin Al-Amini dalam kitabnya al-Ghadir.

Suara Abdurrahman Wahid, Ia yang hadir sebentar dalam seminar, dalam wawancara dengan TEMPO, Ketua Umum PBNU itu menandaskan, itu bukan seminar, tapi pembantaian Syiah. "Kalau ngomong soal Syiah, sebaiknya belajar dulu pada orang Syii yang betul-betul ahlinya," katanya lagi. "Ada suatu kaidah dalam studi sekte-sekte Islam bahwa pendapat dusta tentang lawan, itu tidak dianggap. Semuanya gugur," katanya. "Kalau orang bicara soal akidah Syiah, itu akidah yang mana?" tanyanya. Sebab, akidah Syiah itu pada 490 Hijri mengalami transformasi. Pada awalnya, akidah Syiah dan Sunah itu hampir sama. Kemudian, Syiah juga beriman kepada imam-imam. Dalam seminar di IAIN Jakarta, Desember lalu, tokoh NU itu antara lain menyatakan, secara kultural ibadat kaum NU dan Perti sama dengan Syiah. Misalnya dalam membaca shalawat atau acara maulid yang menyanjung Nabi dan keluarganya.

Jalaluddin Rahmat, dosen Unpad dan ITB yang mengaku sebagai orang Suni (tapi banyak tahu soal Syiah) menyatakan, banyak karangan ulama Syiah yang jadi pegangan para santri kita. Misalnya, Nayl al-Awthar (Pencapaian Hasrat) karangan Imam al-Syaukani. Dan mereka tidak merasa "berdosa" sedikit pun.

Budiman S. Hartoyo, Ahmadie Thaha, Tri Budianto Soekarno (Jakarta), Hedy Susanto (Bandung)

http://majalah.tempointeraktif.com/

Menuduh al-Quran yang Beda
"SYIAH adalah gerakan yang membahayakan eksistensi Islam," ujar Prof. K.H. Ibrahim Hosen. Dua pembicara lain dalam seminar di Hotel Indonesia itu, Prof. Dr. H.M. Rasjidi dan Dr. Fuad Mohamad Fachruddin, setuju pula dengan Hosen - yang kemudian terkenal karena mendukung Porkas itu. Alasannya banyak. Misalnya karena Syiah, menurut mereka, punya Quran yang berbeda dengan kelompok mayoritas Sunni, selain alasan konsep imamah yang khas Syiah itu. Bahkan Rasjidi cenderung berpendapat, meskipun Syiah beranggapan bahwa Quran mereka lebih lengkap, "Sebetulnya orang Syiah tidak punya Quran." Dan Fuad menambahkan," Menurut orang Syiah, Quran kita itu tidak asli lagi. Karena sudah diubah oleh Abubakar, Umar dan Usman. Dan Quran mereka tiga kali iebih lengkap daripada Quran kita."

Tidak semua peserta seminar sependapat dengan mereka. Nurcholish Madjid, misalnya, menyatakan bahwa, "Quran mereka sama dengan yang di kita." Sebagai bukti, Nurcholish membawa sebuah kitab Quran resmi Iran, dan memperlihatkannya kepada peserta. Dubes Republik Islam Iran, Seyyed Hossein Mirfakhar, mengatakan kepada TEMPO, dengan 114 surat, Quran terbitan Qum di Iran itu, ditulis berdasar mushaf Usman oleh kaligrafer Damaskus, Usman Thaha." Kalau memang ada yang berbeda, coba buktikan sendiri," ujar Mirfakhar. Menanggapi seminar yang mencerca Syiah di HI itu, Mirfakhar akan menyusul dengan protes kepada penyelenggara. "Mereka hanya ingin memecah belah umat," katanya. "Seminar itu bisa dijadikan propaganda Irak. Kami yakin pemerintah Indonesia tak sudi cara kajian antarmazhab seperti itu. Seminar tersebut tidak imbang," tambahnya lagi.

Yang sama dengan Nurcholish adalah Dr. Quraisy Shihab. Ahli tafsir Quran lulusan Al-Azhar, Mesir, ini bahkan menyatakan, orang yang berkata demikian itu mestinya hidup di lima atau enam abad lampau. "Malah bisa dikatakan tak percaya pada Quran, karena ia tidak percaya bahwa Allah memelihara Quran dari kesalahan," ujar Quraisy. Quraisy Shihab menunjuk pada kitab tafsir Majma ' al-Bayan (Ontologi Keterangan), karya Syeikh Abu Ali al-Fadl ibn Hasan al-Thabarsi - ulama Syiah Imamiyah abad 6 Hijri. Dalam Majma'--yang juga dijadikan referensi di kalangan Sunni - Al-Thabarsi menulis, antaranya, "Ada yang beranggapan bahwa ayat Quran berlebih atau berkurang. Namun, Syiah aliran kami tidak mengakui. Barangkali yang disebut "syiah" dalam seminar memang bukan Syiah Imamiyah, yang dikenal pula sebagai Syiah Ja'fariah, atau Syiah Dua belas Imam Itsna'asyariyah. Sejarah mencatat munculnya beberapa sempalan ekstrem yang juga membawa nama Syiah. Misalnya Ghullat atau "Syiah Ekstrem" yang sebagian dari mereka menuhankan Ali - menantu Rasulullah. Tapi sempalan-sempalan ini, dan beberapa yang lain, justru di kalangan Syiah sendiri dianggap kafir dan sulit dibuktikan kehadirannya sekarang. Barangkali ini mirip "Islam Jamaah" atau "Inkar Sunah" yang juga dicerca orang Ahlus-Sunnah. Sempalan itu mungkin diciptakan untuk menginfiltrasi Syiah, menimbulkan fitnah dan perpecahan di kalangan kaum muslim. "Memang ada infiltran-infiltran yang menjadikan kecintaan kepada Ali sebagai perisai untuk membela diri, lalu dibilang Syiah," ujar Quraisy.

Lalu tuduhan Quran yang berbeda itu? Rupanya memang ada hadis-hadis yang sering dipakai untuk memojokkan Syiah, yang menyatakan adanya beberapa bagian Quran yang hilang. Misalnya tentang surat Al-Wilayah. "Tapi hadis tadi oleh orang Syiah sendiri digolongkan hadis maudhu palsu. Artinya, tidak dipakai," ujar Jalaluddin Rahmat, dosen ITB, Unpad, dan IAIN Bandung, kepada Hedy Susanto dari TEMPO. Sebaliknya, menurut Rahmat, di kalangan Sunni ada juga beberapa hadis yang menerangkan penambahan atau pengurangan ayat Quran. Misalnya, apa yang ditulis Bukhari ~(mengutip Huzaifah, sahabat Nabi saw.) dalam kitab Shahih-nya, yang menyatakan, "Dahulu di zaman Rasulullah, surat Al-Ahzab itu panjangnya sama dengan Al-Baqarah. Pada surat Al-Ahzab sekarang ini hilang 70 ayat. "Di pesantren kita ada juga buku teks Al-Itqan karya Jalaluddin as-Suyuti, yang menerangkan kekurangan Quran Sunni sekarang ini," Dan itu dipercaya kalangan kita, Ahlus-Sunah," katanya. Menurut Rahmat, orang Syiah tak pernah menuduh Quran yang Sunni itu palsu. Sebab, yang paling logis tentu karena "ketidakpercayaan" terhadap kemurnian hadis sumber hukum kedua dalam Islam -- yang kadang kala mudah diperdebatkan. Dalam kitab hadis standar Syiah Al-Kafi sendiri, menurut Hasyim Ma'ruf al-Hasani, terdapat juga ribuan hadis yang tidak sahih alias benar. Itu agaknya termasuk keterangan Al-Kulayni (penulis Al-Kafi) tentang adanya penyimpangan dalam Quran. "Dari 16 ribuan hadis dalam Al-Kafi, kata Hasyim, cuma lima ribuan yang sahih," tutur Rahmat. Artinya, hadis dalam Al-Kafi itu tak seluruhnya dipercaya oleh orang Syiah sendiri. "Kita tidak bisa menuduh adanya penambahan atau pengurangan baik pada Quran Sunni ataupun Syiah. Toh, Allah sendiri menjamin terpeliharanya Quran dari tangan-tangan jail," ujarnya lagi. Sebetulnya, seminar atau dialog antarmazhab sudah sering dilakukan, tidak saja di Indonesia, juga di pelbagai negara muslim. Sebuah buku dialog di antara mereka telah ~dibuat, berisikan surat-menyurat antara ulama Sunni Mesir, Syaikh Bisyri al-Maliki, dan ulama Syiah, Sayyid Syarafuddin al-Musawi. Syaltut, Rektor Al-Azhar, pada tahun 50-an telah mengeluarkan fatwa untuk melepaskan umat dari fanatisme mazhab tertentu. Kendati begitu, masih ada yang tidak sependapat. Ihsan Ilahi Zhahir, penulis yang mengecam. Syiah, menyatakan bahwa Syaltut itu "orang tua Mesir yang terkecoh Syiah".

http://majalah.tempointeraktif.com

These icons link to social bookmarking sites where readers can share and discover new web pages.
  • Digg
  • Sphinn
  • del.icio.us
  • Facebook
  • Mixx
  • Google
  • Furl
  • Reddit
  • Spurl
  • StumbleUpon
  • Technorati